JAKARTA - Upaya Bharada Richard Eliezer atau Bharada E meminta perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akhirnya terkabul. Pengajuan perlindungan padahal sudah dilakukan sejak Senin (8/8) oleh tim kuasa hukum Bharada E. Atau sekiranya, sejak Bharada E memutuskan menjadi justice collaborator.
Namun, LPSK baru memberikan perlindungan penuh kepada Bharada E sebagai justice collaborator pada 15 Agustus 2022 dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) di rumah dinas bosnya, Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli lalu.
Secara prosedural, kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, pihaknya harus bertemu terlebih dahulu dengan Bharada E, karena belum ada permintaan langsung dari Bharada E untuk meminta perlindungan dari LPSK.
“Selama ini, baru pengacaranya saja yang datang. Kita harus ketemu dulu dengan Bharada E,” ucap Hasto kepada VOI, Jumat (12/8).
Kendati begitu, bukan berarti pengajuan tersebut diabaikan. LPSK juga sudah beberapa kali meminta jadwal ke penyidik Bareskrim untuk bertemu, tapi belum bisa karena yang bersangkutan masih terus diperiksa.
“Baru pada Jumat sore jelang malam (12/8), tim kami baru bisa dapat jadwal bertemu langsung dengan Bharada E. Saat itu juga kami langsung sepakati untuk memberi perlindungan darurat. Lalu, pasca rapat paripurna, Senin (15/8) LPSK memutuskan memberikan perlindungan penuh terhadap Bharada E,” kata Hasto, Selasa (16/8).
Keputusan LPSK memberikan perlindungan terhadap Bharade E karena dua syarat, yakni adanya ancaman dan adanya proses hukum yang harus segera dilalui Bharada E sehingga harus segera didampingi.
"Kedua-duanya memenuhi bahwa ancaman yang bersangkutan ada di dalam satu perkara pidana yang berdimensi struktural, di mana ada relasi kuasa di dalamnya dan yang bersangkutan ada di dalam strata yang rendah di dalam struktur pelaku tindak pidana," katanya.
Dengan ditetapkannya keputusan tersebut berdasarkan Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK (SMPL), maka perlindungan darurat, yang telah diberikan sebelumnya kepada Bharade E, dicabut.
"Dan juga di dalam proses peradilan, kami akan selalu mendampingi yang bersangkutan sampai kemudian putusan diambil oleh hakim," tambahnya.
Intinya, tambah Hasto, justice collaborator memiliki tiga hak. Pertama, perlindungan. Mandat perlindungan menurut undang-undang diberikan oleh LPSK.
“Jadi, kalau justice collaborator bukan dilindungi oleh LPSK tetapi misalnya oleh penyidik, ya tentu akan potensial terjadi conflict of interest. Bisa saja, keterangannya diarahkan atau yang bersangkutan mendapatkan tekanan atau intimidasi,” tuturnya.
Kedua, justice collaborator memiliki hak mendapatkan perlakuan khusus.
“Di antaranya berkas perkaranya dipisahkan dari para pelaku yang lain dan tempat penahanannya juga harus dipisahkan dari tempat penahanan pelaku lainnya,” lanjut Hasto.
Ketiga, penghargaan. Justice collaborator berhak mendapatkan penghargaan dalam bentuk penahanan hukuman dan remisi bila hukumannya sudah berjalan.
LPSK Dianggap Lamban
Mantan Kabareskrim, Komjen (Purn) Susno Duadji pun menilai LPSK terlalu lamban bergerak. Ada baiknya, LPSK tidak melulu berkutat ke hal-hal prosedural, tetapi juga bisa memprioritaskan ancaman yang mungkin muncul.
“Ada hal-hal yang extra ordinary di republik ini, harus berpikir begitu. Bharada E ini sangat spesial. Dia sudah ngaku, sudah jadi justice collaborator. Begitu dia sudah buka siapa pelakunya, jiwanya sudah terancam. Tapi perlindungannya, masih harus nunggu ini dulu, harus itu dulu, ya udah mati duluan,” kata Susno Duaji dalam wawancara di acara Kompas TV, Kamis (11/8).
“Kalau memang ada aturan-aturan yang menghambat, aturannya diubah. Kita kan aturan yang tidak boleh diubah hanya kitab suci. Beruntung, Bharada E berada di tahanan Bareskrim Polri. Sehingga, masih terbilang aman dari bahaya,” sambungnya.
Deolipa Yumara, kuasa hukum Bharada E ketika itu, mengatakan Eliezer sudah pasrah dan siap menanggung apapun risikonya meski kehilangan nyawa. Setelah menjadi justice collaborator, dia sampai harus meminta keluarganya mengganti nomor ponsel dan kembali secepatnya ke Manado. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga.
“Dia (Bharada E) mati pun siap, dia sudah jadi merah putih,” ucap Deolipa di acara Kompas TV, Kamis (11/8).
Deolipa Yumara dan Muhammad Burhanuddin saat ini sudah bukan lagi pengacara Bharada E. Surat dibuat pada 10 Agustus 2022 dan ditandatangani langsung oleh Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E).
Dugaan Intervensi
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menduga pencabutan surat kuasa terhadap Deolipa Yumara dan Muhammad Burhanuddin sebagai pengacara Bharada E pada 10 Agustus 2022 tak lepas dari intervensi penyidik.
Dia mengingatkan agar penyidik jangan terlalu sensitif mendengar pernyataan-pernyataan penasihat hukum. Sejauh pernyataan tersebut benar dan sesuai fakta, serta tidak mengubah proses penyidikan, itu sah-sah saja.
“Jangan merasa Bareskrim yang menunjuk pengacara ini, Bareskrim merasa berhak meminta Bharada E mencabut. Ini kurang tepat. Begitu pengacara sudah meneken kuasa dengan kliennya, Bareskrim tidak punya lagi kewenangan terhadap Bharada E dalam hubungannya advokat dengan klien. Advokat tidak bisa diintervensi,” ucapnya kepada VOI, Jumat (12/8).
Kendati begitu, Sugeng yakin intervensi tersebut hanya sebatas penilaian statement dari pihak Bareskrim dan advokat yang ditunjuk. Ada pun terkait keamanan Bharada E di tahanan Bareskrim, dia tetap yakin Bareskrim profesional.
“Saya rasa pasti aman karena sudah menjadi perhatian publik bersama. Bharada E adalah saksi kunci yang harus dilindungi secara fisik dan keamanannya, kesehatannya terkait dengan fasilitas makan yang cukup, lokasi penahanan yang memadai, dan juga pemenuhan kebutuhan rohani, ini tak masalah,” lanjut Sugeng.
Namun, dukungan psikologis terkait Bharada E akan mendapat keringanan hukuman dari LPSK sebagai justice collaborator mungkin akan terhambat dengan pencabutan surat kuasa ini karena permohonannya dari pengacara sebelumnya.