Depo Pertamina Plumpang Dipindah: Ketika Negara Harus Mengalah kepada Warga yang Berbuat Salah
Letak permukiman warga yang sangat berdekatan dengan Depo Pertamina Plumpang, yang terbakar pada Jumat petang 3 Maret 2023. (Antara/Aprillio Akbar)

Bagikan:

JAKARTA – Bila Depo Pertamina Plumpang memiliki zona penyangga, ledakan pipa bahan bakar yang terjadi pada 3 Maret 2023 kemungkinan besar tidak akan merugikan warga. Sehingga, kata pengamat tata kota Nirwono Yoga, pemerintah sudah saatnya merealisasikan rencana penataan ulang area tersebut.

“Ini demi keamanan dan keselamatan warga. Menyangkut nyawa manusia, tidak boleh ditawar lagi,” kata Nirwono kepada VOI pada 8 Maret 2023.

Namun, bukan merelokasi depo bahan bakar minyaknya, melainkan merelokasi warga yang berada di area depo. Kembalikan fungsi lahan lalu buat zona penyangga 500 meter, bukan 50 meter atau bahkan lebih. Sesuai kajian keamanan dan keselamatan jika terjadi ledakan atau kebakaran pada kemudian hari. Ini, menurut Nirwono, lebih realistis.

“Memindahkan depo itu tidak mudah, perlu kajian mendalam termasuk luas lahan dan infrastrukturnya, status lahan yang jelas. Lahan harus milik Pertamina, biaya yang sangat besar dan waktu yang lama,” lanjut Nirwono.

Sementara, Depo Plumpang harus tetap beroperasi memasok distribusi nasional. Merujuk situs Pertamina, Depo Pertamina Plumpang memiliki kapasitas tangki timbun 291.889 kiloliter dan memasok sekitar 20 persen kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia.

Wilayah distribusi paling utama mencakup Jabodetabek. Rata-rata pasokan harian bahan bakar minyak dari Depo Pertamina Plumpang mencapai 16.504 kiloliter.

Ledakan pipa gas di Depo Pertamina Plumpang pada 3 Maret 2023 mengakibatkan puluhan rumah hangus terbakar dan 19 warga yang bermukim di sekitar depo meninggal dunia. (Antara/M Risyal Hidayat/foc)

Lagi pula, memang sudah seharusnya negara melindungi dan mempertahankan objek vital nasional, bukan memindahkan. Presiden Jokowi saja mengakui zona itu sebenarnya bukan zona permukiman, melainkan zona air sebagai pelindung dari objek vital.

“Apakah kalau ada depo bahan bakar minyak lainnya yang juga dikepung permukiman padat kemudian deponya juga harus dipindah?” Nirwono heran.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio melalui pesan singkat kepada VOI pada 8 Maret 2023 juga menambahkan, “Kalau bangun rumah di pinggir kali, ketika kali meluap mengakibatkan warga meninggal, apakah kalinya juga harus dipindahin juga?”

Bila menilik sejarah, Depo Pertamina Plumpang sudah beroperasi mulai 1974. Ketika itu, area di sekitar depo yang sekarang dikenal Rawa Badak masih tanah kosong atau rawa. Pembangunan Depo Pertamina sudah matang direncanakan, termasuk lokasinya yang hanya berjarak 5 km dari Pelabuhan Tanjung Priok. Juga, sudah sesuai Rencana Induk Djakarta 1965-1985.

Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005, menurut Nirwono, keberadaan Depo Pertamina Plumpang juga masih dipertahankan dan dilindungi sebagai obyek vital nasional. Namun sejak periode 1985 hingga 1998, mulai terjadi pengambilalihan oleh warga.

“Keberadaan depo berskala besar tentu memancing kedatangan para pekerja dan pendukung kebutuhan pekerja. Mulai muncul warung makan, tempat tinggal sementara, kos-kosan, warung, kios, bahkan pasar. Hingga akhirnya, membentuk permukiman yang memadati ke arah depo terutama pada tahun 2000 dan terus hingga saat ini,” ungkap Nirwono.

Alih-alih mendapat tindakan tegas, Pemprov DKI justru memutihkan/mengakui/melegalkan pemukiman tersebut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010 dan RTRW DKI Jakarta 2010-2030.

Sehingga, menurut Nirwono, permukiman padat yang notabene melanggar tata ruang harus ditertibkan dan ditata kembali.

“Jika pertimbangan utamanya adalah depo sebagai obyek vital nasional dan demi keamanan dan keselamatan warga harusnya tidak ada alasan penolakan untuk penataan ulang kawasan depo dan sekitar. Tetapkan jarak aman ideal obyek penting tersebut dan benahi pemukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu,” tutur Nirwono.

“Tentunya, semakin lebar zona penyangga membawa konsekuensi semakin banyak perumahan warga yang harus direlokasi dan semakin banyak unit rusunawa yang harus disediakan pemerintah,” ucapnya.

Identifikasi Lahan

Direktur Jenderal (Dirjen) Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Gabriel Triwibawa pun mengakui semua objek vital nasional, termasuk depo bahan bakar minyak Plumpang milik Pertamina harus memiliki zona penyangga dengan lebar 500 meter. Bersifat private atau publik.

Kalau bersifat private, disediakan dan dikembangkan oleh pengelola kawasan tersebut. Kalau bersifat publik, baik ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru yang menyediakan adalah pemerintah daerah.

“Misal depo Pertamina Plumpang, kalau memang bersifat private, Pertamina yang harus menyediakan lahannya. Tapi saya tidak tahu pasti, Pertamina Plumpang itu private atau publik,” kata Gabriel di Shangri-La Hotel, Jakarta pada 7 Maret 2023.

Yang pasti, selain tengah melakukan identifikasi lahan di sekitar area Depo Pertamina Plumpang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional juga tengah melakukan proses revisi RTRW Provinsi, khususnya yang terkait dengan objek vital nasional.

Bila tanah tersebut benar milik masyarakat, maka akan ada program penetapan lokasi dan pengadaan tanah. Bila milik Pertamina, akan ada pembahasan lanjutan dengan Pertamina.

“Meski pada akhirnya depo akan pindah ke lahan Pelindo, kami tetap menyiapkan wilayah-wilayah zona penyangga yang aman untuk pemukiman,” tuturnya.

Relokasi Depo ke Kalibaru

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah memutuskan untuk merelokasi Depo Pertamina Plumpang ke lahan milik PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Pembangunan akan dimulai pada akhir 2024 dan diprediksi rampung pada 2027.

“Ini semata untuk melindungi masyarakat,” kata Erick seusai rapat dengan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati pada 6 Maret 2023.

Lahan milik Pelindo berlokasi di kawasan New Priok Container Terminal (NPCT), Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Lahan ini merupakan hasil proyek reklamasi seluas 83 hektare. Terletak tepat di waterfront, sehingga akan memudahkan bongkar muat minyak dan gas dari kapal ke terminal dan sebaliknya.

Lokasinya sangat strategis, jauh dari permukiman penduduk. Ditunjang oleh akses Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) serta New Priok Eastern Access (NPEA).

”Pada prinsipnya Pelindo siap mengikuti arahan pemerintah dan terbuka terhadap opsi pemindahan ke pelabuhan. Untuk selanjutnya, kita akan menunggu pembicaraan lebih lanjut antara Pertamina dan Pelindo," kata Group Head Sekretariat Perusahaan Pelindo, Ali Mulyono dalam keterangannya seperti yang sudah diberitakan VOI.

Lahan milik Pelindo yang akan dijadikan lokasi pembangunan Depo Pertamina. (Dokumentasi PT Pelindo)

Belum ada keterangan resmi berapa biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan depo tersebut. Namun, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman memperkirakan bisa menghabiskan biaya 300 juta dolar Amerika Serikat.

“Ketimbang memindahkan Depo Plumpang, lebih baik pemerintah mempertimbangkan merelokasi permukiman penduduk yang berada dekat dengan perimeter lokasi depo,” kata Yusri dalam keterangan resminya pada 7 Maret 2023.

Memang sangat dilematis, di satu sisi warga Tanah Merah juga telah menyatakan sikap tidak bersedia bila pemerintah memutuskan akan merelokasi warga. Bendahara Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB) Muktar menyatakan, bila pemerintah atau Pertamina ingin buat zona pengaman silakan lakukan dari pagar ke dalam, bukan ke luar.

“Jangan warga lagi yang dikorbankan. Intinya, kami tidak mau direlokasi. Justru, Pertamina harus bertanggung jawab terhadap warga yang terdampak ledakan,” imbuhnya.