Korupsi Ternyata Bukan Kejahatan Luar Biasa
Ilustrasi – Penegakan hukum terhadap para koruptor belum memberikan efek jera. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Perilaku yang merenggut hak-hak dasar masyarakat untuk memperoleh penghidupan atau pelayanan publik yang laik.

Namun realitanya, menurut Direktur PolEtik Strategic, M Subhan, sangat berbeda jauh. Alih-alih sebagai kejahatan luar biasa, para koruptor malah kerap mendapat keringanan hukuman. Bahkan, mereka tetap mendapatkan hak berpolitik.

Masih boleh mendaftar sebagai calon anggota legislatif dengan alasan aturan tentang syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD yang tertuang dalam Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 tahun 2017 tidak menyebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi.

“Kabarnya pula ada yang diangkat jadi staf khusus menteri, entah benar atau tidak. Secara moral dan etika sangat tidak pantas. Gimana bisa disebut kejahatan luar biasa. Korupsi seharusnya tidak bisa disamakan dengan tindak pidana lain,” kata Subhan kepada VOI pada 14 Maret 2023.

Subhan menyinggung isu pengangkatan mantan Bupati Purbalingga yang tersangkut korupsi, Tasdi sebagai staf khusus Menteri Sosial (Mensos). Isu pengangkatan mantan napi korupsi tersebut sebagai staf khusus Mensos, sudah dibantah langsung oleh Mensos Tri Rismaharini.

Lagipula, apakah ada jaminan setelah menjabat dia tidak melakukan hal yang sama. Justru, menurut Subhan, mereka akan cenderung kalkulatif.

Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara. (Antara/Galih Pradipta)

“Korupsi dihukum 10-12 tahun penjara misalnya. Lalu dapat segala macam pengurangan masa hukuman hingga hanya 3-4 tahun. Setelah bebas, dia jadi pejabat lagi, mulai itung-itungan, korupsi sekian miliar kalau hanya tiga tahun berarti harus berapa, dan segala macamnya. Sudah terjadi saat ini,” tutur Subhan.

Bila itu terus dibiarkan, mimpi Indonesia menjadi negara maju tidak akan terwujud, malah bisa jadi semakin terpuruk. Lihat yang terjadi dengan Kenya, Sudan, atau Somalia. Ketiganya adalah negara dengan kekayaan alam melimpah.

Namun akibat bobroknya moral dan etika para pejabatnya, korupsi merajalela hingga mengakibatkan rakyat menderita dan berujung konflik. Somalia bahkan tercatat sampai menjadi negara kedua paling miskin di dunia pada 2021 dengan tingkat pendapatan nasional bruto per kapita hanya sebesar 450 dolar Amerika Serikat menurut Business Insider.

Saat ini pun menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022. Ini membuat peringkat Indonesia turun menjadi 110 dari 180 negara.

Kemensos mengonfirmasi bahwa tidak benar mantan Bupati Purbalingga, Tasdi yang sempat menjadi narapidana korupsi menjadi staf khusus Menteri Sosial. (Twitter)

Penurunan skor tersebut, kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko, merupakan dampak dari penegakan hukum yang lemah karena masih didapati aparat penegak hukum yang terlibat korupsi.

Juga, karena banyak pengambil kebijakan yang merangkap sebagai pengusaha sehingga timbul konflik kepentingan.

“Sehingga pada akhirnya memengaruhi kebijakan yang dikeluarkan. Selain itu, proyek perizinan dan pembangunan yang direncanakan sarat akan muatan korupsi,” ujar Wawan seperti dilansir dari Tempo.

Indeks Persepsi Korupsi merupakan gambaran kondisi korupsi di suatu negara. Semakin rendah skor maka semakin parah pula korupsi di negara tersebut.

Perlu Upaya Nyata

Selain penegakan hukum, kata Subhan, hal yang membuat perilaku koruptif semakin merajalela juga karena minimnya moral dan etika. Hampir sudah tidak ada lagi rasa malu berbuat curang.

“Lihat berapa banyak pemimpin daerah yang terlibat korupsi, berapa banyak anggota legislatif dan yudikatif yang juga terlibat korupsi. Tak salah kalau saya bilang semangat memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme saat reformasi telah gagal. Sekarang, para koruptor terus bergentayangan dari pusat kekuasaan hingga raja-raja kecil di daerah,” tuturnya.

“Jangankan dana proyek pembangunan atau pengadaan barang, dana bantuan sosial COVID-19 yang notabene diperuntukkan untuk rakyat miskin saja di korupsi. Rektor kena OTT, miris. Langit Indonesia benar semakin runtuh,” Subhan menambahkan.

Rektor Universitas Lampung, Karomani terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). (Antara/Sigid Kurniawan/aww)

Itulah mengapa, butuh upaya nyata memberantas korupsi. Kalau perlu, kata Subhan, potong satu generasi agar tidak memberi pengaruh buruk ke generasi bawahnya.

“Kalau tidak bisa, penegakan hukum untuk koruptor tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selama tidak ada penegakan hukum, selama koruptor masih mendapat keringanan hukum, selama koruptor masih diberi banyak keistimewaan, perilaku korupsi di Indonesia tidak akan hilang,” ucapnya.

Jadikan hukum sesuai dengan tujuannya, untuk membuat jera pelaku kejahatan, melindungi kepentingan bersama, dan mencegah terjadinya konflik.