HUT ke-77 Republik Indonesia: Momen Menyingkirkan Kebencian, Menuju Pemilu 2024 yang Sehat
Gedung KPU. Peringatan HUT ke-77 Republik Indonesia menjadi momen untuk memikirkan Pemilu 2024 yang sehat, tanpa isu SARA seperti Pemilu sebelumnya. (Dok. Bappenas)

Bagikan:

JAKARTA - HUT ke-77 Republik Indonesia tak lepas dari isu konstelasi politik dalam negeri. Puluhan Partai Politik pada bulan ini sudah memasuki tahap awal sebagai syarat bertarung di Pemilu 2024. Sudah ada puluhan partai yang mendaftar ke KPU.

Setelah mendaftar, partai-partai besar terutama yang berada di parlemen langsung merancang strategi antara lain dengan mencari dan membentuk koalisi. Sementara, partai-partai baru masih harus berjuang melewati verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU.

Suhu politik tentu akan memanas. Apakah sepanas Pemilu sebelumnya? Bisa jadi. Narasi politik hingga saat ini saja, kata Direktur PolEtik Strategic, M Subhan, belum beranjak dari kemegahan diri dan kesinisan. Kolom komentar media sosial dari para partisan partai masih kental dengan hujatan dan saling serang.

“Diksi negatif seperti bodoh, dungu, cebong, kampret, kadrun, masih kerap dijumpai. Masyarakat seolah tak risih lagi mempertontonkan sikap reaktif, emosional, atau sumbu pendek,” kata Subhan dalam tulisannya bertajuk ‘Berhentilah Membenci’ di blog pribadinya.

HUT Republik Indonesia ke-77, menjadi momen penting untuk menjaga persatuan. (Istimewa)

Mereka yang berada di akar rumput cenderung senang mempertahankan ideologinya tanpa sadar bahwa mereka tengah terpapar politik.

Kondisi itu tentu sangat mencemaskan. Semakin mencemaskan apabila masih ada operator militan yang sengaja menjadikan warga sebagai objek berpolitik dengan memainkan isu-isu SARA yang cenderung digunakan pada Pemilu sebelumnya.

Padahal, menurut Dosen Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia, Yulius Aris Widiantoro, politik lahir sejatinya sebagai manifestasi kesadaran berwarga negara. Esensi politik adalah usaha menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera. Seperti ungkapan seorang filsuf Yunani, Plato yang mengatakan berpolitik itu sederhana. Jika mampu mewujudkan kesejahteraan warga, polis akan sejahtera.

Demikian sebaliknya, jika perilaku warga buruk, buruk pula negara. Dalam berpolitik manusia harus diletakkan sebagai subjek dan bukan objek atau pun sarana memperoleh kekuasaan.

“Warga atau masyarakat adalah entitas suatu bangsa karena itu para politisi harus menempatkan mereka bukan dalam relasi subjek-objek, melainkan subjek-subjek. Jangan menganggap mereka sebagai potensi menuju kekuasaan, tetapi sebagai sebagai sebuah kekuatan membangun kejayaan bangsa dan negara,” kata Yulius dalam tulisannya ‘Membangun Politik yang Sehat’ di Kompas pada 13 Agustus 2022.

Politik di negeri ini perlu dikembalikan kepada hakikatnya sebagai jalan menuju kebaikan bersama. Mobilisasi massa dan argumen yang bercorak hominen, yaitu suatu argumen yang dibangun atas dasar kebencian terhadap lawan politik dengan bahasa yang cenderung sarkatis dan penuh propanganda, harus diakhiri.

Hormati Perbedaan

Subhan berpendapat, cara mereduksi permusuhan partisan bisa menggunakan konsep Rachel Hartman dkk (Interventions to Reduce Partisan AnimosityFebruari 2022). Perlu intervensi di tiga aras atau pendekatan dengan kerangka TRI: thoughts, relationships, dan institutions.   

Pada aras thoughts (pemikiran), targetnya ada koreksi terhadap mispersepsi mengenai kelompok berbeda, seraya menemukan kesamaan setiap kelompok.

Pada aras relationship (hubungan), berfokus pada dialog dan interaksi dengan lawan politik.

“Selama ini anggota kelompok minim berinteraksi dengan kelompok lain. Mereka cenderung berkomunikasi sesama anggota kelompok. Situasi inilah yang bisa terjebak efek ruang gema yang menolak pandangan berbeda. Di media sosial kita biasa menyaksikan aksi blokir, unfriend, unfollow, atau left group. Untuk itu, intervensi relasi ini penting guna membangun hubungan positif yang produktif,” papar Subhan.

Pada aras institutions (kelembagaan), mendesaknya perubahan wacana publik dan institusi, mulai dari media hingga struktur politik. Tujuannya agar terbentuk budaya masyarakat berperadaban.

Politik kebencian yang dipicu dengan kampanye bermaterikan isu SARA jangan lagi terjadi dalam Pemilu 2024. (Pixabay)

“Penting disadari bahwa menghormati perbedaan adalah prinsip demokrasi. Entitas politik berbeda ibarat lawan di arena pertandingan, bukan medan peperangan,” ucapnya

Hal mafhum bila politik selalu berkemelut, karena memang tempat beragam kepentingan bertemu. Namun, membiarkan politik terjerembab terus-menerus dalam kebencian, tentu mustahil menghadirkan politik sebagai medium kemaslahatan bersama.

Itulah mengapa, mengedepankan kebajikan sebagai bentuk tanggung jawab berpolitik harus menjadi kesadaran kolektif. Ini membutuhkan komitmen kuat, baik elite maupun publik berbeda kelompok, untuk sama-sama mewujudkan Pemilu 2024 benar-benar sebagai ajang kontestasi sehat.

“Kita semua harus berani memutus mata rantai permusuhan yang telanjur mengusutkan arena politik,” imbuh Saban.

Tengok Nelson Mandela, Bapak Bangsa Afrika Selatan. Meski menjadi korban kebrutalan kebencian politik apartheid, Mandela justru memberi pelajaran, “Jika mereka dapat belajar membenci, mereka dapat diajari untuk mencintai.”

“Mencintai Indonesia adalah noblesse oblige kita semua. Maka, berhentilah membenci!” tandasnya.

Selamat HUT ke-77 Republik Indonesia. Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat, dan wujudkan Pemilu 2024 yang sehat.