Manisnya Cukai dari Minuman Berpemanis
Minuman berpemanis dalam kemasan mengancam tingkat kebahagiaan dan harapan hidup masyarakat Indonesia. (Antara/Pexels)

Bagikan:

JAKARTA – Penandatanganan Petisi Koalisi Food Policy mengenai implementasi kebijakan cukai pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) terus berlanjut. Hingga 19 Maret 2023 pukul 18.50 WIB, petisi bertajuk Diabetes dan Obesitas Mengintai: Lindungi Masyarakat dari Bahaya Minuman Berpemanis’ tersebut telah ditandatangani oleh 15.826 orang.

Koalisi Food Policy menilai sudah semestinya pemerintah khawatir terhadap tingginya minat mengonsumsi produk-produk tersebut. Tidak menyehatkan dan jelas mengancam tingkat kebahagiaan dan harapan hidup masyarakat Indonesia.

Sebab, MBDK yang selanjutnya disebut minuman berpemanis diakui sebagai salah satu faktor yang berkontribusi besar terhadap peningkatan kasus obesitas di seluruh negara, termasuk Indonesia.  

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan konsumsi minuman berpemanis di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam 20 tahun terakhir, dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.

Indonesia pada 2020, bahkan sudah menempati posisi ketiga dengan konsumsi minuman berpemanis terbanyak di Asia Tenggara.

Selaras dengan data prevalensi obesitas kalangan dewasa di Indonesia yang juga meningkat hampir dua kali lipat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018 berdasar Riset Kesehatan Dasar (Rikerdas) 2018. Yang lebih miris, obesitas juga sudah menyerang banyak anak berusia 5-12 tahun.

Penderita obesitas berisiko besar terkena penyakit-penyakit kronis seperti diabetes, stroke, jantung koroner, dan kanker. (Antara)

Tentu sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya berdampak terhadap kesehatan secara fisik, tetapi juga terhadap masalah sosial dan ekonomi. Penderita obesitas berisiko dua kali lebih besar terkena penyakit-penyakit kronis.

Apa jadinya bangsa Indonesia pada 2045, jika generasi mudanya banyak yang mengalami diabetes, stroke, atau jantung coroner? Alih-alih bisa berperan aktif dalam pembangunan, mereka justru malah membebani pembiayaan kesehatan yang ditanggung pemerintah.

Kementerian kesehatan sejauh ini memang kerap memberikan edukasi agar masyarakat dapat menerapkan pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan kaya nutrisi dan berolahraga rutin, tetapi rupanya tak cukup.

“Sehingga, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pengenaan cukai untuk produk minuman berpemanis sebesar 20 persen berdasarkan kandungan gula,” tulis Koalisi Food Policy dalam petisinya.

Serta, perlu mengetatkan peraturan mengenai pelabelan informasi gizi pada produk minuman berpemanis, sesuai Permenkes Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Sehingga masyarakat menyadari bahayanya bila mengonsumsi terlalu banyak.

“Pengendalian minuman berpemanis melalui cukai di Indonesia harus segera dilakukan untuk melindungi hak atas kesehatan dan hak terhadap akses ketersediaan pangan yang layak,” imbuh Koalisi Food Policy.

Sudah 40 Negara

Pemerintah, menurut laporan CISDI, sebenarnya bisa berkaca dari negara-negara lain. Sudah lebih dari 40 negara, termasuk mayoritas negara ASEAN yang memberlakukan pengenaan cukai pada produk minuman berpemanis saat ini.

Seperti di Prancis pada 2018, menerapkan pajak skala bertingkat, dimulai dari 1 gram gula per 100 mililiter dan naik menjadi 0,20 euro per liter untuk minuman dengan lebih dari 11 gram gula per 100 mililiter.

Lalu di Thailand sejak September 2018, menerapkan tarif cukai spesifik, berjenjang berdasar volume, mulai dari 0,10 baht per liter untuk produk dengan kandungan gula 6–8 gram per 100 mililiter, 0,30 baht per liter untuk produk dengan kandungan gula 8–10 gram per 100 mililiter, 0,50 baht per liter untuk produk dengan kandungan gula 10–14 gram per 100 mililiter, dan 1 baht untuk produk dengan kandungan gula lebih dari 14 gram per 100 mililiter.

Bahkan, tidak hanya untuk produk berpemanis gula alami (sukrosa) saja, tarif cukai juga berlaku untuk produk minuman berpemanis dengan pemanis non-kalori atau disebut dengan low-or zerocalorie sweetened beverages (LCSBs)

“Studi evaluasi di Thailand dan Filipina menunjukkan bahwa penerapan cukai MBDK cukup efektif untuk menurunkan konsumsi masyarakat sebesar 8,4 persen hingga 17,7 persen,” tulis CISDI.

Sementara untuk Indonesia, CISDI memprediksi dengan pengenaan 20 persen cukai akan menurunkan konsumsi minuman berpemanis sebesar 24 persen. Tentu ini berdampak positif pula terhadap penurunan prevalensi obesitas dan penyakit-penyakit turunannya.

Belum Dilaksanakan

Indonesia pada tahun 2020, sebenarnya sudah menggulirkan rencana pengenaan cukai terhadap produk minuman berpemanis dengan adanya pernyataan dari Kementerian Keuangan. Kebijakan ini juga mendapat respon positif dari DPR RI.

Ada tiga kategorisasi minuman berpemanis yang akan menjadi Barang Kena Cukai (BKC) baru. Pertama, minuman berpemanis yang mengandung pemanis berupa gula dengan kadar tertentu. Kedua, minuman berpemanis dengan pemanis alami yang batasannya tidak dibatasi, dan ketiga, minuman berpemanis dengan pemanis buatan tanpa ditetapkan batasannya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani belum bisa memastikan penarikan cukai terhadap produk MBDK kapan terlaksana. (Antara)

Namun rupanya rencana tersebut belum juga diberlakukan hingga saat ini. Padahal, Presiden telah menargetkan penerimaan cukai dari produk minuman berpemanis sebesar Rp3,08 triliun sesuai landasan Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023,

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani dalam keterangannya tidak menjelaskan detail alasan terkait itu.

Dia hanya mengatakan, “Karena bersifat perencanaan, implementasi pengenaan cukai produk plastik dan minuman berpemanis bakal disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan sosial pada 2023.”