Mencermati Pidato Presiden Jokowi yang Ingin Memperkuat Perlindungan Hukum
: Presiden Jokowi berpidato di sidang tahunan MPR, Selasa (16/8). Isi pidato antara lain menyoal kekuatan bangsa, keberhasilan yang telah dicapai, dan hal yang ingin dilakukan. (Foto: Setneg.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Cukup lengkap, komprehensif, dan tidak bertele-tele. Inilah yang diungkapkan Direktur PolEtik Strategic, M Subhan ketika mencermati pidato Presiden Jokowi dalam sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa (16/8).

Presiden Jokowi mampu menjelaskan dengan baik semua hal yang berhasil dicapai. Dia pun lugas menjelaskan kekuatan yang dimiliki bangsa dan apa yang ingin dilakukan. Semisal keinginan Jokowi untuk terus memperkuat perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat. Juga, permintaannya untuk meniadakan politik identitas, jangan ada lagi politisasi agama dan polarisasi sosial dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Keinginan tersebut secara eksplisit menggambarkan kondisi terkini bangsa Indonesia yang masih berupaya menyelaraskan dinamika kebangsaan, serta masih terus bergulat untuk mengatasi gangguan-gangguan yang muncul. Menurut Subhan, ini bukan semata tugas presiden. Dalam konsep bernegara, rakyat juga harus berperan aktif.

“Kalau Jokowi hanya berteriak keras tanpa dukungan rakyat, itu agak repot. Karena konsep bernegara, di samping pemerintahan ada pula rakyat,” kata Subhan kepada VOI, Rabu (17/8).

Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Sidang tahunan MPR, Selasa (16/8). (BPMI Setpres/Laily Rachev)

Serta, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tak pelak, rakyat harus turut serta, karena rakyat subjek dari suatu negara. Itulah mengapa, perlindungan hukum menjadi hal krusial. Konsep semua orang sama di mata hukum harus ditegakkan.

Seperti perkataan seorang filsuf, Jeremi Bentham, hukum dibuat untuk ketertiban sosial. Bila tidak ada perlindungan hukum, jangan harap ketaatan sosial, ketaatan politik, ketaatan ekonomi, bisa diraih.

“Kalau hukum ditegakkan, pasti lurus, tidak pandang bulu. Tidak memilih si A punya privilege, punya hak istimewa. Semua di mata hukum mereka yang bersalah harus mendapatkan sanksi dan hukum. Mereka yang tidak bersalah harus di-appreciate. Tapi jangan juga hukuman orang yang nyolong ayam sama dengan hukuman orang yang korupsi miliaran atau triliunan rupiah. Dalam konteks ini, penegak hukum harus tegas. Ini menjadi tugas presiden, siapapun presidennya. Rakyat bantu mengawasi,” tuturnya.

Begitupun perlindungan hukum dalam sektor lain, baik di sektor ekonomi, pendidikan, politik dan lainnya.

Tanpa Kiblat

Sayangnya, sejak era reformasi, penataan hukum di Indonesia terus berganti seiring dengan bergantinya kekuasaan. Bangsa dalam hal ini pemerintahan seolah tidak lagi memiliki kiblat baku dalam menentukan arah pembangunan ke depannya.

“Tidak ada kelanjutan kesinambungan pemerintahan dari era Pak Habibie, Gusdur, lalu Megawati, SBY, hingga Presiden Jokowi. Ganti presiden, ganti pula konsep penataan hukumnya, akhirnya mulai lagi dari awal. Pada akhirnya sulit untuk menegakkan konsep equality before the law,” kata Subhan.

Kenapa tidak mencontek era Orde Baru yang menerapkan sistem lewat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)? Sistem ini sangat baik guna merumuskan ingin menjadi apa Indonesia dalam tahun-tahun berikutnya. GBHN diturunkan dari konstitusi tanpa mengenyampingkan hakikat UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara.

Sehingga nantinya, siapapun yang menjadi presiden atau yang mengendalikan pemerintahan harus berpedoman terhadap GBHN.

“Jadi ada tujuan jelas, misal 70 tahun lagi, Indonesia menjadi pemimpin di Asia Pasific atau apapun itu. Secara teknis ada perubahan mengikuti zaman, its ok. Kita koreksi, ternyata ini tidak available lagi dengan kondisi sekarang, tidak compatible lagi dengan era sekarang, kita evaluasi juga. Tapi tidak lantas kita meruntuhkan semua. Masih banyak hal baik peninggalan orde baru yang bisa kita ambil,” terangnya.

Nantinya, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial, pasti sudah tercover kalau kita mengacu kepada konstitusi yang diturunkan lewat GBHN. Indonesia juga akan lebih memiliki harkat dan martabat di mata dunia.

Upacara HUT ke-77 RI di Istana Merdeka, Jakarta. (Antara/Biro Pers Media Setpres/Muchlis Jr)

Politik sejak zaman Plato adalah menyoal bagaimana berkegiatan untuk kepentingan masyarakat banyak. Jadi, harus terkonsep dengan matang dan bukan sekadar konsep lima tahunan seperti saat ini.

“Selama ini, kita ribut-ribut terus dengan konsep lima tahunan. Kompetisi, kontestasi, rivalitas, selalu ingin mengalahkan satu dengan yang lainnya. Akhirnya, politik  isinya hanya rebutan kekuasaan, alat kekuasaan untuk memperkaya diri atau golongan, setelah itu sudah,” sambung Subhan.

Padahal, para pendiri bangsa sudah mewarisi Pancasila sebagai dasar negara. Ini konsep kekayaan intelektual Indonesia yang tidak dimiliki negara-negara lain.

Isi Pancasila, menurut Subhan, sungguh menakjubkan dan sangat lengkap. Sangat nasionalis, relijius, dan humanis. Lalu, ditutup dengan keadilan sosial.

“Sila ke-5 menjadi poin penting. Keadilan harus menjadi tujuan dalam bernegara. Kalau keadilan tidak diberlakukan dan diterapkan pasti ketidakpuasan yang muncul, bila ketidakpuasan yang muncul pasti ada pemberontakan dan ada konflik. Ketidakstabilan ini yang harus dihindari,” tandasnya.

Dirgahayu Republik Indonesia. Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat. Semoga Indonesia bisa memberikan perlindungan hukum untuk rakyatnya sebagaimana isi sila ke-5, ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.