JAKARTA – “Perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat harus terus diperkuat. Pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan dan kelompok marjinal, harus terus dijamin pemerintah. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu.
Keamanan, ketertiban sosial, dan stabilitas politik adalah kunci. Rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin oleh negara, khususnya oleh aparat penegak hukum dan lembaga peradilan”.
Penggalan pidato Presiden Jokowi di sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta dalam rangka Kemerdekaan Indonesia ke-77 pada Selasa (16/8) tersebut, seolah menjadi pelecut untuk para penegak hukum dan lembaga peradilan mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Bekerja keras melindungi rakyat dari penindasan hukum.
Bagian pidato Presiden Jokowi soal keadilan hukum di Indonesia memang perlu digaris bawahi. Sejauh ini, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan lembaga peradilan di Indonesia cenderung fluktuatif. Lihat hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 27 Juni 2022-5 Juli 2022.
"Polisi stagnan di angka 72 persen, kemudian tingkat kepercayaan pada Kejaksaan meningkat dalam dua bulan menjadi 70 persen, pengadilan 60 persen ke 65 persen, dan KPK 66 persen ke 63 persen," ucap Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan saat jumpa pers daring pada akhir Juli lalu.
Terkait hasil survey Polri yang tidak berubah dari sebelumnya, Djayadi mengonfirmasi karena belum memasukkan isu terbaru yakni kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas ex Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo. Survei dirampungkan sebelum insiden itu terjadi.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Review, Ujang Komarudin penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Tajam ke bawah tumpul ke atas.
Masih banyak kasus-kasus hukum yang menindas rakyat kecil belum tertangani dengan baik. Semisal, kasus perebutan lahan pertanian antara petani dan pengusaha, soal mafia tanah, mafia peradilan, mafia narkotika, dan masih banyak lagi.
“Dalam 10 tahun terakhir memang masih belum benar-benar adil. Hukum masih tebang pilih. Bagaimana bisa menyapu lantai bila sapu yang digunakannya saja kotor,” ucapnya kepada VOI, Selasa (16/8).
Itulah mengapa, kalau ingin penegakan hukum berjalan baik, Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan harus memiliki integritas dan keberanian.
Lalu, presiden juga harus berani mengobrak-abrik para mafia. Sebab, merekalah yang membuat hukum tidak bisa seimbang.
BACA JUGA:
“Banyak mafia hukum yang berlindung di bawah kekuasaan. Ini persoalan klasik yang tercipta dari sistem yang tidak baik. Ada orang yang membiayai Pemilu, sehingga ketika kena kasus ya aman-aman saja,” lanjut Ujang.
Namun, masyarakat harus tetap optimistis. Kondisi penegakan hukum yang berat sebelah memang kerap kali terjadi. Mengatasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih, untuk hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan.
“Butuh konsistensi dan komitmen dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan rakyat itu sendiri. Kita mampu kok sebenarnya. Lihat saja kasus Ferdy Sambo saat ini tetap on the track, apresiasi untuk Presiden dan Kapolri. Saya pun optimistis, hal sama bisa terus dilakukan,” paparnya.
Hukum dan Kekuasaan
Hukum dan kekuasaan menurut mantan Menteri Hukum dan HAM RI, Amir Syamsudin, adalah bagian yang tak terpisahkan di masyarakat. Fungsi kekuasaan terhadap hukum jelas sebagai sarana membentuk undang-undang, menegakkan hukum, dan melaksanakan hukum.
Sedangkan fungsi hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Tak hanya itu, fungsi hukum terhadap kekuasaan juga untuk mengatur dan membatasi kekuasaan. Serta, meminta pertanggungjawaban kekuasaan.
Namun dalam realitasnya, hubungan kekuasaan dan hukum sering mengalami pasang surut. Masalah pembentukan UU KPK, omnibus law Cipta Kerja, UU Darurat Pandemi COVID-19 hingga perubahan statuta UI misalnya, jelas menggambarkan problema mendasar dari dunia hukum di Indonesia.
“Masalah itu mengindikasikan adanya dominasi kekuasaan atas hukum, manipulasi fungsi hukum oleh pemegang kekuasaan,” ucap eks Menteri Hukum dan HAM RI itu dalam tulisannya bertajuk ‘Problem Moral Penegakan Hukum’ di Kompas.
Keberadaan UU KPK yang baru tetap saja tak mengurangi korupsi yang terjadi. UU Cipta Kerja yang dibuat untuk mendorong kemajuan ekonomi dan investasi, di sisi lain bisa berpotensi menjadi aturan yang paling berbahaya bagi masyarakat pekerja.
Sejumlah politikus dan akademisi, lanjut Amir, bahkan menduga omnibus law UU Cipta Kerja bisa menciptakan praktik-praktik permufakatan jahat pelaku usaha, perbudakan dalam arti ekonomis, kekerasan sosial, dan sebagainya.
“Kita perlu kembali mempelajari memahami hukum secara lebih benar dan adil. Esensi hukum pada dasarnya adalah soal nilai yang menggambarkan tentang moralitas, kebenaran, dan keadilan,” imbuh Amir.
Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, tidak boleh menjadi alat penguasa atau alat kapitalis untuk melindungi kepentingan penguasa atau kelompok elite.
“Kita menginginkan hukum yang menentukan eksistensi dari kekuasaan dan hukum dibuat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, bukan kepentingan penguasa atau elite,” tandas Amir Syamsudin.
Seperti yang diucapkan dalam pidato Presiden Jokowi, bahwa penegakan hukum di Indonesia harus diterapkan tanpa pandang bulu. Hukum tidak boleh tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.