Ketika BEM UI Menyebut Gedung DPR Sarang Tikus: Bagus, Idealisme Kaum Muda Harus Dinyatakan
Mahasiswa harus dapat membuat perubahan positif dan konstruktif untuk bangsa dan negara, dengan mempertahankan idealisme. (anakui.com)

Bagikan:

JAKARTA – Meme tikus berkepala Puan Maharani muncul dari kubah gedung DPR RI yang terbelah, kata Ketua BEM UI Melki Sedek Huang, merupakan ekspresi kemarahan mahasiswa UI terhadap para Anggota Dewan. Gedung DPR RI yang seharusnya menjadi tempat rakyat menyalurkan aspirasi, kini justru telah menjadi sarang tikus.

Melki menilai tidak sepantasnya mereka mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna 21 Maret lalu. Mahkamah Konstitusi jelas telah menyatakan aturan ini inkonstitusional bersyarat.

Tak hanya cacat secara formil, UU Cipta Kerja juga bermasalah dari aspek materiil. Ada sejumlah pasal yang mengancam dan merampas hak-hak para pekerja, seperti Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lalu Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mempermudah perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), secara sepihak sehingga kian merentankan posisi para pekerja.

Selain itu, ada pula pasal-pasal lain yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup, seperti Pasal 36 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah dan menghapus aturan besaran kawasan hutan yang harus dipertahankan dari suatu wilayah. Pasal 37 angka 20 UU Cipta Kerja yang melanggengkan para pengusaha yang berkegiatan di dalam kawasan hutan tanpa ada sanksi pidana yang dijatuhkan.

Penolakan terhadap UU Cipta kerja sudah disuarakan sejak aturan ini masih berupa rancangan. (Antara/Anis Efizudin)

Serta, Pasal 22 angka 4 UU Cipta Kerja terkait ketentuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak mengikutsertakan kepentingan masyarakat lain dan memangkas partisipasi masyarakat adat.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja juga terbukti tidak memenuhi ihwal kegentingan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan dipersyaratkan lebih lanjut oleh PMK Nomor 138/PUU-VII/2009.

“Dengan demikian, pengesahan RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi pertanda bahwa negara memiliki ragam cara untuk mengelabui konstitusi,” kata Melki dalam keterangan resminya pada 22 Maret 2023.

Artinya, pengesahan Perppu Cipta Kerja sama saja menggerogoti hak-hak rakyat. Alih-alih menyejahterakan, aturan ini justru berpotensi menindas pekerja dan berdampak buruk terhadap pelestarian lingkungan. Sebaliknya, hanya menguntungkan pihak pemodal.

 “Sikap kami tak berubah, sejak masih dalam format omnibus law, disahkan menjadi undang-undang, dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, hingga disulap menjadi Perppu yang disahkan DPR. Kami tetap menolak,” tegas Melki.

“Dewan yang berada di kursi sana bukan lagi sebuah ‘perwakilan’ melainkan para ‘penindas’, yaitu penindas buruh, penindas rakyat, bahkan penentang konstitusi. Bagaikan tikus dengan watak licik yang melancarkan berbagai upaya oligarki, semakin terlihat bahwa DPR benar-benar tidak memihak pada rakyat. Sudah tidak ada alasan lagi untuk kita percaya kepada wakil kita,” tulis BEM UI 2023 di akun Twitternya pada 22 Maret 2023.

Ketua DPR RI, Puan Maharani bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat pengesahan UU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa 21 Maret 2023. (ekon.go.id)

Tak hanya untuk para anggota dewan, BEM UI pada 2021 juga pernah mengkritik Presiden Jokowi melalui poster bertuliskan ‘Presiden Jokowi: The King of Lip Service’.

Presiden dianggap hanya melontarkan janji-janji manis terkait revisi UU ITE dan rencana penerbitan perppu membatalkan revisi UU KPK. Namun, dalam impelementasinya pernyataan tersebut bertolak belakang dengan realitas di masyarakat.

Begitupun pada April 2022, BEM UI juga melayangkan kritik melalui video berdurasi yang menampilkan Presiden Jokowi berjalan mundur hingga ke tepi jurang. Bertuliskan, “Selamat datang di era kemunduran, saat negara hukum justru melanggengkan jahatnya kekuasaan.”

Pergeseran Cara Mengkritik

Peran mahasiswa dalam sejarah perjuangan bangsa memang terbilang sangat besar, bahkan sudah dimulai sejak sebelum era kemerdekaan. Mahasiswa lah yang mendirikan organisasi pergerakan Boedi Oetomo pada 1908, organisasi yang menjadi awal bangkitnya semangat nasionalisme dan gerakan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan.

Mahasiswa pula yang menginisiasi Sumpah Pemuda pada 1928 dan yang memaksa Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Mahasiswa juga berperan penting dalam perubahan struktur politik pada 1966 dan lahirnya era reformasi pada 1998.

Namun, perjuangan mahasiswa pada era saat ini mulai bergeser. Kritikan atau ketidaksetujuan terhadap kebijakan penguasa tidak lagi hanya mengandalkan aksi unjuk rasa turun ke jalan, melainkan lebih memanfaatkan aktivitas media sosial dengan membuat konten kritikan, baik berupa gambar atau video. Ini selaras dengan perkembangan teknologi digital saat ini.

Konstitusi pun memperbolehkan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Tak hanya mahasiswa, penolakan UU Cipta Kerja juga terus dilakukan oleh para buruh. (Antara)

Setiap orang juga berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, menurut Pasal 28F UUD 1945

Kendati begitu, tetap ada batasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) tertera, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Lalu ayat (2), dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Artinya menurut Hendry Julian Noor, meski kritik terhadap pemerintah merupakan hal lazim dan menjadi cerminan kehidupan yang demokratis, sebagai bangsa yang menganut nilai ketimuran ada baiknya nilai kesopanan dan kesusilaan tetap dijunjung tinggi.

Kesopanan dan kesusilaan adalah nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini pun turut dipertimbangkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Gedung DPR RI yang oleh BEM UI disebut sebagai sarang tikus. (Antara/Nova Wahyudi)

“Hukum melindungi hak untuk mengkritik selama substansinya bukan merupakan fitnah dan disampaikan dengan cara yang tepat,” tulis Hendry, dosen Departemen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam opininya di Kompas.

Ada baiknya pula jangan asal memberi kritik, ada baiknya juga memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi. Sehingga, tidak muncul tudingan kritikan tersebut hanya untuk mencari-cari kesalahan.

Politisi senior PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno pun berpendapat, mahasiswa seharusnya menekankan tindakan-tindakan yang analitik dan solutif, serta menantang melalui diskusi dan debat yang sifatnya rasional dan argumentatif. Bukan justru mengumbar umpatan dan narasi yang mendegradasi esensi tugas pokok dari mahasiswa.

“Kami berharap mahasiswa bisa menyampaikan kritik dengan cara-cara yang lebih akademis, lebih berkelas, tidak asal-asalan bunyi, ikut-ikutan memungut diksi jalanan yang terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan partisan. Mari kita buka forum perdebatan yang bermutu tinggi," imbuh Hendrawan saat dikonfirmasi pada 24 Maret 2023.

Sejatinya, kritik menjadi bagian sangat penting bagi pemerintah, khususnya DPR agar tercipta check and balance sehingga tetap konsisten dalam menegakkan kebajikan publik.