JAKARTA – Wacana pembentukan koalisi besar, menurut Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam bukan perkara mudah, terutama dalam konteks menyamakan persepsi mengenai penentuan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan diusung.
Bila PDI Perjuangan masuk dalam koalisi, sebagai penguasa dengan jumlah kursi terbanyak di parlemen, partai berlambang banteng moncong putih ini tentu akan mematok Capres yang diusung.
“Pertanyaannya apakah lima partai lainnya, Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP setuju?” kata Umam kepada VOI pada 10 April 2023.
Sedangkan bila PDI Perjuangan memilih jalan berbeda, bukan berarti permasalahan selesai. Benturan tetap terjadi, khususnya dalam penentuan Cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto.
“Kalau calon presiden sudah jelas, dari informasi dan gimik politik yang ditampilkan oleh Istana condong ke Prabowo, partai lainnya juga kemungkinan setuju. Tapi siapa wakilnya, ini yang jadi permasalahan,” lanjut Umam.
Munas Partai Golkar telah mengamanahkan agar Airlangga Hartarto menjadi Capres dan Cawapres. Artinya, kata Umam, “Enggak mungkin Golkar memberikan tiket secara gratis kepada Cawapres yang juga belum tentu menang, maka sebagai kompensasi dia pasti akan mematok Cawapres.”
Di sisi lain, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) juga sudah terlihat jelas sejak 2019 ingin masuk dalam kontestasi pemilihan presiden, bahkan sejak 2014.
“Brandingnya macam-macam, dari Cawapres zaman now, Panglima Santri, Gus Ami, Gus Muhaimin, dan lain sebagainya. Tandanya, ada kepentingan besar dari PKB mengantarkan Cak Imin sebagi bagian dari kontestan di Pilpres. Harapannya bisa mengonsolidasikan basis pemilih loyal baik dari nahdliyin maupun non nahdliyin untuk membesarkan elektabilitas partai,” tutur Umam.
Alasan itu pula yang membuat PKB melangkah begitu cepat mendekati Gerindra membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) sehingga kemungkinan Cak Imin menjadi Cawapres lebih tinggi.
“Tapi jika masuk dalam koalisi besar, kemungkinan itu akan menurun lagi,” ucap Umam.
Partai Amanat Nasional (PAN) juga akan mengajukan Cawapres nya pada Pemilu 2024. Namun menurut Umam, bukan Zulkifli Hasan melainkan Erick Thohir, “Ya, bukan rahasia lah, Erick akan menjadikan PAN sebagai kendaraan politiknya pada Pemilu nanti.”
Dengan logistiknya, Erick seolah telah membeli dua kekuatan politik berbasis Islam, yakni PAN sebagai representasi kekuatan Muhammadiyah dan pengaruh PBNU yang seolah memberikan panggung besar kepadanya selaku figur yang baru saja dinaturalisasi sebagai Nahdliyin.
“Dalam konteks koalisi besar, Erick tampaknya akan menggunakan PAN sebagai akat bargaining position untuk mendapatkan posisi Cawapres,” ujar Umam.
BACA JUGA:
Tiga kekuatan itulah yang akan berbenturan satu sama lain. Kalau tidak ada negosiasi yang jernih, yang saling menguntungkan, koalisi rentan pecah. Bisa saja nantinya PKB dan Golkar justru mundur, bergabung dengan koalisi lainnya atau membuat koalisi baru
Belum lagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Apakah partai ini akan tetap setia dengan koalisi besar? PDI Perjuangan sepertinya akan menarik PPP bergabung bila nantinya memutuskan membangun koalisi sendiri.
“Di satu sisi, PDI Perjuangan butuh penguatan suara dari partai berbasis Islam. PPP di sisi lain juga akan susah menolak karena utang budi masa lalu ketika diselamatkan sehingga lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019,” ujar Umam.
Intinya, tidak mudah menyatukan agenda kepentingan masing-masing partai. Semua tergantung dalam konteks lobi dan negosiasi yang akan dilakukan.
Tiga Pasang Capres dan Cawapres
Kendati begitu, pergerakan politik Indonesia masih sangat dinamis. Seandainya partai-partai tersebut mampu membentuk koalisi artinya kemungkinan akan ada tiga pasang Capres dan Cawapres yang akan mengikuti kontestasi pada Pemilihan Presiden 2024.
Calon pertama diusung oleh Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Calon kedua diusung oleh Koalisi Besar dan calon ketiga diusung oleh PDI Perjuangan.
“Atau bahkan bisa empat pasang. Bila nantinya PKB dan Golkar kecewa lalu membentuk koalisi sendiri. Targetnya bukan menang, sekadar mengonsolidasikan basis pemilih loyal mereka saja. Juga untuk memecah suara. Nanti ketika tersisa dua pasang, Golkar dan PKB akan melihat peluang mendekatkan diri ke pasangan yang berpotensi menang, nature Golkar memang seperti itu,” jelas Umam.
Gagasan Besar
Apa pun pergerakannya dan siapa pun yang akan berkoalisi nanti, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali berharap setiap koalisi dibangun dengan gagasan. Menurut dia, tidak ada alasan yang jelas terkait pembentukan koalisi besar.
“Biasanya koalisi besar itu dibentuk karena ada persoalan atau tantangan besar di suatu negara yang harus diselesaikan dengan gagasan besar dan gugus pendukung besar. Nah sekarang harus kita cari apa persoalan dan gagasan besar yang beredar belakangan ini? Saya sulit menemukannya,” ucapnya kepada VOI pada 10 April 2023.
Justru koalisi besar bisa menghilangkan kesempatan para calon pemimpin potensial untuk tampil.
“Calonnya jadi menyempit. Praktik bagi-bagi kekuasaan akan lebih masif. Juga cenderung mengecilkan perimbangan check and balances nantinya,” tambah Effendi.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Sahid Jakarta, Antonius Benny Susetyo juga berharap koalisi partai politik tidak lagi berbicara mengenai politik praktis semata.
Tetapi sudah mulai membicarakan agenda perubahan agar pembuatan kebijakan publik lebih efektif dalam mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam tata kelola ekonomi.
Pancasila harus diprioritaskan menjadi working ideology dan living ideology dalam membangun tata kelola ekonomi yang benar-benar memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Saatnya koalisi partai-partai politik tidak lagi bicara tentang pragmatisme, saya dapat apa dan proyek apa, tapi bicara tentang kepentingan bangsa dan negara dalam menghadapi situasi yang tidak menentu," ucapnya kepada VOI pada 10 April 2023.