Bagikan:

JAKARTA - Perjuangan hidup Haji Bustamam penuh liku. Ia hidup berpindah-pindah. Pekerjaan apa saja dilakoninya demi menyambung hidup. Ia pernah merasakan perasan keringat jadi petani, kernet, pedagang rokok, hingga tukang cuci piring restoran Padang.

Satu-satunya yang ia andalkan adalah kepekaannya mengamati sesuatu. Adrenalin pun tertantang untuk membuka bisnis sendiri. Ia pun nekat ke Jakarta dan merintis Restoran Sederhana. Usahanya laris. Alih-alih menabung keuntungan, Ia justru terjebak sebagai penggila judi.

Hidup sejatinya penuh perjuangan. Itulah yang dialami oleh Bustamam kecil. Kehidupannya penuh nestapa. Pria kelahiran Lubuak Jantan, 11 September 1942 itu merasakan kesedihan kehilangan ibu. Kondisi itu membuatnya tak berlama-lama hidup di Lubuak Jantan, Tanah Datar, Sumatra Barat.

Ayahnya membawa Bustamam merantau ke Riau. Otomatis Bustamam jadi putus sekolah di Sekolah Rakyat. Kehidupannya di Riau pun penuh perjuangan. Ia membantu ayahnya sebagai petani. Namun, Bustaman ikut sanak famili pindah ke Jambi.

Kepindahan itu tak membuat Bustamam hidup tenang. Semua jenis pekerjaan coba dilakoninya. Ia sempat jadi kenek. Sempat pula jadi tukang cuci piring di restoran Padang berjenama Sederhana. Ia tak mengharapkan bayaran berlebih sebagai tukang cuci piring. Dapat makan saja sudah syukur.

Potret Haji Bustamam yang dijadikan cover buku pada 2019. (Buku Haji Bustamam: Pendiri Restoran Sederhana)

Bustamam pun mulai menikmati kehidupan kala ia menjadi pedagang rokok. Ia memiliki kemampuan dagang yang cukup baik. Tiga bulan menjual rokok hasilnya sudah kelihatan. Ia jadi memiliki tabungan dan memiliki lapak jualan rokok sendiri di Pasar Rombeng, Jambi pada 1960-an.  

Masalah muncul. Ia tak dapat melihat uang banyak. Uang itu justru dimanfaatkan untuk judi di pasar malam. Segala macam permainan dicobanya. Uang tabungan perlahan-lahan habis karena judi. Bustaman sampai menjual segala macam barang miliknya untuk berjudi, dari jam hingga pakaian.

Uang pokok belanja bahan restoran Padang ikutan tersentuh perjudian. Ia pun coba melarikan diri ke luar dari Jambi. Ia sempat membuka usaha kuliner di Medan, tapi tak berhasil. Perubahan baru muncul kala Bustaman mencoba mengubah hidup lewat jalan merantau ke Jakarta pada 1970.

Saran itu diberikan oleh mertuanya. Ia mencoba memulai usaha sebagai pedagang rokok kembali di Matraman, Jakarta Timur. Usaha itu dilakukan untuk menyambung hidup. Namun, kehidupan di Jakarta tak mudah. Ia sempat berpindah-pindah tempat usaha.

Akhirnya, Bustamam kepikiran membuka warung nasi. Ia pun memilih nama Sederhana sebagai jenama warung nasinya di kaki lima, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Sebuah nama yang ia ambil dari restoran Padang tempatnya bekerja sebagai tukang cuci piring dulu di Jambi.

“Kita nekat sajalah. Di Jakarta awalnya jualan rokok. Numpang di praktek dokter di jalan Matraman itu. Saya jualan rokok kurang lebih dua bulan. Istri saya lalu nyusul bersama anak. Namun, tahun 1971 ada kerusuhan di Matraman yang memaksa pindah ke Penjompongan. Jadi, waktu itu kita sewa kios hanya Rp20 ribu per tahun. Nah, kita tinggal di situ, jualan di situ. Anak saya jadi besar di kios. Di Pejompongan jualan rokok ternyata tak mampu menutup biaya harian.”

“Inisiasi mencari tambahan pun muncul dan sempat mau jual martabak manis. Namun, karena seorang teman yang pandai buat martabak tak datang-datang, muncul ide menjual nasi. Modal pun dibantu sanak famili sejumlah Rp15 ribu untuk jualan di kaki lima. Saya lalu pergi ke Bendungan Hilir cari tempat. Jadi, gerobak yang dulunya jualan di Matraman saya jadikan meja terus kasih terpal. Namanya saat itu sudah Sederhana,” ungkap Bustaman dalam acara Kick Andy, 22 Juni 2013.

Penggila Judi Tobat

Warung Nasi Bustamam berkembang pesat. Label Warung Nasi Sederhana kemudian naik kelas jadi Restoran Sederhana. Ia mulai membuka beberapa cabang baru. Masalah pun muncul. Uang banyak kembali membutakan Bustamam.

Ia bak kembali ke setelan pabrik. Nafsu berjudinya kembali. Uang banyak pun mulai dihambur-hamburkan di meja judi di era 1980-an. Kondisi itu mendukung karena Pemerintah DKI Jakarta peninggalan Gubernur Ali Sadikin era 1966-1977 melegalkan segala macam perjudian.

Ia pun tak lagi mengeluti judi ala kampung sebagaimana di Jambi macam ceki (koa). Bustaman justru terjebak dengan judi permainan domino dan biliar. Saban hari aktivitas berjudi dilakoninya. Aktivitas itu kerap dimulai kala jadwal restorannya tutup.

Ia pun tergolong penggila judi. Aktivitas itu dlakoninya bertahun-tahun. Namun, Bustamam beruntung. Ia tak sampai menggunakan dana pokok Restoran Sederhana. Belakangan Bustamam mulai menyadari kegiatan berjudi banyak mudarat, ketimbang manfaat.

Bustamam membayangkan andai ia tak terjebak judi, maka usaha Restoran Sederhana sudah maju pesat sejak 1980-an – sekalipun ia mampu sukses setelah tobat judi. Ia mencoba berubah demi keluarga dan tumbuh kembang usahanya. Alhasil, kegiatan berjudi perlahan-lahan ditinggalkan.

Usaha Restoran Sederhana Bustamam berkembang pesat dan memiliki hingga 100 cabang. (Wikimedia Commons)

Keberaniannya meninggalkan laku hidup penjudi bawa berkah. Usaha Restoran Sederhana berkembang pesat. Bahkan, kini jaringan Restoran Sederhana mampu menyentuh 100 cabang. Andai kata Bustamam masih bergelut dengan judi, tentu ia takkan mampu berkembang lebih lebih lagi. Paling banter usahanya dijual kepada pengusaha lainnya. Itupun untuk modal judi.  

“Selama beberapa tahun saya asyik dengan hobi buruk tersebut. Saya katakan hobi buruk, karena hampir semua orang penjudi adalah pembohong. Termasuk bohong kepada keluarga. Bila terlamat pulang, dan kebetulan kalah pula, kalau ditanya istri sudah tentu saja jawabnya berbohong.”

“Yang paling parah adalah berbohong pada diri sendiri. Demi menjaga gengsi kepada kawan, walaupun kalah tetap mengaku menang, atau mengaku hanya kalah sedikit, padahal banyak,” ungkap Bustaman dikutip Hasril Chaniago dalam buku Haji Bustamam: Pendiri Restoran Sederhana (2019).