Bagikan:

JAKARTA - Isu kenaikan harga mi instan tiga kali belakangan ini ramai dibicarakan.

Kementerian Pertanian (Kementan) meminta masyarakat dan pelaku industri pangan untuk terus waspada terhadap potensi krisis pangan global.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri mengatakan, pihaknya merespons positif pernyataan salah satu pelaku industri pangan olahan berbasis gandum yang menyebutkan kenaikan harga produk pangan olahan tidak akan signifikan.

“Pemerintah termasuk Kementan mengharapkan semua pelaku industri pangan terus berkomitmen untuk menjaga harga produk mereka,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 11 Agustus.

Kuntoro menambahkan, kondisi Indonesia memang masih terbilang aman. Di mana ketersediaan komoditas pangan strategis masih terjamin dan harga relatif stabil.

"Potensi bahan baku makanan yang bisa naik berkali-kali lipat tentunya perlu diwaspadai, karena dampaknya yang akan sangat merugikan masyarakat," ujarnya.

Meskipun begitu, kata Kuntoro, pemerintah tetap akan terus mengedepankan kewaspadaan dan mengupayakan langkah preventif sehingga ketersediaan pangan nasional tetap terjaga. Apalagi, perang Ukraina-Rusia yang tak kunjung usai.

Termasuk juga perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya usai, menyebabkan adanya tren di kalangan negara-negara sentra produksi pangan mulai melakukan restriksi ekspor ke negara-negara lain.

Karena itu, lanjut Kuntoro, meski gandum bukan komoditas pangan utama, tapi kebutuhan gandum di Indonesia sangat tinggi.

Padahal gandum bukan produk asli Indonesia dan sulit untuk dibudidayakan. Sehingga kebutuhan gandum masih dipasok oleh impor.

Berdasarkan BPS tahun 2019, kata Kuntoro, konsumsi gandum per kapita penduduk Indonesia adalah 30,5 kg per tahun.

Sebagai perbandingan, makanan pangan pokok penduduk Indonesia yaitu beras, konsumsi penduduk Indoensia per kapita sebesar 27 kg per tahun.

Kebutuhan gandum terbesar adalah untuk industri produk pangan olahan, seperti mi instan, kue, dan roti.

Sepanjang Juni 2022, International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebut ada berbagai kebijakan restriksi ekspor di beberapa negara, baik berupa pelarangan, izin, dan atau pajak ekspor.

Kata Kuntoro, salah satu komoditas dibatasi adalah gandum. Sejumlah negara penghasil gandum, seperti Rusia, India, Serbia, Mesir, Afghanistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Kosovo, mengeluarkan kebijakan retriksi.

Langkah ini diambil untuk tetap menjaga stabilitas pangan di negara mereka masing-masing.

Kuntoro mengatakan, konflik Rusia-Ukraina masih bisa mempengaruhi pasar gandum Indonesia, karena total produk pangan yang diimpor dari kedua negara (Rusia dan Ukraina) pada 2021 sebesar 956 juta dolar AS, di mana 98 persen di antaranya adalah gandum.

Apalagi Indonesia merupakan negara kedua dengan nilai impor gandum tertinggi di dunia, mengingat gandum sulit ditanam. Total nilai impornya 2,6 miliar dolar AS (5,4 persen dari total impor gandum dunia) pada 2020.

“Perang Rusia-Ukraina juga sangat memengaruhi pasokan gandum untuk kebutuhan global. Menurut laporan FAO, sekitar 50 negara menggantungkan sekitar 30 persen impor gandumnya dari Rusia dan Ukraina,” ujar Kuntoro.