Bagikan:

JAKARTA – Kasus tuberkulosis (TBC) pada anak di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, dari 42.187 kasus pada 2021 menjadi 100.726 kasus pada 2022. Bahkan hingga Maret 2023, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi mengatakan sudah ada 18.144 kasus anak yang terinfeksi penyakit menular ini.

Faktor penyebabnya sangat beragam. Lazimnya, karena ketidakpahaman masyarakat mengenai gejala penyakit TBC. Bisa juga karena merasa malu akibat stigma dari masyarakat.

“Tentunya, faktor-faktor itu harus menjadi perhatian bersama,” katanya dalam acara daring ‘Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2023’ pada 17 Maret 2023.

Pertama mengenai gejala. Anak-anak, kata Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih, merupakan kelompok yang paling rentan terjangkit TBC dan memiliki risiko tinggi terkena TBC berat.

Gejala umum terlihat dari fisik. Misal, berat badan anak tidak mengalami kenaikan dalam 2 bulan terakhir, bahkan cenderung turun meski sudah mendapat asupan gizi yang baik.

Seorang pasien tuberkulosis (TBC) Ninik Wahyu Putri Iskandar Irianti (18). (Antara/Humas BPJS Kesehatan)

Lalu, mengalami demam lebih dari 2 pekan dan berulang tanpa sebab. Yang lebih terlihat jelas, kata Rina, anak mengalami batuk yang tak kunjung sembuh selama dua pekan. Alih-alih membaik, batuk justru semakin parah.

“Batuk lebih dari 2 pekan memang ada beberapa penyebab, bisa karena asma, bronkitis, atau TBC. Kalau TBC, sifat gejalanya menetap walau sudah diberikan pengobatan,” kata Rina dalam media briefing virtual pada Senin 20 Maret 2023.

Ada kalanya juga, badan anak tampak lesu, tidak aktif bermain dan munculnya benjolan di kelenjar daerah leher rahang bawah, ketiak, dan selangkangan.

“Untuk lebih jelasnya, memang harus periksa ke dokter agar kasus TBC bisa terus ditekan dan semakin banyak orang yang bisa disembuhkan. Orangtua tak perlu khawatir, ini penyakit yang bisa sembuh asal mekanisme pengobatan yang tepat,” kata Rina.

Faktor pemicu lainnya yang mengakibatkan angka kasus TBC terus meningkat tak lain adalah stigma masyarakat. Mengakibatkan pasien atau penyintas TBC terlambat didiagnosis, tidak patuh berobat, atau putus pengobatan.

Itu, kata Rina, permasalahan serius, “Bila pasien TBC tidak mendapat pengobatan, risiko penularan justru lebih besar. Penanganan untuk pasiennya sendiri juga lebih kompleks.”

Terlebih anak-anak. Stigma juga menyebabkan mereka menarik diri dari lingkungan, ditolak dari pergaulan, dan sulit bersekolah. Kondisi ini pada akhirnya berkontribus terhadap munculnya permasalahan ekonomi dan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan.

“Anak yang mengidap TBC atau memiliki anggota keluarga yang menderita TBC tak jarang menjadi sasaran diskriminasi. “Di sekolah agak tricky, contoh ada orangtua murid sekolah di suatu daerah yang ingin memindahkan anak-anaknya hanya karena ada penghuni sekolah yang diketahui terkena TBC,” ujar Rina.

Semua baik psikologis, ekonomi, dan kesehatan, saling berkaitan satu sama lain dan berdampak buruk jika tidak ditangani dengan tepat.

“Untuk itu, kita perlu memperkuat komitmen dalam menanggulangi TBC. Kita harus mencapai target mampu mengeliminasi TBC pada 2030 mendatang,” tambah Imran.

Upaya Pencegahan

TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis, terutama menyerang paru-paru tetapi tidak menutup kemungkinan juga mengenai organ lain seperti selaput otak, usus, kelenjar getah bening, ginjal, tulang, dan kulit.  

Menular lewat udara melalui percikan air ludah pasien saat batuk, bicara, atau bersin tanpa menutup mulut dan hidung atau tanpa menggunakan masker. Tidak hanya anak-anak, TBC juga menyerang kalangan dewasa dan orangtua.

Pengobatan penyakit tuberkulosis biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan aturan minum obat yang ketat, guna mencegah risiko terjadinya resistensi antibiotik. Jika tidak ditangani cepat, penyakit TBC dapat berakibat fatal. Meski begitu TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan dan bisa dicegah.

Jumlah kasus TBC di Indonesia pada 2021 dan 2022 secara keseluruhan, berdasar data Kemenkes, mencapai 969.000 orang. Pada 2021, sebanyak 443.235 kasus di antaranya berhasil terdeteksi dan 91 persen sudah mendapat pengobatan.

Pada 2022, jumlah kasus yang terdeteksi meningkat, mencapai 717.941 dan 85 persen di antaranya sudah mendapat pengobatan.

Ilustrasi: Paru-paru yang terkena penyakit menular TBC. (Antara/HO-Kemenkes)

Sejauh ini, Kemenkes terus berupaya mengedukasi masyarakat, termasuk dalam hal pencegahannya. Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan guna mencegah penularan TBC:

  1. Pemberian vaksin BCG pada usia 0-3 bulan
  2. Menggunakan masker saat berada ditempat ramai dan berinteraksi dengan penderita TBC, serta mencuci tangan.
  3. Menutup mulut saat bersin, batuk, dan tertawa atau gunakan tisu untuk menutup mulut. Tisu yang sudah digunakan dimasukan kedalam plastik dan di buang ke kotak sampah.
  4. Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
  5. Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
  6. Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang diderita tidak lagi menular.
  7. Khusus bagi penderita TBC menggunakan masker ketika berada disekitar orang terutama selama tiga pekan pertama pengobatan, upaya ini dapat membantu mengurangi resiko penularan.

“Dalam mencapai eliminasi 2023, kami memang telah menyusun strategi eliminasi TBC mulai dari pencegahan dengan pemberian imunisasi dan penyuluhan penyegahan TBC, penyediaan sarana diagnosis TBC, dan promosi kesehatan. Menyukseskannya tentu butuh kolaborasi antara pemangku kepentingan dan sejumlah masyarakat, termasuk kalangan peneliti,” tutur Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.