JAKARTA - Pencapaian Indonesia terkait sistem ketahanan pangan dan swasembada pangan patut diacungi jempol. Setidaknya, selama tiga tahun terakhir produksi beras dalam negeri masih dalam jumlah stabil, yakni 31,3 juta ton. Tahun ini, bahkan kemungkinan meningkat.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), baru bulan keempat, stok beras sudah dalam posisi tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni mencapai 10,2 juta ton.
Pencapaian tersebut, menurut Presiden Jokowi, tak lepas dari pembangunan infrastruktur di sektor pertanian yang masif dilakukan sekiranya sejak 2015.
“Seingat saya sampai hari ini kita telah meresmikan 29 bendungan besar, dan tahun ini akan selesai lagi totalnya 38 bendungan dan sampai tahun 2024 akan kita selesaikan kurang lebih 61 bendungan. Plus 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan irigasi yang telah kita bangun selama 7 tahun ini,” kata Jokowi yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (14/8).
Jokowi menyampaikan itu usai menerima Certificate of Acknowledgement dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) atas keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada beras di Istana Negara Jakarta, Minggu (14/8).
Selain pembangunan infrastruktur, pemerintah juga memanfaatkan varietas-varietas unggul padi, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sehingga Indonesia dapat mencapai swasembada beras dengan produksi beras yang surplus selama tiga tahun terakhir.
"Dan kalau ditanya barangnya ada di mana? ya ada di masyarakat, di petani, di restoran-restoran dan juga juga di Bulog. Plus beberapa di industri-industri pangan,” ucap Jokowi.
Presiden berharap, pencapaian tersebut bisa lebih meningkat dua sampai tiga tahun ke depan, sehingga Indonesia bisa menjadi pemasok beras terbesar untuk kebutuhan masyarakat dunia.
“Kita juta harus masuk ke pasar-pasar ekspor,” lanjutnya.
Kendati begitu, pemerintah tetap berupaya terus mencari langkah strategis dalam hal ketahanan pangan dengan tidak hanya bergantung kepada beras. Masih banyak jenis-jenis pangan lain yang bisa dikembangkan di tanah Indonesia.
Seperti Jagung, pemerintah terus menggenjot produksi jagung dalam tujuh tahun terakhir dan hasilnya sudah terlihat saat ini.
“Tujuh tahun lalu impor jagung mencapai 3,5 juta ton, hari ini hanya 800 ribu ton. In sha Allah, kita tidak impor jagung lagi dalam 2-3 tahun mendatang. Seperti beras yang sudah 3 tahun kita tidak impor,” imbuh Jokowi.
Lalu, sorgum yang sudah mulai dikembangkan di Waingapu, Nusa Tenggara Barat. Berdasar roadmap, target pengembangan pada 2023 luas tanam bertambah hingga 30.000 hektare yang tersebar di 17 provinsi dengan produksi sebesar 115.848 ton, asumsi provitas 4 ton/hektare. Tahun berikutnya meningkat lagi hingga 40.000 hektare dengan produksi sebesar 154.464 ton.
“Ini adalah kerja yang terintegrasi, kerja bersama-sama, kerja gotong royong, bukan hanya milik kementerian saja,” tambah Jokowi.
Peluang Menjadi Eksportir Beras
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria tidak menampik keberhasilan program ketahanan pangan Indonesia juga ditopang dari peningkatan diversifikasi pangan yang mampu menurunkan konsumsi beras.
Selama lima tahun terakhir konsumsi beras telah menurun dari 98 kilogram/kapita/tahun pada 2016 menjadi 94.4 kilogram/kapita/tahun pada 2021. Ke depan, angka ini masih dapat diturunkan hingga 85 kilogram per kapita per tahun sesuai rekomendasi Pola Pangan Harapan.
Syaratnya harus diimbangi dengan peningkatan diversifikasi konsumsi pangan karbohidrat lokal, dan peningkatan konsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan serta pangan hewani untuk menjaga mutu gizi konsumsi pangan masyarakat Indonesia
“Bila penurunan konsumsi beras per kapita sesuai Pola Pangan Harapan dapat terealisasi, maka Indonesia semakin mandiri pangan. Bahkan sangat mungkin dalam jangka panjang Indonesia mampu menjadi eksportir beras yang memberi makan dunia,” kata Arif dalam pidatonya di event yang sama di Istana Negara, Minggu (14/8).
Yang terpenting intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal harus berhasil, dan petani harus sejahtera.
“Perlu juga mencari terobosan teknologi yang lebih visible untuk lahan marjinal seperti lahan rawa, lahan eks tambang, lahan pasang surut, dan lahan dengan salinitas tinggi. Serta, penting untuk menekan laju konversi lahan sawah produktif," imbuhnya.
Lalu, memaksimalkan penurunan food loss and food waste sejak produksi, pascapanen, transportasi, logistik, hingga konsumsi di tingkat konsumen juga menjadi indikator yang tak terpisahkan dalam upaya peningkatan ketersediaan pangan.
“Di sinilah pertanian presisi diperlukan untuk menekan food loss yang saat ini mencapai sekitar 9-11 persen dan perubahan perilaku konsumen untuk menekan food waste yang saat ini kontribusinya hingga 9 persen,” katanya.
Menurut dia, untuk membangun sistem pangan yang resilien atau tangguh diperlukan pendekatan 4 betters yaitu better production, better nutrition, better environment dan better life. Sistem pangan yang tangguh tidak mudah terguncang oleh dinamika geopolitik, perubahan iklim oleh ancaman bencana alam/nonalam serta bencana buatan manusia.
"Untuk itu kita harus memiliki, pertama, perencanaan pangan yang baik di tingkat nasional maupun daerah sebagai langkah untuk mengantisipasi guncangan. Kedua, sistem cadangan pangan dan logistik yang tangguh sebagai cara kita untuk bertahan. Ketiga, kemampuan recovery cepat pasca terjadinya guncangan,” tandasnya.
Pencapaian Besar
Dalam kesempatan sama, Direktur Jenderal IRRI, Jean Balie pun memberikan apresiasi besar. Indonesia jelas menjadi contoh, meski dalam kondisi pandemi lalu berlanjut ke krisis pangan, Indonesia tetap berhasil meningkatkan tingkat produktivitas produksi dan mencapai tingkat swasembada pangan yang tinggi.
“Ini merupakan hasil dari adopsi teknologi yang tinggi, pelatihan petani yang baik, juga kinerja penyuluhan yang sangat baik dan kerja sama yang sangat baik antarinstansi dan khususnya antara IRRI dan pemerintah Indonesia,” ucap Balie.
Senada, Representasi FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal, menilai penghargaan yang diberikan IRRI kepada pemerintah Indonesia merupakan pencapaian besar. Terlebih, di tengah krisis pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan situasi geopolitik global.
“Tentu pencapaian besar. Hampir tidak ada impor beras kecuali untuk varietas premium. Impor jagung juga telah stabil. Ini merupakan tonggak utama menuju sistem pangan pertanian yang tangguh di negara ini. Selamat kepada Indonesia,” ujar Rajendra Aryal.
FAO berkomitmen terus membantu Indonesia dalam menyediakan dukungan keahlian teknis yang dibutuhkan guna peningkatan produksi pangan ke depannya.
“FAO siap menyediakan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk produksi yang lebih baik, kesehatan yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik,” imbuh Rajendra.
Petani milenial asal Bali, Agung Wedhatama berharap pencapaian tersebut bisa menjadi pelecut bagi pemerintah agar terus meningkatkan infrastruktur pertanian. Termasuk juga pengembangan sumber daya manusia sehingga muncul regenerasi petani di Indonesia yang bisa lebih membuat tatanan pangan Indonesia semakin kuat dan tangguh.
“Tentu saja yang paling penting pengembangan teknologi pertanian, IoT (internet of things), dan digitalisasi dengan smart farming wajib dilakukan agar kita bisa bersaing dengan pangsa pasar lain sehingga Indonesia bisa menjadi negara maju di 2030-2040 dengan bonus demografi kita,” jelasnya dilansir dari presidenri.go.id, Minggu (14/8).
“Ke depan, isu pangan memang menjadi isu paling strategis di dunia. You control the food, you control the people, you control the nation. Selagi kita bisa menyuplai surplus di pangan kita, negara kita akan terkuat sejahtera dan makmur,” tambah Agung.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam keterangannya mengatakan penghargaan dari IRRI tersebut merupakan kado terbesar bagi bangsa Indonesia di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-77. “IRRI telah memberikan pengakuan terhadap sistem pertanian dan pangan yang tangguh serta swasembada beras yang dicapai Indonesia dalam tiga tahun terakhir.”