Isu Harga Mi Instan Naik Tiga Kali Lipat: Bisa Saja Kalau Impor Gandum Hanya Mengandalkan Ukraina
Benarkah harga mi instan bakal naik tiga kali lipat disebabkan perang Ukraina Rusia? (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - “Hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harganya 3 kali lipat itu, maafkan saya, saya bicara ekstrem saja ini.”

Pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam acara Webinar Strategi Penerapan GAP Tanaman Pangan Memacu Produksi Guna Antisipasi Krisis Pangan Global pada Senin (8/8) tersebut mengejutkan publik.

Berarti dari harga mi instan sekitar Rp2.500-Rp3.000 bisa naik tiga kali lipat menjadi Rp10 ribuan.

Namun, bukan tanpa sebab, Syahrul Yasin Limpo memaparkan itu dengan melihat indikasi perang Ukraina dan Rusia, yang notabene kedua negara ini merupakan pemasok gandum terbesar di dunia.

Saat ini saja, kata Yasin Limpo, masih terdapat 180 juta ton gandum yang tidak bisa keluar dari kedua negara tersebut. Sehingga, meskipun ketersediaan ada, tetapi harganya tentu melonjak drastis.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan ada 180 juta ton gandum yang tidak dapat keluar dari Ukraina dan Rusia.  (Dok. Kementan)

“Ada gandumnya, tapi harganya akan mahal banget. Sementara, kita impor terus nih. Kalau saya jelas tidak setuju, apa pun kita makan aja singkong, sorgum, sagu,” ucap Syahrul Yasin Limpo dari kanal YouTube Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Selasa (9/8).

Franky Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk menilai pernyataan kenaikan harga mi instan 3 kali lipat terlalu berlebihan. Kenaikan kemungkinan terjadi bila melihat harga gandum yang masuk pada Agustus hingga September 2022 sudah di angka tertinggi, tetapi tidak akan sampai 3 kali lipat.

Sebab, tepung terigu dalam komponen dalam pembuatan mi instan tidak 100 persen berasal dari bahan baku gandum.

"Harga mi instan bisa saja naik, bisa saja. Tapi kalau ada pernyataan yang mengatakan bisa 3 kali lipat, itu berlebihan. sangat-sangat berlebihan," kata Franky seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (11/8).

Lagipula, lanjut Franky, Indonesia mengimpor gandum dari banyak negara. Sejumlah negara yang sempat gagal panen pun sudah berangsur membaik. Sehingga, pasokan gandum dalam negeri tak akan banyak terpengaruh.

Pasukan Ukraina yang terlibat perang tidak berkesudahan dengan Rusia. (Wikimedia Commons)

"Saya kira nggak perlu ditakut-takuti lah rakyat ya (soal harga mi instan). Harga gandum memang sudah yang tertinggi hari ini. Ya sudah, tidak akan naik lagi, saya tidak melihat harga gandum internasional akan lebih tinggi dari hari ini," tuturnya.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pun tidak sependapat soal kenaikan harga mi instan 3 kali lipat. Justru, kata dia, harga gandum kemungkinan besar akan mengalami penurunan karena negara-negara penghasil gandum seperti Australia, Kanada, dan Amerika yang sempat gagal panen, kini sudah kembali panen.

"Enggak [naik], dulu kan gagal panennya seperti Australia, Kanada, Amerika, sekarang panennya sukses. Apalagi sekarang Ukraina sudah boleh jual," kata Zulhas dikutip dari Bisnis.com.

Senada dengan Anggota Komisi II DPR RI Fadli Zon. Dia juga menilai, Indonesia tidak ketergantungan pasokan gandum dari Ukraina. Kebutuhan gandum Indonesia impor mayoritas dari Australia.

“Dlm pengamatan sy, pasokan gandum dr Ukraina kecil pengaruhnya bagi kita krn tak ada ketergantungan. Spt dikatakan impor datang dr Australia n negara2 lain,” tulis Fadli Zon di akun Twitternya, Kamis (11/8).

Australia Pemasok Terbesar Gandum Indonesia

Mengacu data Badan Pusat Statistik, volume impor gandum Indonesia pada periode Januari hingga Mei 2022 mayoritas berasal dari Australia, yakni mencapai 1,57 juta ton dengan nilai US$585,6 juta. Katadata menyebut volume impor gandum Indonesia dari Negeri Kanguru tersebut mencapai 35 persen dari total impor.

Negara asal impor gandum Indonesia terbesar berikutnya adalah Argentina, yakni seberat 1,41 juta ton senilai US$497 juta. Lalu, Kanada dengan volume mencapai 572,6 ribu ton senilai US$276,14 juta.

Ada pula impor gandum Indonesia yang berasal dari Brasil seberat 594,26 ribu ton senilai US$211,24 juta, dari India mencapai 115,86 juta ton senilai US$40,47 juta, serta impor gandum dari negara lainnya sebesat 98,15 ribu ton dengan nilai US$36,9 juta.

Sejak periode 2012-2017, Australia memang menguasai 50-60 persen  impor gandum di Indonesia. Pada 2018, mengutip Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS) empat negara teratas pengimpor gandum di Indonesia adalah Ukraina 2.419.768 juta ton, Australia 2.419.709, Kanada 1973.706, dan Amerika Serikat 904.174. Namun, gandum Ukraina lebih banyak untuk pakan ternak menggantikan impor jagung yang dilarang untuk melindungi jagung domestik.

Kebutuhan gandum Indonesia saat ini bergantung dari Australia. Volume impor gandum Indonesia pada periode Januari hingga Mei 2022 mayoritas berasal dari Australia, yakni mencapai 1,57 juta ton.(abc.net.au)

Pada 2021, data BPS menyebut impor tepung gandum Indonesia mencapai 31,34 ribu ton dengan nilai total US$11,81 juta. Impor terbesar berasal dari India mencapai 19,9 ribu ton dengan nilai US$6,76 juta. Artinya, 63,49 persen kebutuhan tepung gandum Indonesia berasal dari India.

Impor tepung gandum terbesar Indonesia berikutnya berasal dari Vietnam, yakni seberat 4,67 ribu ton (14,9%) dengan nilai US$ 1,97 juta. Lalu, Korea Selatan dengan berat 3,95 ribu ton (12,59%) senilai US$1,63 juta.

Perang Ukraina Rusia memang memberikan efek domino terhadap kenaikan harga gandum. Namun, secara spesifik dampaknya tidak terlalu besar bagi Indonesia.

Saat ini, kata Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan dilansir dari CNBC Indonesia, pasokan gandum Indonesia masih cukup aman. Sudah banyak pelaku usaha yang mengalihkan impor gandumnya dari negara-negara penghasil gandum lain, tak sebatas Ukraina.

“Lagipula, indeks harga pangan saat ini dan tahun depan sudah mulai menuju ke tren penurunan harga. Peak price sudah terlewati hampir semua komoditas,” pungkasnya.