Bagikan:

JAKARTA – Tampak adil pada awalnya, ternyata Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil tidak seadil yang dikira. Kasus korupsi yang saat ini menjeratnya, seperti menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.

Ketika Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah di Pekanbaru pada 8 Desember lalu, dia bersuara keras menuntut keadilan mengenai ihwal dana bagi hasil produksi minyak di wilayahnya.

Lifting minyak di Meranti meningkat drastis hampir dua kali lipat mencapai 8.000 barel per hari. Belum lagi, asumsi harga minyak dalam anggaran negara naik menjadi 100 dolar AS per barel dari yang sebelumnya 60 dolar AS per barel.

“Tapi mengapa dana bagi hasil yang kami terima cuma Rp115 miliar, hanya naik sekitar Rp700 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Minyaknya banyak, dapat besar kok malah duitnya berkurang. Apakah uang saya dibagi seluruh Indonesia?” tanya Adil kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman.

“Kalau Bapak tidak mau ngurus kami, pusat tidak mau ngurus Meranti, kasihkan kami ke negeri sebelah," Muhammad Adil melanjutkan.

Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil saat mempertanyakan dana bagi hasil minyak kepada Kementerian Keuangan ketika Rakornas Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah di Pekanbaru pada 8 Desember 2022. (Antara/HO-Prokopim Setda Kepulauan Meranti)

Dia mengklaim telah berupaya meminta penjelasan dari Kementerian Keuangan dengan beraudiensi langsung terkait itu. Bahkan, Adil mengaku sampai mengejar ke Bandung, Jawa Barat hanya untuk bertemu. Sayangnya, pertemuan tidak dihadiri oleh pejabat yang kompeten menjawab pertanyaannya.

"Sampai saya itu ngomong, ini orang keuangan isinya iblis atau setan," katanya.

Potensi sumber daya alam di Kabupaten Kepulauan Meranti sangat melimpah. Tak hanya sektor migas, melainkan juga dari hasil laut dan perkebunan seperti sagu, kelapa, karet, pinang, dan kopi.

Namun realitasnya, potensi tersebut berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Kabupaten Kepulauan Meranti, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, adalah wilayah termiskin dibanding 12 kabupaten/kota lain di Riau. Tercatat ada 48,5 ribu jiwa atau sekitar 25,68 persen masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Bahkan, jumlah tersebut diperkirakan meningkat saat ini. Angka pengangguran saja semakin banyak. Muhammad Adil menyebut, “Bisa mencapai 41 ribu penduduk menjadi pengangguran akibat pandemi COVID-19.”

Ternyata, realitas tersebut tak hanya karena dugaan pembagian dana hasil yang tidak merata, tetapi juga akibat perilaku korupsi pemimpin dan pejabat daerahnya sendiri.

Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil (tengah berompi kuning) dan dua tersangka lainnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada 7 April 2023. (Antara/Fianda Sjofjan Rassat)

Alih-alih bisa mewujudkan keadilan untuk masyarakatnya, Adil bersama puluhan pejabat Pemkab Kepulauan Meranti dari sekda, kepala dinas dan badan, kepala bidang, dan pejabat lainnya justru terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adil, menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, terlibat dalam penerimaan suap. Dia diduga memerintahkan kepala dinas untuk memberi setoran yang berasal dari uang persediaan dan ganti uang persediaan masing-masing dinas sebesar 5-10 persen.

“Setoran itu kemudian digunakan sebagai dana operasional kegiatan safari politik untuk pencalonan yang bersangkutan maju dalam pemilihan Gubernur Riau pada 2024. Setoran yang terkumpul saat ini Rp26,1 miliar, tentunya akan ditindaklanjuti,” terang Marwata pada 7 April lalu.

Psikologi Korupsi

Berdasar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraa Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 29 Maret 2022, harta kekayaan Muhammad Adil mencapai Rp4,7 miliar. Dia memiliki 73 jenis tanah dan bangunan berstatus hasil sendiri yang berlokasi di Provinsi Riau. Serta, lima kendaraan bermotor, dan kas sebanyak Rp200 jutaan.  Adil pun tercatat tidak memiliki utang.

Mengapa orang sudah cukup secara materi masih juga mau melakukan korupsi? Padahal jelas dan tegas aturan agama dan hukum yang berlaku di Indonesia melarangnya. Bahkan, sebagai pemimpin Adil dan para pejabat Kepulaun Meranti juga tentu memahami dampak dari perilaku korupsi terhadap kemakmuran daerah yang dipimpinnya.

Wijayanto dan Ridwan Zachrie membedahnya dari sisi psikologis. Menurut mereka, seperti yang tertulis dalam buku ‘Korupsi Mengorupsi di Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan Korupsi’, kondisi kejiwaan manusia sungguh sangat rapuh dan fluktuatif, selalu bergelombang naik dan turun secara permanen.

Rentan tergoda dan terpeleset melakukan hal-hal yang dilarang oleh nalar sehat dan agama. Semua manusia dilengkapi pikirian untuk merancang skema hidup yang lurus dan benar. Hati dan emosi sebagai motor penggerak, serta tangan dan kaki untuk melaksanakan keputusan.

Sayangnya, komponen utama ini tidak selalu sinkron dalam menopang kehidupan. Komponen hati memiliki nafsu, keinginan, dan selalu mengejar kesenangan. Seringkali berjalan sendiri dan tidak mau mendengarkan perintah dan peringatan nalar sehat.

Suasana pusat kota Selatpanjang, ibu kota Kabupaten Kepulauan Meranti yang merupakan salah satu kabupaten termiskin di Provinsi Riau meskipun kaya minyak. (Wikimedia Commons)

“Contoh kecil dari kebiasaan mengonsumi minuman keras atau merokok. Jika ditanya secara rasional, semuanya pasti menjawab kebiasaan itu jelek dan merusak. Namun, tak sanggup menolak dan mengendalikan emosinya yang sudah termanjakan oleh kesenangan sesaat yang telah menjajah jiwanya,” ucapnya.

Sama halnya dengan korupsi. Secara sosial-psikologis, ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwanya sehingga lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata, sesungguhnya hidupnya terjebak pada level hewani, gagal menjadikan nilai dan kualitas insani sebagai pemimpin dalam kehidupannya.

Pribadi yang demikian meski lahiriahnya kaya, tetapi sesungguhnya jiwanya miskin. Meski pendidikan dan jabatan tinggi, orientasi hidupnya rendah. Meski tampaknya gagah dan energik, tetapi jiwanya sakit. Jadi, orang yang senang melakukan korupsi jiwanya sakit, tidak sanggup menaikkan kualitas dan komitmen hidupnya pada level lebih tinggi.

“Oleh karena itu, fakta sosial menunjukkan negara meskipun sekuler tidak beragama, jika pendidikan dan ekonominya bagus serta hukum ditegakkan, lebih sanggup mengurangi korupsi ketimbang masyarakat yang agamis namun miskin komitmen sosial dan kemanusiaan,” tulis Wijayanto dan Ridwan Zachrie.

Lihat Kanada, India, Prancis, Turki, dan Korea Selatan, negara-negara ini bisa menjelma menjadi negara maju karena berhasil mengendalikan perilaku koruptif di negaranya. Bagaimana dengan Indonesia?

Guru besar ilmu politik, Prof Salim Said pernah menyatakan, “Indonesia kenapa enggak maju karena Tuhan pun tidak ditakuti. Coba lihat semua yang masuk KPK, semua pernah di sumpah di bawah kitab suci setelah itu dia langgar, dia tidak takut sama Tuhan. Satu bangsa yang tidak ada yang ditakuti, tidak akan maju.”