JAKARTA – Agnes Gracia (15) telah terbukti memiliki peran vital dalam kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17). Dari fakta persidangan terkuak, dia lah yang menentukan waktu dan tempat untuk mempertemukan korban dengan tersangka Mario Dandy Satrio. Perilaku Agnes pula yang memicu emosi Mario hingga tega menganiaya korban.
Agnes dan korban berstatus mantan kekasih. Hubungan mereka hanya berlangsung selama beberapa hari dari akhir Desember 2022 hingga awal Januari 2023. Tak lama setelah putus, persisnya pada 11 Januari 2023, Agnes kemudian menjalin kasih dengan Mario.
Berjalan sekiranya dua pekan, tiba-tiba teman Mario, Anastasia Amanda Pretya alias Amanda menyampaikan kabar mengenai persetubuhan Agnes dan korban yang terjadi pada 17 Januari 2023.
Mario Dandy Satrio sontak emosi, lantas mencoba menghubungi korban beberapa kali. Tak hanya kepada korban, Mario juga meminta klarifikasi dari Agnes. Dalam pengakuannya, kata Hakim Sri Wahyuni Batubara, “Anak (Agnes) merasa terpaksa dan takut saat melakukan persetubuhan dengan korban di kontrakannya pada 17 Januari 2023.”
Namun, menurut hemat Sri, pengakuan paksa tersebut tidak lah benar karena tidak ada tanda-tanda trauma yang terlihat dalam diri Agnes.
“Terbukti dari pengakuan anak di persidangan bahwa setelah bersetubuh dengan anak korban, anak juga melakukan persetubuhan dengan saksi Mario Dandy sebanyak lima kali,” kata Sri ketika membacakan vonis dalam sidang pada 10 April 2023.
Atas dasar-dasar itulah, Hakim Sri menyebut Agnes Gracia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu.
“Menjatuhkan pidana terhadap anak oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak),” katanya.
Pengamat hukum pidana dari JFB Indonesia Legal Consultant Farizal Pranata Bahri menganggap keputusan itu sudah cukup tepat, meski sebenarnya bisa lebih berat sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum selama 4 tahun.
Sebab, menurut dia, tidak ada faktor-faktor yang meringankan dari sisi hukum. Justru banyak pertimbangan yang lebih memberatkan, seperti harapan orang tua korban, kondisi korban yang mengalami koma hingga belasan hari di rumah sakit, pemulihan korban, dan biaya keseluruhan pengobatan sampai pemulihan yang tentu tidak sedikit.
“Kalau terkait orangtua yang sakit kanker, itu bukan alasan yang meringankan,” katanya kepada VOI pada 11 April 2023.
Bentuk Pembinaan
Psikolog anak dan remaja Novita Tandry sejak awal memang meyakini Agnes mengalami gangguan psikologi. Bisa dibilang, dia hidup tanpa pengasuhan yang cukup dari keluarga karena keterbatasan. Ayahnya mengalami stroke dan lumpuh sejak lama, sementara sang ibu menderita kanker, dan adiknya juga menderita kanker hati.
Sehingga, dia berharap vonis yang dijatuhkan terhadap Agnes merupakan hukuman yang tepat. Dalam arti, hukuman yang membuat Agnes bisa menyadari kesalahannya dan tetap bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
“Dia masih sangat muda. Bukan berarti tidak menerima putusan hakim, yang menjadi perhatian sekarang, apakah penjara mampu menjadi tempat pembinaan untuk remaja seperti dia (Agnes)? Memang dilematis, bila dikembalikan ke keluarga, apakah orangtuanya juga bisa menjamin perkembangannya,” kata Novita kepada VOI pada 11 April 2023.
Namun menurut Farizal, anak yang berkonflik dengan hukum sudah semestinya mendapat perlakuan khusus. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 azas yang dianut dalam sistem peradilan anak mengacu ke kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan, perampasan kemerdekaan dan pembinaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan.
Pembedaan ini memiliki tujuan memberikan perlindungan bagi perkembangan psikis anak-anak yang memiliki masa depan masih panjang.
“Jadi, anak-anak yang berada di lembaga pembinaan tetap mendapatkan haknya, termasuk hak pendidikan,” ucapnya.
Anak yang sedang menjalani masa pidana juga berhak mendapat pengurangan masa pidana, memperoleh asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, pembebasan bersyarat, dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sesuai Pasal 4 UU Nomor 11 Tahun 2012.
“Jangan sampai anak sudah jatuh tertimpa tangga. Mengalami kesalahan, dipenjara, alih-alih menjadi lebih baik, masa depan anak justru hilang,” imbuhnya.