JAKARTA – Pelaku usaha, khususnya yang tergolong mikro, kecil, dan menengah tentu perlu kembali melakukan evaluasi dalam menyikapi masa new normal pascapandemi COVID-19 saat ini. Evaluasi utama adalah memahami pola perubahan perilaku konsumen.
Saat era pandemi, bisnis online memang meningkat tajam. Transaksi e-commerce Indonesia tumbuh 51,6 persen dari tahun sebelumnya, hingga diproyeksi mencapai Rp403 triliun pada 2021 menurut laporan Bank Indonesia.
Namun, apakah tren tersebut tetap tinggi pada masa new normal? CEO Top Coach Indonesia Tom MC Ifle menengarai tentu ada perubahan.
Menurut Tom, transaksi e-commerce bisa meningkat karena sejumlah hal. Pertama karena ‘dipaksa’ lewat pembatasan mobilitas masyarakat oleh pemerintah pada masa pandemi COVID-19.
Kedua, karena banyak masyarakat yang mencari penghasilan tambahan dengan menjadi reseller dan ketiga banyak yang berbelanja online hanya ingin mengisi waktu luang dengan memanfaatkan promo.
“Sekarang tidak ada lagi pembatasan, orang sudah senang berpergian, belanja ke supermarket dan toko-toko offline, lalu banyak orang sudah tidak lagi jadi reseller dan mayoritas mereka sudah aktif kembali, tentu ada perubahan meski tidak signifikan,” kata Tom kepada VOI pada 17 Maret 2023.
Paling hanya sekitar 20-30 persen masyarakat yang mulai tidak terpaku lagi berbelanja online di e-commerce, khususnya para generasi X dan Y.
“Tapi bukan berarti kalangan itu meninggalkan e-commerce sama sekali. Hanya saja kecenderungan mereka belanja dan makan di luar lebih besar. Apalagi saat ini promo-promo sudah jauh berkurang, banyak e-commerce yang tidak lagi bakar duit. Motivasi ini juga harus jadi pertimbangan,” ucapnya.
Sehingga, Tom menyarankan pelaku usaha menerapkan omnichannel, strategi yang menggabungkan semua channel baik seluruh channel online maupun offline. Sehingga bisnis bisa lebih kuat.
Tom meyakini tren berbelanja online tetap jadi pilihan. Sebab, memang lebih praktis hemat waktu dan tenaga. Lalu, lebih banyak pilihan, dan harga umumnya jauh lebih murah.
Namun, sebaiknya jangan hanya mengandalkan penjualan di e-commerce. Pelaku usaha juga harus mengikuti tren dengan mengandalkan social commerce.
“Sekarang, sudah banyak orang yang beralih. Mereka hanya menaruh produk di e-commerce hanya sebagai syarat, sedangkan jualannya di media sosial, lewat live instagram, facebook, TikTok, atau lewat WhatsApp Group. Kalau offline bisa lewat pameran, buat stan, dan lainnya, tidak melulu buka toko. Cara ini yang akan dilakukan pada momen Ramadan dan Lebaran nanti,” tuturnya.
Tren Social Commerce
Tren berjualan dengan mengandalkan social commerce memang kian booming setidaknya dalam dua tahun terakhir. Platform yang paling banyak digunakan, menurut survey Populix pada 28 Juli 2022 hingga 9 Agustus 2022, adalah TikTok Shop (45 persen), WhatsApp (21 persen), Facebook Shop (10 persen), dan Instagram Shop (10 persen).
Lebih dari 50 persen produk yang mereka beli di social commerce adalah pakaian. Lalu, produk kecantikan, produk makanan dan minuman, handphone dan aksesorinya, serta peralatan rumah tangga.
Dari segi pengguna, TikTok Shop kebanyakan digunakan oleh 56 persen perempuan berusia 18-25 tahun dan 53 persen perempuan usia 26-35 tahun, sedangkan WhatsApp dan Instagram kebanyakan digunakan oleh orang dewasa berusia 36-45 tahun.
Dalam laporan survei berjudul ‘The Social Commerce Landscape in Indonesia’, Populix juga meyakini penggunaan WhatsApp untuk pengalaman berbelanja akan meningkat hingga 30 persen kedepannya. Begitupula Instagram meningkat hingga 35 persen dan akan menjadi kompetitor kuat TikTok.
“Ke depannya, pengguna TikTok Shop akan terus didominasi oleh perempuan terutama mereka yang berusia 18-25 tahun. Sementara, Instagram Shop akan lebih merata untuk seluruh jenjang usia dari 18-45 tahun dan didominasi oleh kalangan menengah ke atas. Sedangkan WhatsApp akan lebih banyak digunakan oleh kalangan dewasa berusia 36-45 tahun,” seperti yang terpapar dalam laporan tersebut.
Data tersebut bisa menjadi acuan, media sosial apa yang tepat untuk produk yang dijual. Kendati begitu, pelaku usaha juga harus memahami, meski memiliki sejumlah kemudahan, berjualan online tetap memiliki kriteria tertentu untuk mampu bersaing.
Minimal, mampu menghadirkan konten-konten menarik yang juga menampilkan keunggulan dari produk-produk yang ditawarkan.
Bukan hanya deskripsi produk saja yang perlu dipoles dengan baik, tampilan gambar yang tertera di masing-masing produk juga bagus. Sematkan juga review baik dari para pembeli agar siapa saja yang melihat semakin tertarik untuk membeli.
“Tapi yang lebih penting lagi, pelaku usaha harus mereview terlebih dahulu, apa sih yang diinginkan target pasar kita,” imbuh Tom.