Subsidi Kendaraan Listrik Lebih Baik Dialihkan ke Transportasi Umum
Ilustrasi - petugas PLN mendemonstrasikan pengisian baterai mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Bogor (17/11/22). (Antara/Arif Firmansyah)

Bagikan:

JAKARTA – Pemberian subsidi untuk pembelian kendaraan listrik, menurut pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono Wibowo merupakan langkah tidak tepat. Alih-alih menggerakkan penggunaan transportasi umum, pemerintah justru mendorong masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.

Bertolak belakang dengan semangat menghidupkan kembali transportasi umum. Lebih baik, nilai subsidi sebesar Rp1,75 triliun digunakan untuk pembangunan sarana prasarana transportasi massal perkotaan.

“Toh tujuan yang dicapai tetap sama. Kalau masyarakat sudah mau beralih, beban kebutuhan BBM (bahan bakar minyak) pasti berkurang, polusi juga berkurang, bahkan lebih efektif hasilnya kemacetan juga dapat teratasi,” kata Sony kepada VOI pada 9 Maret 2023.

Lagipula, kalau kekhawatirannya terhadap penggunaan BBM yang cukup tinggi dan nilai subsidi BBM yang semakin berat kenapa tidak melanjutkan kembali program bahan bakar gas. Terlebih, Indonesia merupakan produsen gas terbesar dunia.

“Kenapa ujug-ujug ke listrik?” tuturnya.

Pemerintah seharusnya tidak perlu turut campur terlalu jauh. Biar kendaraan listrik mengikuti mekanisme pasar, tanpa subsidi dan tanpa insentif apapun.

Pemerintah memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik. Total nilai subsidi mencapai Rp1,7 triliun. (Unsplash)

“Tinggal dorong infrastrukturnya, misal memperbanyak SPKL (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik). Tidak harus menggunakan APBN, silakan daerah yang memegang kendali. Jangan malah ikut-ikutan jualan. Kalau SPKL sudah banyak, masyarakat juga mau beralih, apalagi kalau harga kendaraan listrik lebih murah,” tutur Sony.

“Ini malah diberi keistimewaan, mobil listrik bebas tol, bebas ganjil genap, bebas parkir, dikasih subsidi pula enggak benar itu. Sama saja nyuruh orang pakai kendaraan pribadi,” tambahnya.

Sony mengakui negara-negara Uni Eropa memang memberikan banyak insentif untuk kendaraan listrik, tetapi infrastruktur negara-negara tersebut sudah siap, sistem transportasi umumnya juga sudah berjalan efektif.

“Kalau Indonesia dibalik. Mendorong dulu kepemilikan kendaraan listrik. Terus transportasi umum nasibnya bagaimana? Jadi kalau mau meniru, lihat juga sejarahnya, jangan ujungnya saja. Belum saatnya seperti ini. Permasalahan yang harus dibenahi kemacetan terlebih dahulu,” ucap Sony.

Lihat data Tomtom International BV mengenai Indeks Kemacetan Jakarta pada 2022, rata-rata waktu tempu perjalanan per 10 kilometer di DKI mencapai 22 menit 40 detik.

Kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Bogor, Makassar juga memiliki permasalahan serupa. Ini memberikan dampak negatif, antara lain polusi udara, pemborosan bahan bakar kendaraan, dan kerugian ekonomi akibat waktu terbuang.

Sebuah motor listrik sedang melakukan penggantian baterai di mesin penyedia baterai motor. (Antara)

“Apakah dengan kebijakan mendorong penggunaan mobil listrik bisa mengatasi kemacetan, justru nanti semakin parah,” ucapnya.

Rencana pemerintah memberikan subsidi untuk kendaraan listrik, menurut pengajar teknik sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, tidak memiliki pijakan dalam ekosistem transportasi di Indonesia.

Selain untuk pembenahan transportasi umum, lebih bijak subsidi dialihkan untuk mobilitas di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal, serta daerah kepulauan.

“Lagipula, UMKM tidak butuh sepeda motor listrik. Setiap UMKM sudah punya sepeda motor. Kondisi sekarang mereka lebih butuh modal usaha. Subsidi itu diberikan oleh negara kepada warga yang tidak mampu. Orang yang bisa membeli motor atau mobil berarti orang mampu, buat apa diberi subsidi,” kata Djoko kepada VOI pada 9 Maret 2023.

Djoko meminta kebijakan tersebut ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan visi ke depan transportasi Indonesia, “Program ini rawan penyalahgunaan. KPK harus mengawasi.”

Dipicu Kelangkaan BBM

Kalau memang ingin menggalakkan penggunaan kendaraan listrik, kata Djoko, pemerintah sebenarnya masih memiliki banyak cara yang lebih bijak. Tengok Kota Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.

Sejak 2007, penduduk Kota Agats sudah menggunakan kendaraan listrik untuk mobilitas sehari-hari karena minimnya akses memasok bahan bakar minyak. Akses ke dan dari Kabupaten Asmat hanya bisa dijangkau melalui udara dan laut. Akses udara melalui Bandar Udara Ewer yang terletak di Pulau Ewer, sedangkan akses laut melalui Pelabuhan Laut Asmat.

Pada tahun 2018, kata Djoko, keberadaan kendaraan listrik semakin meningkat. Data Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat menyebut telah mencapai 3.154 kendaraan listrik. Terbanyak sepeda motor listrik 3.067 unit. Saat ini, kabarnya sudah mencapai lebih dari 4.000 unit.

Jarang ada penduduk yang menggunakan kendaraan dengan bahan bakar bensin. Motor dengan BBM biasanya hanya digunakan oleh petugas kepolisian, sedangkan mobil hanya ambulan atau mobil pemerintah.

“Kota Agats sudah memberikan contoh mampu menjadikan kendaraan listrik sebagai alat transportasi utama. Mereka bisa tidak bergantung kepada BBM dalam aktivitas sehari-hari. Kota-kota kecil sebenarnya bisa menerapkan ini. Jadi, butuh pemicu untuk membuat orang memilih kendaraan listrik, bukan tiba-tiba lewat subsidi,” tuturnya.

Penduduk Kota Agats, Asmat, Papua Selatan sudah menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan utama sejak 2007. (Istimewa)

Namun, kalau untuk kota-kota besar, transportasi umum tetap harus mendapat prioritas. Nilai Rp1,7 triliun itu, menurut Djoko, bisa untuk membenahi transportasi perkotaan di 20 kota.

“Di Indonesia banyak orang pintar, jauh lebih pintar dari beberapa negara di Asia Tenggara, tetapi Indonesia tidak pernah bisa buat kebijakan yang cerdas. Secara individu, rakyat Indonesia unggul tapi secara negara Indonesia mandul,” kata Djoko menandaskan.

Seperti yang sudah diberitakan VOI, Kementerian Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sudah mengumumkan pemberian subsidi untuk pembelian mobil dan motor listrik. Ada 35.900 mobil listrik dengan nilai subsidi kabarnya hingga Rp80 juta per unit. Serta 200.000 sepeda motor dengan nilai subsidi sebesar Rp7 juta per unit.

“Itu akan berlaku sampai Desember 2023. Sehingga harga jual lebih terjangkau di masyarakat,” kata Agus di Jakarta pada 6 Maret lalu.

Syaratnya:

  1. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
  2. Penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR)
  3. Penerima Banpres Produktif Usaha Mikro atau BPUM
  4. Pelanggan Listrik dengan daya 450 sampai 900 VA

Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi untuk 50.000 kendaraan konversi BBM ke listrik.

Kendaraan listrik memang menjadi solusi untuk menekan penggunaan BBM. Saat ini, pemerintah masih terus mengimpor BBM karena konsumsi BBM dalam negeri mencapai hingga 1 juta barel per hari, sementara angka produksi minyak mentah nasional merujuk data SKK Migas media 2022, hanya sekitar 616,6 ribu barel per hari.