Bagikan:

JAKARTA - Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menilai kebijakan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) cukup dilematis tapi perlu dilakukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan.

"Kebijakan ini memang cukup dilematis tapi perlu dilakukan karena maraknya minuman berpemanis saat ini dan dampak negatifnya terhadap kesehatan banyak, dari mulai diabetes, obesitas, jantung, dll. Meskipun pemicu penyakit-penyakit tersebut bukan hanya dari minuman berpemanis, tapi itu ikut berkontribusi," tuturnya kepada VOI, Rabu, 10 Juli.

Adapun, berdasarkan International Diabetes Federation menunjukkan bahwa angka penderita diabetes Indonesia merupakan ke 5 terbanyak pada 2021.

Riza menyampaikan untuk besaran tarif cukai MBDK belum memiliki perhitungan yang pas. Namun, jika dikenakan cukai, maka otomatis harga MBDK di tingkat konsumen akan meningkat.

Menurut Riza peningkatan harga ini yang diharapkan bisa menjadi rem bagi masyarakat untuk mengurangi konsumsi MBDK dan mengubah pola konsumsi masyarakat. Walaupun dapat mempengaruhi pendapatan pedagang kecil akibat adanya penurunan dalam permintaan di masyarakat.

Riza menyampaikan hal yang penting sebenarnya dalam penerapan kebijakan cukai MBDK adalah edukasi mengenai konsumsi minuman berpemanis kepada masyarakat secara luas.

"Kemudian sosialisasi kebijakan perlu pendekatan yang baik agar tujuannya sampai dengan jelas ke masyarakat," tuturnya.

Sementara untuk kemiskinan, Riza menyampaikan perlu melihat lebih jauh, jika memang dampaknya besar sampai terjadi pengurangan skala produksi yang besar, maka bisa berdampak kemiskinan.

Sementara, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) memang perlu dilakukan sebagai pengembangan (ekstensifikasi ) Barang Kena Cukai oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

"Sudah pasti kita perlu melakukan ekstensifikasi barang kena cukai. Mengingat jumlah barang kena cukai (BKC) di Indonesia yang masih minim dibandingkan dengan negara tetangga," ujarnya kepada VOI, Rabu, 10 Juli.

Cita menyampaikan jumlah BKC saat ini baru ada tiga sedangkan negara tetangga kita di ASEAN jumlahnya belasan. Di sisi lain, industri hasil tembakau terus menurun jadi ada risiko anggaran jika bergantung pada penerimaan cukai rokok.

Oleh sebab itu, Cita menyampaikan salah satu potensi BKC yang bisa dieksekusi adalah minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mengingat karakteristik MBDK sesuai dengan karakteristik BKC dalam Pasal 2 ayat 1 UU Cukai.

Menurut Cita untuk tarif cukai MBDK dapat menggunakan benchmarking dengan negara tetangga yang daya belinya sesuai dengan indonesia atau benchmarking dengan negara lain namun disesuaikan pada pendapatan perkapita dengan ukuran relative income price atau RIP.

"Gunakan benchmarking dengan negara tetangga yang daya belinya sesuai dengan indonesia atau benchmarking dengan negara lain namun disesuaikan dengan pendapatan perkapita, kita bisa gunakan ukuran relative income price atau RIP," ujarnya.

Cita menyampaikan jika cukai MBDK diterapkan sebesar Rp1.771 per liter, merupakan nilai yang sama seperti dengan negara tetangga yang kondisi ekonominya tak berbeda dengan indonesia. Meski demikian, untuk awal implementasi perlu diberikan tarif yang akomodatif bagi industri.

"Untuk awal implementasi biarkan secara administrasi berjalan dengan semestinya dahulu. Meski akan berdampak pada pengendalian dan penerimaan yang lebih kecil dari seharusnya," tuturnya.

Cita menyampaikan dengan penerapan cukai MBDK akan berdampak pada perekonomian Indonesia oleh sebab itu pentingnya desain kebijakan dengan menerapkan tarif yang diskriminatif bagi produk yang lebih baik bagi kesehatan misalnya produk rendah gula atau produk yang baik atau dibutuhkan bagi tubuh seperti minuman jus atau susu.

"Jika seperti ini, hanya terjadi peralihan konsumsi saja bukan pengurangan konsumsi. Dampaknya ke pelaku usaha kecil atau kemiskinan tidak perlu dikhawatirkan," jelasnya.

Di sisi lain, Cita menyampaikan dari penerimaan cukai tersebut pemerintah akan menggunakannya dalam bentuk belanja negara yang memiliki dampak ekonomi apalagi dimanfaatkan untuk BPJS Kesehatan sehingga masyarakat akan setuju.