Tanam Ganja untuk Obat Istri: Upaya Fidelis Selamatkan Nyawa Berujung Penjara pada 2017
Ilustrasi tanaman ganja yang dimanfaatkan untuk kepentingan pengobatan, atau yang sekarang populer sebagai ganja medis. (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Popularitas ganja sebagai tanaman obat bukan barang baru. Di Nusantara apalagi. Negeri Serambi Mekkah, Aceh bahkan telah mengenal pemanfaatan ganja secara turun-temurun sejak dulu kala. Tanaman lima jari digunakan untuk beragam kebutuhan. Dari bumbu masak, pestisida alami, hingga obat herbal. Kini semua berubah. Ganja dianggap laksana biang kejahatan. Pemakainya dianggap kriminal. Fidelis Arie Sudewarto pun merasakannya. Padahal, ia memanfaatkan ganja untuk mengobati istrinya.

Sejak dahulu kala tanaman ganja telah hadir di bumi Nusantara. Tanaman itu mudah ditemukan. Ganja hampir ada di seluruh pelosok negeri. dari Sumatra hingga Bogor (Buitenzorg). Popularitas tamanan dari famili Cannabaceae tak perlu diragukan.

Kehadiran istilah-istilah seperti ganja, gandja, ganja, atau gendji sudah melekat di antara kaum bumiputra. Kala itu, ganja dikenal sebagai tanaman yang kaya manfaat. Khasiatnya pun kemudian ‘didongengkan’ secara turun-temurun. Sebagai buktinya, banyak di antara kaum bumiputa mengelolanya menjadi bumbu masak, pestisida alami, hingga obat herbal.

Kehebatan ganja sebagai obat atau yang kini disebut ganja medis makin terangkat dengan adanya dokumentasi yang merekam tanaman lima jari itu kaya manfaat. Dokumentasi itu antara lain Kitab Tajul Muluk atau Kitab Mujarobat dan mahakarya ahli botani asal Jerman, G.E. Rumphius, Herbarium Amboinense (1741).

Fidelis Arie Sudewarto dan mendiang istrinya, Martha Yeni Riawati. Fidelis pada tahun 2017 harus menjalani hukuman penjara karena menanam ganja untuk pengobatan istrinya yang menderita penyakit langka, Syringomyeila. (Dok. Pribadi)

Budayawan Aceh, Tungang Iskandar membenar hal itu. Ia menyebutkan pemanfaatan ganja adalah hal yang umum bagi rakyat Aceh sejak masa lampau. Ganja dianggap mampu mengobati diabetes atau kencing manis.

Dalam konteks bumbu masakan, apalagi. Ganja berguna agar daging menjadi empuk dan menyedapkan makanan. Perihal itu jadi bukti bahwa di Aceh yang mayoritas Islam, justru mampu menerima ganja sebagai tanaman kaya manfaat.

“Saya pikir itu (pemanfaatan ganja) sudah bukan rahasia lagi. Bahwa, dalam praktiknya, orang Aceh memang sudah sejak lama menggunakannya. Dalam masakan, misalnya. Biji ganja memang sering dipakai dalam kuah, tidak terkecuali dalam kuah-kuah yang dimasak untuk ritual-ritual khusus yang mana pada setiap masak besar laki-laki menjadi juru masaknya.”

“Ganja itu kan haram karena penyalahgunaannya. Berarti kalau penggunaannya benar kan bisa lain cerita. Islam itu kan segalanya untuk kebaikan. Nah, mari kita kaji dan bersikap untuk segala sesuatu persoalan yang masih abu-abu, yaitu dengan mendukung segala sesuatu yang memang banyak manfaatnya dan menolak sesuatu yang memang banyak buruknya,” ungkap Tungang Iskandar saat dihubungi VOI.

Kisah Fidelis

Penetapan ganja sebagai narkotika berbahaya sejak 1961 menghapus segalanya. Ganja dianggap oleh seantero dunia layak disandingkan dengan heroin, kokain, morfin, dan opium. Indonesia pun mengikuti jejak itu. Karenanya, ganja dianggap sebagai muara kejahatan. Penggunanya dianggap kriminal. Citra ganja jadi sedemikian buruk.

Perlahan-lahan manfaat ganja, utamanya di Indonesia tak lagi terdengar. Sebab, barang siapa yang membawa, menggunakan, menyebarkan ganja akan dikenakan hukuman. Dari rehabilitasi hingga penjara.

Waktu pun berlalu. Pemanfaatan ganja secara tak terduga muncul dari Sanggau, Kalimantan Barat pada 2017. Gaung pemanfaatkan ganja muncul dari Pegawai negeri Sipil bernama Fidelis Arie Sudewarto. Sebermula Fidelis dan istrinya, Yeni Riawati hidup sebagai pasangan serasi dan saling melengkapi. Banyak mimpi yang keduanya ingin raih. Pun tiada sekalipun masalah yang berarti menimpa keluarga mereka.

Namun, masalah muncul pada 2016 saat Yeni jatuh sakit. Demamnya hanya separuh badan. Pun beberapa bagian tubuh mengalami kelumpuhan. Fededis khawatir. Ia pun mengusahakan pengobatan terbaik untuk istrinya.

Makam Martha Yeni Riawati di Sanggau, Kalimantan Barat. (Facebook Fidelis Arie Sudewarto) 

Bolak-balik rumah sakit jadi rutinitasnya. Dokter pun beranggapan istrinya hanya dianggap mengidap penyakit bawaan hamil belaka.    

“Gejalanya seperti demam tetapi kondisinya aneh lah. Demamnya hanya separuh badan sebelah kanan. Sebelah kirinya normal. Kadang berkeringat sampai basah. Namun, pas di bawah ke rumah sakit untuk dicek, waktu itu dokter hanya bilang mungkin bawaan hamil. Jadi cuma dikasih vitamin dan disuruh istirahat.”

“Sakit lagi seperti itu, dan semakin parah. Bahkan sampai tangan sebelah kirinya tidak bisa digerakin juga. Separuh ke bawah tak bisa digerakin. Sampai waktu itu dokter juga gak sampai memutuskan apa sih penyakit sebenarnya. Kita sudah ke Pontianak, di Sanggau gak bisa. Bahkan sempat dirujuk ke Singkawang, sampai dua kali kita lakukan MRI. Pokoknya bolak-balik rumah sakit,” ungkap Fidelis dalam film dokumenter rekaan Mahatma Putra berjudul Atas Nama Daun (2022).

Hasil bolak-balik rumah sakit itu mengungkap Yeni mengidap penyakit langka Syringomyeila. Satu bentuk kelainan sistem saraf pusat akibat kista yang tumbuh di tulang belakang. Namun, pengobatan rumah sakit tiada perkembangan di mata Fidelis. Ia memutuskan pulang untuk merawat istrinya di rumah.

Fidelis Arie Sudewarto bersama kedua anaknya sepeninggal sang istri. (Facebook Fidelis Arie Sudewarto)

Ia mencari alternatif lain pengobatan untuk istrinya. Ia pun melakukan riset kecil-kecilan. Ia banyak membaca buku. Fidelis bahkan acap kali menjadi pengunjung tetap perpustakaan daring dari Universitas Harvard. Fidelis mendapatkan pencerahan terkait satu-satunya obat yang tepat untuk istrinya. Ganja, namanya. Cannabinoid dari ganja diyakininya sebagai obat mujarab.

Fidelis lalu belajar budidaya ganja secara daring dari penyintas Syringomyeila di berbagai belahan dunia. Ia mengelola ganja itu secara mandiri untuk diberikan kepada istrinya. Pucuk dicinta ulam tiba. Kondisi yeni terus membaik.

Ganja mampu mengubah keadaan. Yeni jadi bisa tidur pulas, nafsu makan meningkat, dan buang air kecil atau besar lancar. Ajaibnya, Yeni yang tadinya kesulitan berkomunikasi sudah dapat aktif kembali seperti sedia kala. Dalam satu waktu Yeni juga bernyanyi.

Seiring mulai pulihnya kondisi sang istri, Fidelis butuh menanam ganja lebih banyak. Daya tampung rumah Fidelis tak lagi muat untuk pohon ganja jadi muaranya. Lagi pula, ia butuh lebih banyak tanaman ganja untuk mendapatkan ekstrak Cannabinoid. Alias ia butuh menanam ganja di kebun terbuka. Ia pun mengajukan dispensasi kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau untuk memanam ganja.

Alih-alih mendapat dispensasi, Fidelis justu ditahan BNN pada 19 Februari 2017. BNN menyita 39 batang pohon ganja miliknya. Bersamaan dengan ditahannya Fidelis, upaya pengobatan terhadap istrinya otomatis terhenti. Beberapa pekan kemudian, Yeni meninggal dunia pada 25 Maret 2017.

“Malangnya, perbuatan Fidelis dilaporkan ke pihak yang berwenang, Badan Narkotika Nasional (BNN) setempat, dan pria itu terpaksa mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari 2017. Setelah Fidelis ditahan sehingga tidak dapat lagi menyediakan ganja bagi istrinya, Yeni meninggal dunia pada 25 Maret, meninggalkan dua anak.”

“Hukum berkutat di seputar legalitas. Orang yang tertangkap melakukan pelanggaran hukum mesti menanggung akibat, sebagaimana yang sudah disuratkan. Tidak ada ruang kompromi. Kepala BNN Budi Waseso, misalnya, menilai tindakan Fidelis menanam ganja tidak dapat ditoleransi dan tidak ada pengampunan meskipun tanaman itu digunakan untuk pengobatan. Artinya, hukum menutup diri terhadap pertimbangan di luar aspek legalitas, seperti nilai-nilai kemanusiaan dan belas kasihan,” tutup Arie Saptaji dalam buku Warung Jorok, Orang Kaya, dan Pancasila (2022).