Miskin karena Judi di Era Orde Baru
Porkas, salah satu bentuk judi yang sangat populer dan dilegalkan Pemerintah Indonesia di tahun 1980-an. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah DKI Jakarta era Orde Baru (Orba) pernah melegalkan judi. Ajian itu dianggap langkah utama Jakarta mempercantik diri. Keuntungan perjudian membuat empunya kuasa dapat membangun banyak hal. Dari sekolah hingga rumah sakit.

Boleh jadi perjudian membawa banyak manfaat, tapi tak sedikit pula yang menganggap judi membawa banyak mudarat. Perjudian, utamanya lotere Hwa Hwee justru membawa warga Jakarta masuk kubangan kemiskinan. Harta mereka habis dan jadi gila.

Satu-satunya masalah yang membuat Jakarta gagal mempercantik diri adalah kekurangan dana. Masalah itu membuat siapa saja yang memimpin Jakarta akan kewalahan. Dana yang berikan pemerintah pusat sedikit. Sedang impian membangun Jakarta sebagai kota bak mercusuar peradaban bangsa begitu besar.

Semuanya berubah kala Ali Sadikin jadi nakhoda baru DKI Jakarta sedari 1966-1977. Ia membuat banyak gebrakan supaya Jakarta berkembang dan banyak membangun. Ia tak ingin pembangunan Jakarta terus bergantung dengan dana dari pusat. Apalagi dana yang diberikan terlampau sedikit.

Ide liar kemudian hadir. Ali ingin melegalkan judi di Jakarta. Ajian itu dipilih karena pajak perjudian pernah membuat penjajah Belanda untung besar di Batavia (kini: Jakarta). Celah aturan era Belanda yang masih berlaku di Jakarta dimanfaatnya supaya tak melanggar hukum.

Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1971 yang melegalkan perjudian di wilayahnya. (IPPHOS)

Hasilnya gemilang. Ali menjadikan perjudian sebagai mesin pencetak duit. Uang hasil legalkan perjudian bejibun. Keuntungan itu membuatnya mampu mepercantik Jakarta.

Kampung diperbaiki, jalannya mulai diaspal, sekolah-sekolah bertambah, dan fasilitas kesehatan diperbaiki sebanyak-banyaknya. Namun, langkah melegalkan perjudian turut diprotes banyak pihak. Perjudian dianggap semakin memperburuk moral warga Jakarta. Sekalipun Ali berkelit judi dilegalkan terbatas kepada etnis China. Bukan warga Jakarta yang mayoritas beragama Islam.

“Bang Ali mendapat ide. Adakan (judi) lotto/Hwa Hwee untuk menyekolahkan anak-anak terlantar. Tingkatkan berbagai pajak, seperti pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pungut pajak judi setelah disahkan tempat perjudian, khusus buat Tionghoa.”

“Dengan dana yang diperoleh, galakkan gerakan penghijauan Jakarta. Juga adakan lokasi tersendiri bagi pelacur atau WTS (Wanita Tuna Susila) di Kramat Tunggak. Lantaran semua itu, Bang Ali dikasih cap sebagai ‘Gubernur Maksiat’ dan Nyonya Nani Ali Sadikin disebut Madame Hwa-Hwe. Namun, Bang Ali maju terus tak gentar, berbakti kepada nusa dan bangsa,” cerita Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).

Judi Bikin Miskin

Kebijakan melegalkan judi di Jakarta memang membawa keuntungan bejibun. Namun, keuntungan itu harus dibayar mahal oleh pemerintah DKI Jakarta. Warga Jakarta banyak yang keranjingan judi. Mereka yang suka judi tak melulu etnis China, tapi suku bangsa lainnya juga.

Semua itu karena perjudian mampu menghadirkan mimpi kaya raya dengan cara mudah. Perjudian lotere Hwa Hwee, misalnya. Permainan itu mengharuskan orang-orang membeli kupon dengan mengisinya dengan angka tebakan menjanjikan kekayaan. Angka lotere akan diundi tiap malam.

Biasanya angka yang keluar ditayangkan via saluran televisi. Mereka yang mampu menebak dengan tepat akan memperoleh uang yang banyak. Mereka yang angkanya meleset mencoba menahan amarah dengan membeli kembali kupon esok hari. Harapan supaya besok lebih beruntung.

Tabiat itu membuat penjudi ketagihan. Mereka kerap mematri harapan tinggi tiap harinya dengan mengunjungi agen Hwa Hwee yang tersebar di tiap sudut Jakarta. Setiap uang yang didapat lalu dipertaruhkan lewat Hwa Hwee, alih-alih untuk memperbaiki kehidupan.

Masyarakat mengantre untuk membeli kupon Porkas, salah satu bentuk judi yang dilegalkan di era Orde Baru. (Twitter)

Kondisi itu membuat banyak warga Jakarta jatuh dalam kubangan kemiskinan. Kemiskinan itu membuat penjudi melanggengkan apa saja untuk mendapatkan uang berjudi. Kadang kala menjual seisi rumah, lalu yang paling ekstrem melakukan kejahatan, seperti mencuri untuk dapat berjudi.

Pemandangan miskin karena judi di Jakarta jadi potret sehari-hari selama judi legal di era Orba. Pemerintah DKI Jakarta hanya berfokus kepada keuntungan dan keberhasilan pembangunan. Namun, di lain sisi, banyak masyarakat yang harus kena getahnya jadi miskin, kemudian gila.

“Lotere Hwa Hwee ini juga sangat popular dalam pergaulan bermain saya dan banyak temapt saya yang ikut-ikutan bermain menebak lotere Hwa Hwee ini. Adapun yang cukup menyedihkan, banyak kalangan bawah yang menjadi sangat keranjingan bermaintebakan judi Hwa Hwee ini. Sehingga banyak yang jatuh miskin atau keluarganya berantakan. Bahkan ada juga yang sampai terganggu jiwanya.”

“Yah, memang taraf Pendidikan masyarakat kita masih rendah, mudah latah dan terkecoh ikut-ikutan berjudi supaya cepat kaya tanpa perhitungan yang rasional. Karena banyak tekanan dari masyarakat terutama kalangan agama atas dampak negative yang ditimbulkan lotere Hwa Hwee ini, akhirnya Ali Sadikin terpaksa harus menghentikannya,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).