Bagikan:

JAKARTA – Hanya karena laporan dari kekasihnya, Mario Dandy Satrio (20) sampai nekat menganiaya Cristalino David Ozora (17) hingga mengalami koma. Peristiwa ini terjadi di Komplek Grand Permata Cluster Boulevard, Jakarta Selatan pada 20 Februari 2023.

Kondisi David di rumah sakit bahkan masih belum sadarkan diri hingga saat ini. Mario yang merupakan anak pejabat Dirjen Pajak tak menyangka remaja yang dianiayanya ternyata putra dari petinggi Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang dipimpin oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Mungkin awalnya si pelaku merasa punya beking dari status yang dimiliki orangtuanya, sehingga dia merasa lebih superior dan orang akan takut sama dia. Tapi, ternyata remaja yang menjadi korban juga memiliki beking.

Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Absar Abdalla tak habis pikir dengan perilaku kalangan muda saat ini yang begitu mudahnya melakukan hal sadis hanya karena motif remeh-temeh.

“Seseorang melakukan kekerasan yang bisa menghilangkan nyawa orang lain hanya karena laporan cewek yg dipacarinya, menurut saya, ini salah satu bentuk kejahatan yang dipicu karena hal yang remeh, tak masuk akal,” cuit Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Absar Abdalla pada 24 Februari 2023.

Gaya Mario Dandy Satrio dengan moge. (TikTok/@mariodandys)

“Kenapa sadisme ini tampak seperti sesuatu yang wajar saja? Kenapa anak-anak belia ini melakukan tindakan yang potensial menghilangkan nyawa dengan begitu ringan, seolah-olah seperti kegiatan menyantap bakso? What went wrong with our society?” lanjutnya.

Dari sisi psikologi, kata Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rose Mini Agoes Salim, usia Mario masih tergolong remaja akhir yang tengah memasuki fase dewasa. Pola pikir yang belum terlalu matang membuat mereka biasanya lebih senang bertindak impulsif tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Terlebih, bila ada pemicunya, seperti dari pasangan atau pacar. Jelas dalam kasus tersebut, tindakan penganiayaan yang dilakukan Mario bermula dari laporan kekasihnya, Agnes yang merasa telah disakiti oleh David selaku mantannya. Agnes kemudian mengatur skenario agar bisa bertemu David hingga terjadilah insiden tersebut

“Pelaku tentu ingin terlihat hero. Ingin menunjukkan bahwa dia mampu menjadi pelindung. Biar dia terlihat lebih baik dibandingkan korban di mata perempuannya,” kata Rose kepada VOI pada 24 Februari 2023.

Sementara, dari sisi Agnes, menurut Ulil, ada yang menganalisa motif Agnes terlibat dalam kekerasan adalah demi validasi, yaitu hasrat seseorang agar diakui eksistensinya. Dengan mendorong Mario melakukan kekerasan untuk mempertahankan cintanya, Agnes merasa menjadi seseorang yang penting.

Jika motif validasi itu benar, berarti telah terjadi gejala desensitisasi, kondisi ketika seseorang kehilangan perasaan yang lazim. Sehingga, orang dapat dengan mudah melakukan kekerasan tanpa ada penyesalan meski motifnya hanya remeh-temeh.

Saat penganiayaan terjadi, Agnes diketahui berada di lokasi tanpa ada upaya mencegah tindakan Mario.

“Apa yg terjadi di masyarakat kita sehingga ada orang-orang yang kehilangan akal sehat dan perasaan yang wajar hingga melakukan sadisme? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi ini layak direnungkan,” ucap Ulil menutup cuitannya.

Rose pun menilai insiden tersebut bukanlah kenakalan remaja. Melakukan penganiayaan meski dilakukan oleh remaja sekalipun itu sudah di luar kewajaran.

“Remaja juga harus tahu mana batasan yang baik dan buruk. Orang dipukulin, sudah pingsan masih saja terus dihantam, ini enggak wajar,” ucap Rose.

Pola Asuh

Penyebab kekerasan lazimnya karena pola asuh. Perkembangan seseorang dipengaruhi oleh faktor nature dan nurture. Nature, menurut Rose, adalah pemberian Tuhan dan sulit untuk diubah. Sementara nurture adalah faktor yang diciptakan berdasarkan pengalaman lingkungannya sehingga mempengaruhi perilaku individu.

Konsep nurture sangat berkaitan erat dengan interaksi dan lingkungan sosial. Mungkin pernyataan yang tidak asing untuk menggambarkan konsep ini adalah dengan siapa seseorang bergaul, disitulah juga seseorang terbentuk.

“Jadi kalau memang potensi anak merasa ingin selalu unggul, harus selalu nomor satu. Lalu kalau enggak nomor 1 dia merasa enggak nyaman, terpuruk. Sikap arogansi ini kalau lingkungan mendukungnya, akibatnya bisa lebih heboh. Apalagi, tanpa disertai dengan asupan moral,” tutur Rose.

Apakah anak-anak pejabat selalu arogan? Rose mengatakan tidak juga. Faktor terpenting adalah pola asuh. Meski memiliki materi yang melimpah, selama anak dididik dengan cara tepat, kepribadiannya pasti akan terbentuk baik.

“Bila orangtua mendidik untuk selalu low profile, selalu menanamkan nilai-nilai moral, selalu mengajak anak untuk menghargai orang lain, anak tidak akan egois, tidak akan selalu merasa dominan,” terang Rose.

Moral adalah kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk membedakan baik dan buruk. Moral tidak bisa tumbuh dengan semestinya kalau tidak ada stimulasi. Inilah yang membuat kemampuan membedakan baik dan buruk seseorang tidak sama.

Rose mencontohkan anak yang tinggal di keluarga pencuri. Anak akan menganggap mencuri itu adalah hal biasa karena memang kemampuan moralnya untuk menganggap mencuri adalah perbuatan buruk tidak terasah.

“Begitupun sikap anarkis. Kalau memang kemampuan moral anak diasah untuk menganggap sikap anarkis adalah perbuatan buruk, anak kemungkinan besar tidak akan melakukan itu. Jadi, tinggal bagaimana lingkungan menstimulasinya. Mau apapun pola asuh yang diterapkan orangtua, moral adalah yang terpenting. Lingkungan juga harus mendukung,” imbuhnya.

Bukan Remaja

Reza Indragiri Amriel, anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan, Poltekip Kemenkumham tidak ingin menarasikan Mario sebagai remaja.

“Anak yang bukan lagi anak-anak. Jadi, sikapi dia sebagai orang dewasa. Beda dengan penyikapan terhadap pelaku anak-anak, terhadap pelaku dewasa publik boleh marah,” kata Reza dalam pesan tertulis kepada VOI pada 24 Februari 2023.

Menurut Reza, salah satu hal yang ditakar lewat risk assessment terhadap pelaku kekerasan adalah tingkat kemandirian, baik kemandirian finansial maupun sosial. Semakin seseorang tidak mandiri, semakin tinggi risiko perilaku kekerasannya.

“Barangkali ini yang publik sangkut-pautkan dengan gaya hidup mewah yang bersangkutan. Masih muda, pengasuhan pemanjaan secara berlebihan, bisa dipandang sebagai kondisi yang memunculkan faktor risiko pada yang bersangkutan,” ucapnya.

Apalagi, pada usia tersebut, dia sudah mendapat fasilitas kendaraan mewah. Ini, menurut Reza, seperti memberikan senjata. Seseorang yang membawa senjata akan mengalami peningkatan rasa percaya diri, lebih macho, dan chauvinistic. Namun, di sisi lain, ini juga bisa melemahkan kemampuan seseorang untuk berpikir logis.

“Senjata membuat pemiliknya menjadi impulsif. Boleh jadi itu pula sensasi yang bersangkutan selaku pengguna mobil mewah,” katanya.

Reza pun tidak mau melihat pelaku dari silsilah keluarga, “Semata-mata supaya saya, lebih-lebih aparat penegak hukum tidak bias melihat peristiwa ini. Jadi, penanganan atas kasus ini tidak boleh disertai perasan ewuh-pakewuh atau pun perasaan takut.”