JAKARTA - Kemunculan Liem Swie King di dunia bulu tangkis fenomenal. Tindak-tanduknya di lapangan bulu tangkis kerap bikin nyali lawan ciut. Smesnya banyak meruntuhkan dominasi pebulutangkis kelas dunia. Begitu pula aksi netting-nya.
Hasilnya gemilang. King jadi Jawara All England 1978-1979. Keteneran pun didapatnya. Seisi Indonesia memujanya. Kesempatan itu kemudian membawa King mencoba dunia baru sebagai bintang film. Ia bermain film tentang bayi tertukar. Sakura dalam Pelukan (1979), judulnya.
Tiada yang tahu urusan takdir. Bahkan, takdir kadang hadir di sebuah brak atau tempat melinting rokok milik PT Djarum. Saban sore brak yang kini berada di Jalan Lukmonohadi nomor 35, Kota Kudus, dijadikan lapangan bulu tangkis.
Mereka yang ikut bermain adalah karyawan pabrik rokok asal Kudus sedari 1969. Nyatanya, tak hanya karyawan pabrik yang antusias berlatih, tapi warga sekitar. Warga sekitar pun ikut senang. Liem Swie King jadi salah satunya. Mereka kerap bermain bersama saban sore.
Alih-alih hanya bermain saja, King juga ikutan mempersiapkan lapangan bulu tangkis. Dari menyapu lapangan dan membersihkan sampah-sampah tembakau. King pun menganggap aktivitas itu selalu menyenangkan. Ia pun bermain bulu tangkis dengan suka cita. Mulanya tiada yang menyangka bakat King berkembang ke tahap lebih serius.
Kemudian, King mampu mencatatkan nama sebagai Juara Nasional bulu tangkis pada 1974. Usianya kala itu baru mencapai 18 tahun. Prestasi itu membuat King dilirik Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). King mulai masuk Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) bulu tangkis Maret 1976.
Semenjak itu karier King mulai bersinar. Ia kerap diunggulkan. Kepercayaan itu dibayar tuntas oleh King. Ia mampu jadi jawara dalam hajatan kejuraan bulu tangkis paling bergensi di eranya, All England pada 1978.
Hajatan itu pula membuat pukulan smesnya (The King’s Smes) dibicarakan oleh penggemar bulu tangkis di seluruh dunia. Apalagi, King berhasil menjadi jawara back to back, All England pada 1979.
“Ia muncul ke gelanggang nasional pada saat yang tepat –ketika prestasi Rudi Hartono mulai turun. Menjadi juara nasonal dalam usia 18 tahun pada 1974. King masuk Pelatnas bulu tangkis Maret 1976. Ikut Kejuaraan Asia pada tahun itu juga, ia kemudian menyertai berbagai kejuaraan internasional lainnya.”
“All England, Piala Thomas, Kejuaraan Terbuka Swedia, Kejuraan SEA Games. Beberapa kali ia mengalahkan Rudy Hartono dalam kejuaraan dalam negeri. Rudy pula yang harus ditundukkannya di final ketika ia merebut juara All England pertama kali, 1978-1979. King dikenal sebagai pemain bulu tangkis serba komplet. Stroke-nya lengkap, smash-nya keras, speed-nya lincah, dan netting-nya tajam serta halus,” tertulis dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984).
Main Film
Kemenangan back to back di All England membuat King berada di puncak karier sebagai pebulutangkis. Namun, King justru sempat tak disiplin. Ia pernah telat datang dalam Sea Games X pada 1979. Alhasil, lawannya, Lee Hai Thong dari Singapura menang walk over (WO). Sedang King harus menerima ganjaran di skorsing PBSI tak main tiga bulan.
Larangan itu nyatanya tak mematikan popularitas King. Ia justru banyak mendapatkan tawaran dari luar lapangan. Pun King sampai dipinang untuk menjadi bintang film. Kesempatan menjajal dunia baru tak disia-siakan olehnya.
King kemudian menjadi pemeran utama film garapan sutradara Fritz G. Schadt. Sakura dalam Pelukan (1979) jadi judul filmnya. Ia pun bermain bersama bintang kenamaan Indonesia seperti Eva Arnaz, Ida Leman, dan Awang Darmawan.
Pekerjaan sebagai bintang film dianggap King menantang. Alias tak mudah. Ia belajar banyak hal dan menjalani perannya dengan suka cita. Film itu bercerita tentang Narto (King) yang berteman baik dengan pemuda Jepang Akira (Awang Darmawan) karena berada dalam satu proyek.
Kebetulan Narto yang hobi bermain bulu tangkis jatuh cinta dengan Michiko (Eva Arnaz) yang notabene adik Akira. Namun, Kisah itu akhirnya buyar karena ibu Narto mengungkap fakta bahwa Narto dan Akira adalah bayi yang tertukar.
Akira justru anak sebenarnya Ibu Narto dan Narto adalah anak opsir Jepang yang juga kakak kandung dari Michiko. Keduanya dulu tertukar karena huru-hara masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Film itu kemudian diputar di bioskop di seantero negeri. Pun film itu turut mempopulerkan soundtrack film berjudul Sakura karya musisi legendaris, Fariz RM.
“Perempuan itu istri seorang serdadu Jepang, yang memberikan seorang bayi lelaki. Serdadu itu kemudian berangkat ke medan perang dan dikabarkan tewas. Kebetulan mereka serumah dengan opsir atasannya yang juga memiliki seorang bayi laki-laki. Bayi mereka saling tertukar ketika pecah huru-hara.”
“Lampu rumah tiba-tiba mati. Dalam gelap-gulita itu, yang dipikirkan hanya menyelamatkan diri. Nasib telah memisahkan anak dengan ibu kandungnya sendiri. Nasib pula lah yang akhirnya mempertemukan mereka kembali,” terang Ardus M. Sawega dalam laporannya di Harian Kompas sebagaimana dikutip Robert Adhi dalam buku Panggil Aku King (2009).