Bagikan:

JAKARTA - Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencanangkan pengenaan cukai untuk minuman berpemanis, dengan tarif mulai dari Rp1.500 hingga Rp2.500 per liter. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi gula masyakarat Indonesia. Selain itu juga untuk mengurangi penderita penyakit diabetes melitus.

Lalu seberapa besar pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat? Benarkah pemerintah tak kejar penerimaan negara dari kenaikan cukai minuman berpemanis?

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan, cukai minuman berpemanis ini akan sangat berdampak pada daya beli masyarakat. Bahkan, akan mengalami penurunan.

"Besar pengaruhnya. Namun kami belum hitung ulang. Ini hal lama yang diulang lagi. Kami pernah lakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat," tuturnya kepada VOI, di Jakarta, Selasa, 25 Februari.

Pada dasarnya, menurut Adhi, belum ada data yang menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan penyakit tidak menular (PTM) dan obesitas. Menurut dia, jika tujuan pemerintah adalah mengatasi PTM dan obesitas perlu dilakukan kajian kembali.

"Kami sangat mengkhawatirkan ini, karena tujuan harus jelas. Kalau judulnya 'potensi penerimaan', apakah tepat pemerintah melakukan ini? Kalau untuk upaya menurunkan PTM dan obesitas, pelaku usaha sudah berupaya membantu pemerintah," katanya.

Adhi menjelaskan, setidaknya ada tiga cara yang sudah dilakukan pelaku usaha untuk membatu pemerintah mengatasi masalah PTM dan obesitas. Pertama, edukasi konsumen meskipun belum terorganisir dengan baik. Namun menurutnya, itu bisa berpotensi menjadi gerakan nasional yang diharapkan memberikan dampak signifikan.

"Kedua, reformulasi produk menyesuaikan dan mendukung upaya mengatasi PTM dan obesitas. Ketiga, mencari alternatif pemanis yang lebih baik. Peran produk pangan olahan 30 persen dari total konsumsi pangan. Jadi alasan mengatasi PTM dan obesitas tidak tepat sasaran. Sebagian besar konsumsi segar dan olahan rumah tangga," ucapnya.

Sementara itu, kata Adhi, dampaknya juga akan berpengaruh pada produksi. Bahkan, sangat signifikan dengan perkiraan dapat berpengaruh ke harga jual sekitar 30 persen.

Adhi meminta, sebelum menetapkan untuk menaikkan cukai minuman berpemanis, pemerintah harus terlebih dahulu mengkaji dampaknya secara menyeluruh. Bahkan bisa sampai pada PHK di industri.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, sebenarnya dampak terhadap daya beli relatif kecil dibandingkan komoditas lain yang lebih tinggi. Dampak inflasi dari minuman berpemanis juga kecil jika dibanding bahan pangan lainnya.

"Sekarang yang sumbernya berdampak inflasi itu pangan, beras, cabai, bawang putih dan sebagainya. Kalau minuman berpemanis masih relatif kecil, karena sebenarnya konsumsi kita untuk gula dan sebagainya bahkan sebenarnya lebih dari cukup. Kalau dikurangi tidak terlalu berdampak besar," tuturnya saat dihubungi VOI.

Meski tak berdampak terlalu signifikan terhadap daya beli, kata Tauhid, cukai minuman berpemanis tetap memiliki dampak terhadap perusahaan makanan dan minuman di Indonesia. Efeknya, pelaku usaha aka mengurangi pengeluaran produknya.

"Tapi menurut saya ini dalam jangka mungkin ya kalau beberapa bulan akan terdampak. Setelah tiga atau enam bulan dia akan normal kembali. Akan ada penyesuaian harga, tapi menurut saya tidak terlalu besar. Karena beban pungutannya menurut saya masih lebih kecil dibanding negara-negara lain yang lebih tinggi. Kecuali lebih besar baru kena (inflasi) begitu," jelasnya.

Menurut Tauhid, penerapan cukai minuman berpemanis berangkat dari keadaan pemerintah yang saat ini sedang kesulitan disektor perpajakan. Sehingga, katanya, salah satu jalannya adalah menerapkan secepatnya sumber-sumber penerimaan negara di luar pajak.

"Memang sebenarnya yang paling mudah memang cukai. Nah kita saat ini sudah punya cukai rokok Rp160 triliun dan etil alkohol saya lupa mungkin di bawah Rp2 triliun. Sumber lain dimungkinkan, tapi menurut saya jumlahnya tidak besar. Kalau plastik 1,6 triliun, minuman manis saya lupa tapi kayanya enggak besar," tuturnya.

Tauhid menilai, dibanding dengan cukai minuman berpemanis yang justru punya potensi besar menyumbang penerimaan negara adalah sektor bahan bakar. "Karena volumenya jauh lebih besar dibandingkan minuman manis," katanya.

Pemerintah Tak Kejar Penerimaan Negara

Direktur Keberatan Banding dan Peraturan Ditjen Bea Cukai Kemenkeu Rahmat Soebagiyo membantah, bahwa penerapan cukai disektor baru yakni minuman berpemanis adalah upaya pemerintah menaikkan pendapatan negara.

"Jadi kalau pun nanti penambahan cukai baru terjadi, itu bukan permasalahan penerimaan sih. Itu kan pengaturan, kaitannya ke penerimaan enggak (ada)," tuturnya.

Rahmat mengatakan, terkait dengan dampak sektor industri makanan dan sebagainya yang dikeluhkan pengusaha dari kenaikan cukai ini akan dibahas pemerintah terlebih dahulu. Termasuk, kata dia, pengaruh terhadap industri dan harga.

"Itu perlu dibahas bersama enggak ujug-ujug ditetapkan. Sekarang bagaimana risiko yang dihadapi minuman berpemanis dan kami harapkan itu diatur dari cukai. Jadi kami tidak mengejar penerimaan," terangnya.

Sekadar informasi, tarif cukai yang dikenakan minuman berpemanis, pada produk teh kemasan dikenakan cukai Rp1.500 per liter, dengan jumlah produksi 2.191 juta liter ditargetkan penerimaan negara sebesar 2,7 triliun.

Untuk minuman berkarbonasi di patok Rp2.500 per liter dengan total produksi 747 juta liter dapat memberikan pemasukan Rp1,7 triliun.

Sedangkan, produk minuman berpemanis lainnya, seperti energi drink, kopi, konsentrat, dan lain-lain dikenakan tarif Rp2.500 per liter dengan jumlah produksi 808 juta liter yang ditaksir mencapai Rp1,85 triliun.

Jika berkaca pada pernyataan bahwa pemerintah tidak kejar penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis ini, nyatanya jika total keseluruhan penerimaan dari tiga kategori ini adalah Rp6,25 triliun.