Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memandang bahwa rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun ini bukan upaya efektif untuk mengendalikan penyakit tidak menular serta menurunkan tingkat obesitas masyarakat.

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, dari sisi kesehatan, kontribusi kalori dan minuman kemasan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia hanya sebesar 1,83 persen dari total kalori dibandingkan dengan produk makanan lainnya.

"Sehingga, tidak tepat dianggap sebagai penyebab diabetes dan obesitas," ujar Putu dalam agenda Rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Produk Pangan Olahan & Pangan Siap Saji dengan Kandungan Gula Garam Lemak Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 1 Juli.

Putu menambahkan, konsensus para ahli juga menyatakan bahwa penyebab obesitas dan diabetes adalah multifaktor. Termasuk gaya hidup, pola konsumsi, tingkat aktivitas fisik dan sebagainya.

"Sehingga, sangat tidak tepat menyalahkan minuman kemasan sebagai penyebab diabetes dan obesitas," katanya.

Di samping itu, kata Putu, ada sejumlah negara yang telah menerapkan cukai tersebut, namun tingkat obesitas masyarakatnya tetap saja meningkat. Ketiga negara tersebut adalah Meksiko, Inggris dan Australia.

Diketahui, sugar tax pertama kali dikenakan untuk masyarakat Meksiko pada 2014 silam. Namun, proporsi masyarakat yang menderita obesitas terus meningkat sejak 2017.

Kemudian, sugar tax di Inggris pertama kali dikenakan pada 2016. Namun, puncak tingkat obesitas masyarakat justru terjadi di 2017. Ada 30 persen wanita dan 27,4 persen pria di Inggris menderita obesitas.

Selanjutnya, tingkat konsumsi MBDK di Australia telah menurun selama beberapa tahun. Namun, tingkat prevalensi obesitas tetap meningkat.

"Seperti Meksiko, kalau kami lihat obesity rate-nya ini masih meningkat. Demikian juga yang dilaksanakan di Inggris maupun Australia," ucap Putu.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawari menyampaikan bahwa target cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) penerapan sudah ditetapkan.

Namun, implementasi cukai MBDK lebih kompleks jika dibandingkan dengan cukai plastik lantaran pelaksanaanya memerlukan pembahasan lintas menteri.

"Plastik sudah kami sampaikan di sini. Kami buat judgement soal masalah ekonomi saja, kalau sedang lemah kami tambahkan cukai dan juga urgensinya kebijakan cukai ini untuk discourage konsumsi karena itu berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan. Jadi, kami lihat timingnya soal kondisi ekonomi dan target yang sudah ditetapkan di APBN," jelas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Selasa, 19 Maret 2024.

Menurut Sri Mulyani, hal ini dikarenakan minuman berpemanis masuk dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan. Sehingga, pembahasannya akan dilakukan bersama lintas kementerian/lembaga, baik Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Perindustrian.

"Nanti akan ada pembahasan antar Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian mengenai kadar gula, kadar garam yang dianggap sehat versus industri. Ini makanya memang sudah muncul berbagai reaksi karena memang adanya pembahasan antar k/l," ujarnya.

Meski begitu, Sri Mulyani menegaskan, sebelum melakukan implementasi cukai MBDK akan dilakukan konsultasi terlebih dahulu baik di k/l, kabinet maupun DPR RI.