JAKARTA – Dari kasus penganiayaan yang melibatkan Mario Dandy Satrio (20), Shane Lukas (19), dan Agnes Gracia Haryanto (15) ada beberapa hal yang semestinya menjadi renungan. Orangtua harus menyadari perilaku remaja saat ini sudah jauh bergeser, cenderung menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Pertama terkait empati. Ini adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, dan menghargai perbedaan perasaan orang terhadap berbagai macam hal.
Perilaku yang ditunjukkan ketiga remaja itu jelas memperlihatkan mereka kurang memiliki kemampuan tersebut. Sutarimah Ampuni, Kepala Unit Center for Life Span Development Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada menyebutnya sebagai antisocial behaviour.
Mario dengan brutal menghajar korban David Ozora (17). Padahal, korban tidak memberikan perlawanan, bahkan mau melaksanakan perintah Mario untuk push up dan menjura di hadapannya.
Meski sudah tergeletak, Mario terus menendang dan menginjak kepada korban. Usai menendang, dia melakukan selebrasi laiknya seorang pesepak bola yang mencetak gol.
Shane sibuk mendokumentasikan aksi tersebut lewat kamera ponsel sambil memprovokasi Mario, “Enak banget, main bola ya?”
Namun, ketika mengetahui David telungkup tidak bergerak, Shane baru melerai, “Udah, udah!”
“Enggak takut gua anak orang mati,” jawab Mario dengan sombong kepada Shane.
Alih-alih menolong, Agnes justru menyaksikan aksi kekasihnya, Mario dengan santai berdiri sambil merokok.
Rangkaian aksi itu terlihat dalam adegan rekonstruksi yang digelar Polda Metro Jaya di tempat kejadian perkara, kompleks Green Permata, Jakarta pada 10 Maret 2023.
Antisocial behaviour merupakan gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang ditunjukkan dengan pelanggaran norma dan hak orang lain. Ini muncul karena pola asuh orangtua yang tidak memperhatikan pertumbuhan emosional anak sejak kecil sehingga membuat anak kurang memiliki sifat empati.
“Biasanya, ada pengalaman tertentu yang anak terima selama masa pengasuhan. Keberfungsian keluarga yang kurang seperti ayah dan ibu yang tidak berperan sebagaimana mestinya, kemudian anak-anak yang mendapatkan pengabaian dalam keluarga, melecehkan dalam keluarga, dan perlakuan-perlakuan yang tidak seharusnya diterima oleh anak memang membuat empati anak tidak berkembang,” papar Sutarimah seperti dilansir dari podcast SuarAkademia.
Untuk itulah, keluarga harus bisa berperan optimal. Penuhi kebutuhan emosi anak di rumah. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1987 oleh Mark A. Barnett memerlihatkan bahwa anak yang kebutuhan emosinya terpenuhi oleh orang terdekatnya memiliki rasa empati yang lebih besar.
Contoh kecil ketika anak mengalami masalah. Perhatian dan pelukan hangat dari keluarga dan orangtua secara tidak langsung bisa menjadi bentuk pengajaran empati kepada anak. Terkait ini, orangtua harus bisa menjadi pendengar yang baik dan yang terpenting harus bisa menyiapkan waktu khusus berdiskusi dan bermain dengan anak.
Sejatinya, empati bukanlah kemampuan yang sudah otomatis dimiliki seseorang sejak lahir, melainkan harus terus diasah dan dibentuk. Jangankan anak dan remaja dengan kondisi emosi yang cenderung labil, kalangan dewasa pun belum tentu memiliki empati tinggi.
Pergaulan Bebas
Kedua mengenai pergaulan bebas. Pelajar merokok bukan lagi hal asing saat ini. Hasil riset Indonesia Institute for Social Development (IISD) bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada September 2022 menunjukkan, sebanyak 27,7 persen pelajar di tingkat SMP dan SMA di Indonesia pernah merokok. Bahkan, 10,67 persen di antaranya tergolong perokok aktif.
Mereka merokok mayoritas karena stres, rasa penasaran, dan solidaritas teman. Ini, kata Agus Suprapto, sangat berbahaya dan dapat menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.
Kandungan nikotin dan tar dalam rokok merusak kesehatan. Nikotin memiliki efek candu, merusak jaringan otak, menyebabkan darah mudah menggumpal, juga menyempitkan pembuluh darah arteri. Sedangkan tar dapat membunuh sel-sel pada saluran pernafasan dan paru-paru, meningkatkan produksi lendir dan cairan paru-paru.
Pelajar yang sudah menjadi perokok aktif juga cenderung mengalami gangguan belajar, gangguan daya tangkap, gangguan kecemasan, hingga depresi ringan.
“Bila gaya hidup terus larut, bagaimana Indonesia bisa memiliki SDM unggul dan berdaya saing,” kata Agus, ketika menjabat Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Apalagi, salah satu indikator keberhasilan pembangunan SDM di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ialah penurunan persentase merokok usia 0-18 tahun dari 9,1 menjadi 8,7 pada 2024
Lalu mengenai kabar perilaku seks bebas yang mendera Agnes.
Terlepas benar atau tidaknya, perilaku ini juga harus mendapat perhatian lebih bagi orangtua.
Berdasar data, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pada Januari 2022 mengatakan 74 persen laki-laki dan 59 persen perempuan pada usia 15-19 tahun sudah melakukan hubungan seks.
Salah satu faktor penyebab perilaku seks bebas adalah lingkungan keluarga.
Kurangnya perhatian dari keluarga, membuat remaja cenderung mencari tempat yang nyaman untuk pelarian. Tanpa pengawasan orangtua, remaja akan mudah terjerumus ke hal-hal negatif. Terlebih arus informasi tak lagi terbendung saat ini. Konten-konten pornografi semakin mudah diakses.
Orangtua harus memberi pemahaman kepada anak. Selain tidak sesuai dengan norma agama dan budaya Indonesia, perilaku seks bebas juga mempengaruhi kesehatan reproduksi dan mental.
BACA JUGA:
Rentan terjangkit penyakit menular seksual. Belum lagi kalau sampai hamil di luar nikah, mental pasti terganggu. Menanggung malu, dianggap aib bagi keluarga, dan terancam putus sekolah.
Proses persalinannya pun, kata Hasto, sangat berisiko, mengancam keselamatan ibu dan bayi.
"Ujung-ujungnya menjadikan kualitas sumber daya manusia kita sangat rendah. Hubungan seks di bawah usia 20 tahun adalah hubungan yang sangat berisiko. Maka nasihatnya, jangan mendekati zina. Negara sangat mengharapkan generasi muda menjadi generasi yang berkualitas sebagai tumpuan masa depan bangsa," kata Hasto seperti dilansir dari Antara.