JAKARTA – Permintaan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) agar 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau sekitar Rp300 triliun untuk dana desa menuai beragam tanggapan.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menilai anggaran untuk desa sejauh ini sudah cukup besar. Menurut perhitungannya, bahkan lebih dari Rp400 triliun.
Sebab, tak hanya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) saja yang fokus ke pembangunan desa. Kementerian lainnya, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga memiliki program yang menyasar masyarakat desa.
“Kalau yang ke Kementerian PDTT itu Rp70 triliun, tapi dari kementerian lain yang juga fokusnya di desa itu lebih dari Rp400 triliun. Jadi, kalau dihitung secara keseluruhan besar sekali,” ucap Wapres seperti dilansir dari laman Sekretariat Wakil Presiden.
Lagipula, besaran dana desa cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018 saja pemerintah telah menganggarkan dana desa sebesar Rp60 triliun dan realisasinya mencapai Rp59,86 triliun atau 98,77 persen.
Tahun berikutnya, menurut laporan Sukarno W. Sumarto di laman Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dana desa meningkat menjadi sebesar Rp70 triliun, dengan realisasi dana desa yang telah dikucurkan hingga Agustus 2019 mencapai Rp42,2 triliun atau 60,29%.
Lalu pada 2020, kembali meningkat menjadi Rp72 triliun. Sehingga, bila dibagikan ke 74.953 desa, masing-masing desa rata-rata menerima tak kurang dari Rp800 juta per tahun. Kisarannya Rp800,4juta tahun 2018, Rp933,9 juta tahun 2019, dan Rp960,6 juta tahun 2020.
“Itu pun belum termasuk dana-dana lainnya yang mengalir ke desa baik berupa alokasi dana desa, bantuan keuangan, dana bagi hasil ataupun bantuan lainnya (hibah) untuk pembangunan perdesaan,” kata Sukarno.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri pun heran mengapa para kepala desa berunjuk rasa hanya untuk permintaan anggaran desa. Lebih baik, buktikan dulu kinerjanya.
"Kalau kalian hanya bicara, mesti dibagi duitnya segini, mesti gini. Kerja dulu! Ibu suka mikir, prihatin, ngapain hari gini masih demo-demo?" kata Megawati dalam acara peringatan 9 tahun UU Desa di kawasan Stadion Gelora Bung Karno pada 19 Maret 2023.
BACA JUGA:
Sedangkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memberikan respon positif. Dia menilai 10 persen APBN untuk dana desa sangat ideal karena masa depan Indonesia berada di desa. Apabila desa tidak makmur, maka masyarakat akan lari ke kota guna mencari pekerjaan yang akhirnya justru menjadi beban di kota.
“Apabila dana desanya besar dan bisa dimanfaatkan, maka desa akan berkembang. Bisa mandiri dan mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakatnya, mereka tak perlu cari nafkah ke kota” kata Bambang dalam keterangan resminya pada 19 Maret 2023.
Sumber Daya Manusia Terampil
Sejatinya, kesuksesan pembangunan di pedesaan memang tak melulu berbicara masalah dana, melainkan juga sumber daya manusia. Percuma memiliki dana besar tetapi tidak ada sumber daya manusia yang terampil mengelolanya.
Realitasnya dengan hanya menerima dana ratusan juta per tahun, banyak desa yang mampu mengubah diri, sukses melakukan sejumlah inovasi untuk pembangunan fisik dan non fisik untuk kemajuan desa.
Total, Kementerian Keuangan mencatat ada 168 kisah desa yang sukses mengelola dana desa seperti yang ditulis Prof. Dr. Sadu Wasistiono dalam buku ‘Pengelolaan Dana Desa’.
Satu di antaranya Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Desa ini diakui sebagai desa yang sukses mengelola dana desa. Kepala Desa Ponggok menggunakan dana desa antara lain untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Desa. Mengelola potensi sumber daya alam berupa sumber mata air alami yang dimilikinya sebagai desa wisata air. Sehingga menjadi ladang penghasilan masyarakat.
Badan Usaha Milik Desa yang bernama Tirta Mandiri Ponggok sejauh ini sudah memiliki unit usaha unggulan antara lain Umbul Ponggok, kolam alami yang menjadi wisata snorkling.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani (2018) ada empat kunci yang membuat desa-desa tersebut sukses mengelola dana desa. Pertama, transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana desa. Kedua, komitmen peran serta masyarakat.
“Di desa-desa yang sukses jelas terlihat peran aktif masyarakat. Dari awal mereka berembug menentukan penggunaan dana, apakah akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau untuk Badan Usaha Milik Desa dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Mereka melakukan swakelola bersama-sama dan menggunakan hasil dari dana desa secara bersama-sama, guyup rukun,” tulis Sadu.
Ketiga, mengenai kepemimpinan kepala desa. Dengan ketokohan dan integritasnya, kepala desa mampu mengajak masyarakatnya untuk bekerjasama membangun desa.
Keempat, skala prioritas sehingga dana desa berhasil dimanfaatkan benar-benar untuk kebutuhan masyarakat desa.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, selanjutnya menjadi tugas kita semua untuk membuat kebijakan agar seluruh desa dapat melakukannya. Masih banyak pekerjaan rumah yang kita punya sehingga menjadi kewajiban semua pihak untuk terus berperan nyata, baik dalam pembinaan, pemantauan, dan pengawasan dana desa,” imbuh Sadu.
Tanpa hal itu, dana desa yang diharapkan dapat lebih mengembangkan desa, justru akan menjadi ladang para oknum perangkat desa berbuat curang.
Kasus korupsi yang menjerat ratusan kepala desa adalah bukti nyata mayoritas perangkat desa memang belum mampu menjalankan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Baik dalam menyelenggarakan perencanaan, melaksanakan pembangunan penguatan kompetensi administratif, SDM, kepemimpinan, maupun pengelolaan anggaran.