Presiden Gus Dur Minta SBY Kumpulkan Dukungan Bubarkan DPR dan MPR dalam Sejarah Hari Ini, 8 Mei 2001
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menjabat dari 1999 hingga 2001. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 22 tahun yang lalu, 8 Mei 2001, Presiden Gus Dur meminta Menteri Koordinator Bidang Politik Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengerjakan tugas khusus. SBY diminta untuk mengumpulkan tanda tangan pendukung dekrit bubarkan DPR dan MPR.

Sebelumnya, Gus Dur dikenal sebagai pemimpin Indonesia yang kerap melanggengkan kontroversi. Ia siap sedia berseberangan paham dengan siapa saja. Utamanya, DPR dan MPR. Ia kemudian ingin membubarkan keduanya sekaligus.

Dukungan rakyat Indonesia kepada pemerintahan Gus Dur tiada dua. Semua itu karena nyali Gus Dur membela rakyat Indonesia dengan begitu berani. Ia berani mendeklarasikan diri sebagai pemimpin yang berdiri di atas semua golongan. Golongan minoritas, apalagi. Namun, dukungan itu belakangan meredup.

Kiai kharismatik itu dianggap kerap melanggenggakan kebijakan yang kontroversial. Alih-alih muncul dengan ide-ide revolusioner, Gus Dur kerap muncul dengan ide-ide yang memantik amarah rakyat Indonesia.

Ia bahkan pernah muncul ke muka umum menyampaikan keinginannya meminta maaf kepada korban dan keluarga pembantaian simpatisan PKI yang terjadi pada 1965-1966. Sebagai bentuk keseriusan, Gus Dur mengusulkan supaya Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme segera dicabut.

Presiden Gus Dur dan Khofifah Indar Parawansa yang saat itu menjabat Menteri Urusan Peranan Wanita. (Antara)

Langkah politik itu memberatkan Gus Dur. Jejak Gus Dur sebagai pemimpin kemudian tercoreng dengan kehadiran namanya dalam skandal buloggate dan bruneigate. DPR dan MPR mengecam langkah Gus Dur. Namun, Gus Dur ogah terima.

Ia kemudian memiliki ide untuk mematikan langkah DPR dan MPR. Ia kemudian menyebut laku hidup para wakil rakyat tak ubahnya perilaku anak TK. Ia ingin membubarkan keduanya –DPR dan MPR-- lewat sebuah dekrit.

“Sembilan bulan jalannya pemerintahan, Presiden Gus Dur justru tampil sebagai sosok yang penuh kontroversi, baik dari segi ucapan maupun dari segi tindakan dirasakan lebih banyak memunculkan rasa bingung di masyarakat.”

“Dari berbagai ucapan yang dilontarkan, misalnya, dalam sebuah kesempatan secara reaktif presiden menuduh tiga orang menterinya terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesempatan lain, ia ingin mengampuni mantan Presiden Soeharto, membuka hubungan dagang Israel, mencopot lima orang anggota kabinetnya, ingin menghapus ketetapan MPRS mengenai pelanggaran ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, dan beberapa ucapan kontroversial lainnya,” tertulis dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Gus Dur tak mau dirinya sendiri terlibat dalam rencana pembubaran DPR dan MPR. Ia merasa butuh dukungan dari segenap jajarannya di pemerintahan untuk mengeluarkan dekrit. Gus Dur pun menyakini sebuah nama yang dapat mendukung langkahnya mengeluarkan dekrit. Orang itu adalah SBY.

Menko Polsoskam itu diminta Gus Dur untuk melanggengkan tugas khusus. SBY diminta untuk mencari tanda tangan pendukung dekrit pada 8 Mei 2001. Pendukung dekrit yang dimaksud adalah pejabat pemerintahan. Dari menteri dan pejabat setingkatnya.

Kabinet Persatuan Indonesia 1999-2001, Presiden Gus Dur diapit oleh Menko Polsoskam, Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) dan Megawati Soekarnoputri (kanan). (Wikimedia Commons)

Namun, upaya itu tak berjalan mulus. SBY cendrung menganggap langkah politik yang diambil Gus Dur adalah cacat. Ia menyakini kehadiran dekrit bukan langkah yang bijak. Alih-alih langkah itu dapat mengamankan posisi Gus Dur sebagai orang nomor satu Indonesia, dekrit pembubaran DPR dan MPR malahan jadi awal kejatuhannya.

“Dari saat itu saya tahu bahwa Gus Dur Cenderung makin emosional. Tetapi, saya, Pak Alwi Shihab, Pak Mahfud, dan sejumlah menteri berusaha untuk menyarankan agar tidak ada tindakan yang dianggap inkonstitusional. Tetapi, bagai sudah menjadi takdir sejarah, setalah saya sendiri hampir selama lima bulan bisa menyarankan beliau untuk tidak gegabah melakukan tindakan politik.”

“Gus Dur memang akhirnya benar-benar mengeluarkan dekrit itu. Pada saat dekrit pembubaran DPR dan MPR itu dikeluarkan, saya baru beberapa minggu meninggalkan kabinet karena beliau membebaskan saya dari jabatan Menko Polsoskam dan kemudian mengangkat Pak Agum Gumelar sebagai pengganti saya,” terang SBY dalam buku Selalu Ada Pilihan (2014).