Renungan 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Merdeka dari Korupsi, Sekedar Mimpi atau Bakal Jadi Kenyataan?
Menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia ke-77, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan lembaga antirasuah yang dia pimpin telah menangani 1.194 kasus korupsi selama 2004-2021. (VOI/Irfan Meidianto)

Bagikan:

JAKARTA - Mengisi kemerdekaan Indonesia ternyata lebih sulit ketimbang berjuang merebut dari penjajah. Musuh negara yang dihadapi saat ini adalah para manusia dengan mental terjajah oleh perilaku koruptif. Merekalah yang menjadi biang keladi terhambatnya kemajuan bangsa dan negara, melalui kejahatan korupsi.

Korupsi adalah kejahatan melawan kemanusiaan, bukan sekadar merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas hak-hak rakyat. Banyak negara gagal mewujudkan tujuannya karena kejahatan korupsi. Sehingga, tak berlebihan, merdeka itu sejatinya ketika bangsa dan negara benar-benar bersih dan bebas dari segala bentuk korupsi.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan itu lewat siaran pers pada momentum HUT Kemerdekaan Indonesia ke-77, Rabu (17/8).

“Sudah saatnya seluruh anak bangsa berperan menghentikan korupsi dan mengangkat senjata bambu runcing yang tak lain integritas, nilai-nilai kejujuran yang dibalut kekuatan moral, akhlak yang tinggi untuk melawan dan membasmi korupsi," tegas Firli.

Selama tujuh tahun terakhir, periode 2004-2021, KPK menyebut telah menangani 1.194 kasus tindak pidana korupsi. Terbanyak adalah tindak penyuapan sebanyak 775 kasus. Kemudian kasus pengadaan barang atau jasa 226 kasus, penyalahgunaan anggaran 50 kasus, dan tindak pidana pencucian uang 41 kasus.

Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan Pemerintah Indonesia tidak main-main dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. (Antara)

Lalu, pungutan atau pemerasan 26 kasus, perizinan 25 kasus, dan perintangan penyidikan 11 kasus.

Tindak pidana korupsi tersebut mayoritas dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota sebanyak 455 kasus, instansi kementerian/lembaga 395 kasus, dan pemerintah provinsi 158 kasus.

Menurut Firli, pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi.

“Saya sangat sependapat dengan pidato Bapak Presiden dan atas hal itulah, KPK mantap senantiasa memperkuat sinergi dengan Polri dan Kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi yang menjadi persoalan prioritas bangsa yang harus cepat diatasi,” imbuh Firli.

“Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu sejalan dengan penegakan nilai-nilai demokrasi yang tidak bisa ditawar,” Firli menambahkan.

Pelemahan Hukum

Alih-alih menegakkan hukum dan mendorong efektivitas efek jera bagi pelaku korupsi melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pemerintah justru kian melemahkannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada beberapa poin dalam RKUHP draft 4 Juli 2022 yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Poin pertama terkait dengan pengurangan hukuman pelaku korupsi. Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor ternyata memuat penurunan pidana badan dari 4 tahun, menjadi 2 tahun penjara. Denda minimalnya juga turun dari Rp200 juta menjadi hanya Rp10 juta.

Lalu Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari 1 tahun menjadi 2 tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku, yakni pejabat publik.

“Ini sekaligus upaya menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu,” ucap peneliti ICW, Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/8).

Kemudian, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari 5 tahun menjadi 4 tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp250 juta menjadi Rp200 juta.

Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Pemerintah Indonesia justru melemahkan hukuman untuk pelaku korupsi. (Antara) 

Spesifik menyangkut hukuman denda, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah RKUHP. Bagaimana tidak, denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp2 miliar.

“Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti UU Narkotika atau UU Antipencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp10 miliar. Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, mestinya pidana denda dapat ditingkatkan,” ujar Kurnia melanjutkan.

Poin kedua terkait penjelasan Pasal 607 RKUHP yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara adalah berdasar hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan.

ICW menilai lembaga negara audit keuangan hanya Badan Pemeriksa Keuangan. Jelas pembatasan aspek tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012.

MK dalam pertimbangannya telah menegaskan aparat penegak hukum bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK saat menghitung kerugian keuangan negara, melainkan juga dengan instansi lain, bahkan juga bisa membuktikan sendiri di luar temuan lembaga negara tersebut.

Poin selanjutnya paling mencengangkan. Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu diantaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.

“Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari RKUHP, misalnya Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku. Sehingga, seolah korupsi tidak lagi kejahatan luar biasa,” kata Kurnia lagi.

Tidak Ada Efek Jera

Proses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku. Rata-rata hukuman pelaku pada 2021, berdasar data ICW, hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi dengan sejumlah putusan ganjil seperti di kasus pidana Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo.

Menurut Direktur PolEtik Strategic, M Subhan, Indonesia memang tidak seperti Jepang atau China. Di Jepang, tradisi seppuku menjadi wujud tanggung jawab manakala gagal mengemban tugas. Di China, para koruptor dihukum mati. Semenjak Presiden Xi Jinping berkuasa pada 2013.

“Nyali para koruptor langsung mengkeret. Tak peduli pejabat rendah atau tinggi, tiada ampun lagi. Bahkan eksekusi mati itu dipertontonkan,” kata Subhan.

Di Indonesia, hukuman paling tinggi adalah vonis seumur hidup (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar) atau 20 tahun penjara (mantan jaksa Urip Tri Gunawan) atau 17 tahun penjara (mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq). Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang mantan Ketua Umum Partai Golkar divonis 15 tahun. Banyak vonis kasus korupsi kurang dari 10 tahun dan banyak lagi yang cuma diganjar 1-3 tahun.

Bukan cuma hukuman koruptor yang terbilang ringan, rasa malu atau rasa bersalah sepertinya juga lenyap dari bumi negeri ini. Maraknya kasus korupsi membuat seakan tak berbekas lagi tanda-tanda Indonesia sebagai bangsa berbudaya yang mempunyai watak luhur.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar merupakan satu-satunya koruptor di Indonesia yang dihukum seumur hidup. (Antara)

“Selama 20 tahun reformasi, koruptor-koruptor terus bergentayangan. Dari pusat kekuasaan di Jakarta hingga raja-raja kecil di daerah-daerah,” ucapnya.

Menko Polhukam Mahfud MD ketika berdialog dengan kalangan akademisi pada Juni tahun lalu pun sempat mengakui korupsi pada era reformasi jauh lebih masif ketimbang era Orde Baru.

Pada zaman Orde Baru korupsi lebih terkoordinasi karena ada figur Presiden Soeharto. Namun, sekarang lebih tidak beraturan. “Saya tidak katakan semakin besar atau apa jumlahnya, tapi meluas,” kata Mahfud dilansir dari Kompas.com.

“Bapak ingat tidak dulu, tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani. Sekarang bapak lihat ke DPR, korupsi sendiri, MA korupsi sendiri, MK hakimnya korupsi, kepala daerah, DPRD ini semua korupsi sendiri-sendiri. Dulu korupsinya terkoordinasi. Di dalam disertasi saya pada 1993 (mengungkap) pemerintah membangun jaringan korporatisme sehingga semua institusi dibuat organisasi,” ungkap Mahfud.

Saat ini, ICW mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor.

“Masyarakat memiliki hak memberi masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, sesuai mandat Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 96 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3),” tandas Kurnia lagi.