Pembelian Super Hercules: Peremajaan Alutsista Wajib, tapi Jangan Lupakan Kesejahteraan Prajurit
Presiden Joko Widodo meresmikan pesawat C-130J Super Hercules sebagai kekuatan baru alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Indonesia. (Kementerian Pertahanan)

Bagikan:

JAKARTA – Pembelian pesawat C-130J Super Hercules, menurut pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati merupakan langkah tepat. Bila anggarannya tersedia, semua peralatan alutsista TNI memang harus diremajakan.

Pembelian alutsista tentunya dapat mendukung pembangunan kekuatan TNI dalam hal mewujudkan tujuan nasional yang tertera dalam amanah UUD 1945, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta, ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Dengan adanya pesawat Super Hercules, kinerja TNI AU dalam hal pertahanan dan keamanan dapat lebih optimal. Bisa berfungsi untuk operasi militer ataupun non militer, termasuk dalam kegiatan-kegiatan bencana alam.

Pesawat tersebut tergolong sebagai tipe terbaru. Memiliki kopkit yang lebih canggih dengan sistem avionik penerbangan digital terintegrasi penuh dibanding seri sebelumnya. Mampu mengangkut 128 pasukan tempur, 92 pasukan terjun payung, dan memiliki kapasitas kargo hingga 20 ton. Serta, mampu lepas landas dan mendarat singkat di landasan pendek.

“Tentu bisa sangat mendukung operasional TNI AU, termasuk dalam kegiatan-kegiatan bencana alam,” kata Nuning, sapaan akrab Susaningtyas kepada VOI pada 10 Maret 2023.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyerahkan pesawat C-130J Super Hercules kepada Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono di Lanud Halim Perdanakusuma pada 8 Maret 2023. (Kementerian Pertahanan)

“Memang harus terus diremajakan. Setiap onderdil pesawat ada batas usia, kalau terlalu tua jangan dipakai lagi lah, kasihan awak pesawatnya. Termasuk juga pesawat tempur,” tambahnya.

Nuning pun menyambut baik langkah Menhan yang akan menambah jumlah pesawat tempur. Sehingga, Indonesia bisa lebih mampu mengawasi ruang udara dan wilayah yang ada di bawahnya.

“Untuk pesawat tempur pola gelar TNI AU mengutamakan di daerah depan seperti Natuna, Tarakan, Morotai, Biak, Merauke, dan Kupang hingga ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif),”

Kendati begitu, tidak hanya alutsista, kesehatan dan pendidikan para prajurit TNI juga harus mendapat perhatian. Baik pendidikan kemiliteran, maupun pendidikan formal.

Menurut Nuning, pendidikan dan pengalaman bisa mempengaruhi cara seorang prajurit dalam mengambil keputusan. Ini sangat penting, terutama untuk para perwira.

“Apalagi pada era sekarang. Kita harus siap memiliki deterrence strategy dalam menghadapi beragam ancaman, seperti ketegangan di Asia Pasifik, AUKUS, dan ancaman perang di kawasan Laut China Selatan. Bukan hanya perang konvensional, tetapi juga perang modern, perang nubika (nuklir, biologi, dan kima), dan perang siber,” imbuhnya

Hadapi Ancaman

Indonesia memegang peran sentral dan strategis di kawasan Asia Pasifik. Terletak di posisi persimpangan jalan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta di diapit oleh benua Asia dan Australia. Sekiranya 40 persen dari 90 persen jalur perdagangan dunia melewati perairan Indonesia, baik melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, maupun Selat Makassar

Selain berada di posisi strategis, Indonesia juga memiliki sumber daya alam melimpah di daratan maupun lautan. Ini merupakan keistimewaan sekaligus ancaman.

Karena di sisi lain, Indonesia juga berada di tengah ketegangan antara dua kekuatan besar dalam berebut pengaruh di kawasan Indo Pasifik. China di utara dan AUKUS di selatan. AUKUS adalah pakta keamanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Dampaknya akan berpengaruh besar terhadap negara bila ketegangan antara dua kekuatan tersebut semakin meruncing. Itulah mengapa, kata Suwarti Sari dalam buku ‘Strategi Pertahanan Indonesia Menghadapi Pergeseran Strategi Amerika Serikat di Asia Pasifik’, Indonesia membutuhkan sistem keamanan nasional yang mumpuni demi melindungi dan menjaga kepentingan nasional, dengan menggunakan kekuatan politik, ekonomi, maupun militer.

“Beberapa langkah penting dalam penyelenggaraan keamanan nasional mencakup penggunaan diplomasi untuk menggalang sekutu dan mengisolasi ancaman, penataan angkatan bersenjata yang efektif, implementasi konsep pertahanan sipil, serta kesiagaan dalam menghadapi situasi darurat,” tulisnya.

Pesawat tempur F-16 dari Skadron Udara 16 Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin ke Pulau Natuna, Kepulauan Riau untuk melaksanakan operasi patroli di wilayah terluar Indonesia. (Antara/Pentak Lanud RSN/aa)

Kendati begitu, kebijakan militer adalah komponen yang paling penting dari kebijakan keamanan nasional karena keamanan di bidang militer menyiratkan kemampuan suatu bangsa mempertahankan diri dan/atau menghalangi agresi militer.

Perencanaan pertahanan dengan tujuan menciptakan perdamaian harus dilakukan dengan kesiapan untuk menghadapi perang. Selama ini, pembahasan mengenai defence planning kerap kali terfokus pada situasi krisis dan mengabaikan situasi damai atau normal.

Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan telah memesan sebanyak lima unit pesawat C-130J Super Hercules dari Lockheed Martin Aerospace asal Amerika Serikat. Satu unit sudah dikirimkan dan diserahterimakan kepada Panglima TNI pada 8 Maret 2023.

Keempat unit sisanya akan dikirim secara berkala pada Juni, Juli, dan Oktober 2023, Januari 2024.

Selain itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga akan mendatangkan pesawat tempur Rafale asal Prancis, serta modernisasi pesawat tempur yang ada untuk memperkuat pertahanan Indonesia.

“Ini suatu keharusan demi pertahanan, kita sementara juga lagi negosiasi menambah pesawat-pesawat lain,” kata Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, usai acara serah terima pesawat C-130J Super Hercules.

Kopagat merupakan salah satu ujung tombak kekuatan TNI AU dalam melaksanakan tugas operasi-operasi matra udara. (Antara/HO-Dispenau)

Indonesia, menurut data Flight Global yang dilansir dari DataIndonesia, memiliki 489 pesawat militer aktif pada 2021. Seluruh pesawat militer tersebut terbagi ke tiga matra TNI, baik Angkatan Udara (AU), Angkatan Darat (AD), dan Angkatan Laut (AL).

Secara rinci, TNI AU memiliki 288 pesawat militer aktif. Ini terdiri dari 98 pesawat atau helikopter pelatihan, 79 pesawat tempur, 56 helikopter tempur, dan 48 pesawat pengangkut, enam pesawat misi khusus, dan satu pesawat tanker.

TNI AD memiliki 151 pesawat militer aktif. Terdiri dari 120 helikopter tempur, 23 pesawat atau helikopter pelatihan, dan delapan pesawat pengangkut. 

Sementara, TNI AL mempunyai 50 pesawat militer aktif. Sebanyak 24 unit di antaranya merupakan helikopter tempur, 11 pesawat misi khusus, 10 pesawat pengangkut, dan lima pesawat atau helikopter pelatihan.