Bagikan:

JAKARTA – Majelis Rendah Parlemen Malaysia melakukan amandemen terhadap sejumlah pasal hukuman mati wajib. Pemberlakuan aturan baru ini tinggal menunggu pengesahan dari Dewan Negara.

Nantinya, hakim memiliki opsi lain untuk mendakwa aksi kriminal yang sebelumnya wajib dikenakan dakwaan maksimal hukuman mati, menjadi hukuman penjara hingga 40 tahun dan hukuman cambuk.

“Hukuman mati belum membawa hasil yang diharapkan. Kita tidak dapat secara sewenang-wenang mengabaikan keberadaan hak hidup yang melekat pada setiap individu,” kata Wakil Menteri Hukum Pemerintah Malaysia, Ramkapal Singh seperti dikutip Bernama pada 4 April 2023.

Keputusan tersebut, menurut Singh, merupakan langkah tepat menciptakan sistem hukum yang dinamis, progresif, dan relevan dengan kebutuhan saat ini.

Kendati begitu, bukan berarti sepenuhnya hukuman mati dihilangkan, hanya 11 dari 34 jenis tindak pidana, antara lain sejumlah kejahatan serius yang tidak menyebabkan kematian seperti penculikan, perdagangan narkoba, hingga perdagangan senjata.

Malaysia akan memiliki aturan baru dengan tidak mewajibkan hukuman mati untuk kasus-kasus tertentu. (Antara/Rony Muharrman/ama/aa)

Mantan hakim dan diplomat Malaysia Dato' Noor Farida Binti Mohd Ariffin pun mengatakan hukuman mati tetap berlaku. Hanya saja hakim lebih memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan hukuman dan tidak melulu mengarah ke hukuman mati.

Itu tentu langkah maju bagi Malaysia, terlebih pemidanaan mati di dunia internasional saat ini juga sudah jauh berkurang. Dalam catatan Amnesty International, 142 negara sudah menghapus praktik hukuman mati.

Tak ada bukti bahwa hukuman mati lebih efektif dalam mengurangi kejahatan daripada hukuman penjara seumur hidup. Hukuman mati justru cenderung digunakan sebagai alat politik.

“Saya tentu saja gembira bahwa Parlemen Malaysia telah mengesahkan undang-undang untuk menghapus hukuman mati wajib. The Malaysian Bar Council dan LSM lainnya telah memperjuangkan hal ini sejak lama,” katanya seperti dilansir dari BBC Indonesia pada 5 April 2023.

Berbuat Sama

Di Indonesia, pemidanaan hukuman mati sempat menjadi pro-kontra. Bila merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 5-8 Oktober 2021, 50,2 persen responden setuju penerapan hukuman mati dan 6,2 persen sangat setuju.

Hanya 41,8 persen responden yang tidak setuju, 1,8 persen lagi sangat tidak setuju.

Mereka yang setuju dan sangat menyetujui beralasan hukuman mati bisa memberi efek jera, wujud ketegasan hukum, sesuai dengan hukum agama, setimpal dengan perbuatannya, dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia untuk kejahatan serius.

Terutama untuk kasus terorisme, narkotika, korupsi, dan pembunuhan berencana.

Sementara mereka yang tidak setuju dan sangat tidak menyetujui beralasan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, tidak manusiawi, tidak sejalan dengan arah perbaruan hukum pidana, dan tidak sesuai dengan UUD.

Khususnya, Pasal 28i UUD 1945, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly saat rapat paripurna DPR RI pengesahan RUU KUHP menjadi Undang-Undang pada 6 Desember 2022. (Antara/Firman)

Namun, bila mencermati kasus perdagangan narkotika, pelaksanaan hukuman mati rasanya perlu dilakukan. Sebab, dampaknya sangat fatal bagi keberlangsungan negara.

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika. Dalam pertimbangannya seperti dilansir dari Antara, MK menilai hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin UUD 1945, lantaran hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak termasuk hak asasi yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945.

Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen undang-undang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.

Di sisi lain, Indonesia juga telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal.

Lagipula, penerapan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan penghapusan hukuman mati.

Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri memperbolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Artinya, hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.

Itu pun tidak bersifat baku. Orang yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan masih memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada peluang untuk tidak dihukum mati.  

Jalan Tengah

Pemerintah dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau KUHP baru seolah mengambil jalan tengah dengan menjadikan hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan pidana khusus yang diancamkan secara alternatif. Sehingga, proses pelaksanaannya juga berbeda.

Ini bisa terlihat dalam Pasal 100 KUHP baru:

(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau

b. peran terdakwa dalam tindak pidana.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untu diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Artinya, Malaysia dan Indonesia menerapkan prinsip yang tak jauh berbeda dalam menerapkan hukuman mati. Lewat aturan barunya, Malaysia juga tidak menghilangkan seluruhnya penerapan hukuman mati, hanya memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dalam kasus-kasus tertentu. Begitupun Indonesia, penerapan hukuman mati tetap diberlakukan dengan mekanisme berbeda.