JAKARTA – Ada-ada saja usulan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, yang ingin memasukkan korban judi online atau judol sebagai penerima bantuan sosial (bansos). Warganet menganggap gagasan Menko PMK ini “agak laen”.
“Ya kita sudah banyak memberikan advokasi mereka yang korban judi online ini. Misalnya kemudian kita masukkan di dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial-red) sebagai penerima bansos ini,” ujar Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2024).
Dia beralasan banyak korban judol yang menjadi orang miskin. Pihaknya mengaku sudah banyak mendampingi orang miskin baru dari korban-korban judol.
Sejak gagasan Muhadjir Effendy ini viral, hampir semua masyarakat mengecam. Bagaimana tidak, pemain judol tidak pantas disebut korban, apalagi sampai harus mendapat bansos.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan pemberian bansos kepada korban judol hanya akan menimbulkan efek domino. Sedangkan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai peku judi online tidak perlu disebut sebagai korban karena itu berlebihan.
Terbanyak di Dunia
Pemerintah terus mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan judi online. Bahkan Presiden Joko Widodo secara tegas memberikan imbauan karena korban yang ditimbulkan makin banyak, tak mengenal usia, status sosial, dan pekerjaan.
Dalam sepakan terakhir, kabar Polwan Briptu Fadhilatun Nikmah membakar suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono, ramai dibahas. Briptu RDW meninggal dunia akibat luka bakar serius di sekujur tubuh. FN diketahui nekat membakar suaminya sendiri karena korban kecanduan judi online, bahkan gaji ke-13 di rekening korban ludes hingga tersisa hanya Rp800.000.
Sebelumnya, perwira TNI AL asal Sumatra Utara Lettu Laut (K) Eko Damara (31) mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ia diduga putus asa karena sejumlah masalah, termasuk terlilit utang ratusan juta rupiah akibat kecanduan judi online.
Adiksi judi online juga memaksa seorang pria lajang berinisial IS (40) di Depok, menjual rumahnya dan memilih tinggal di salah satu Tempat Pemakaman Umum (TPU). Rumahnya terpaksa dijual karena ia terlilit utang dari pinjaman online demi berjudi.
Judi online memang menjadi isu yang sulit hilang di masyarakat Indonesia. Bak jamur di musim hujan, situs-situs judi online terus bertebaran meski Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan pemblokiran.
Drone Emprit, penyedia layanan percakapan warganet di media sosial, mengungkapkan bahwa jumlah pemain judi online asal Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia. Menurut survei sistem monitor analisis media sosial itu, angka transaksi judol di Indonesia menembus Rp81 triliun dengan jumlah pemain judi mencapai 201.122. Angka ini hanya sebatas hasil survei, bukan jumlah sebenarnya.
Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Bagong Suyanto menyoroti masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah yang kerap melakukan judol. Menurut Prof Bagong, judi online kerap diangap sebagai jalan instan untuk mendapat kekayaan.
“Faktor mentalitas yang ingin menempuh jalan pintas. Jika mengubah nasib dengan jalur rasional sudah tidak lagi mungkin, sehingga dia menempuh jalur irasional berupa perjudian,” jelas Prof Bagong.
Gagasan Tidak Rasional
Lalu, apakah tepat memasukkan korban judol sebagai DTSK hingga akhirnya berhak menerima bansos dari pemerintah?
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, gagasan yang diungkapkan Muhadjir Effendy tidak rasional. Ia menilai pemberian bansos kepada korban judol hanya akan memberatkan APBN.
“Kalau korban judol ini dijadikan penerima bansos, maka ketergantungan pada bansos makin tinggi. Malah yang ada kecanduan judol juga makin besar,” kata Trubus saat dihubungi VOI.
“Memasukkan korban judol ke daftar DTSK selain tidak tepat, juga tidak akan efektif, malah lebih banyak efek dominonya,” ujar Trubus menambahkan.
Terkait judol yang diklaim menyasar masyarakat miskin, Trubus menilai sekarang ini telah terjadi perubahan paradigma di masyarakat. Sekarang ini masyarakat bahkan tidak menganggap judi sebagai sesuatu yang “haram”.
“Judol ini tidak mengenal masyarakat miskin saja, sekarang kan banyak juga anggota TNI maupun Polri yang kecanduan. Artinya, orang yang mapan juga ternyata bisa kecanduan,” tuturnya.
“Hal ini meruntuhkan asumsi bahwa judol hanya dimainkan orang miskin. Artinya ada perubahan dinamika di masyarakat. Budaya masyarakat sudah berubah, makin materialisme. Ukuran materi ini dikenal masyarakat dengan jalur judol,” kata Trubus menambahkan.
Judi adalah Tindakan Kriminal
Bhima Yudhistira, Direktur Celios juga ikut angkat bicara terkait wacana Menko PMK Muhadjir Effendy memberikan bansos kepada korban judol. Ia tidak setuju menyebut pelaku judol sebagai korban, apalagi menerima bansos.
Alih-alih memberikan bansos, Bhima menyarankan pelaku judi online dimasukkan panti rehabilitasi, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Dengan begitu, pemerintah cukup membiayai pelaku judi online selama berada di panti rehabilitasi.
Menurutnya, Indonesia masih memiliki banyak orang miskin yang benar-benar pelu masuk DTKS, daripada pelaku judi online yang menjadi miskin karena kesalahannya sendiri.
BACA JUGA:
"Sudah jelas bahwa judi ini tindakan kriminal, apa pantas pelakunya diberi bansos? Ini artinya logika pemerintah mau subsidi pelaku judi online pakai uang negara. Pemerintah juga jangan lepas tangan soal pencegahan. Judi online akan terus ada kalau upaya pemberantasan di hulunya tidak serius," tegas Bhima.
Senada dengan Bhima, Nailul Huda juga mengecam usulan Menko PMK memasukkan pelaku judol sebagai korban karena judi online sudah jelas dilarang oleh negara. Artinya, siapa pun yang dengan sadar bermain judi daring melanggar peraturan.
“Mereka tidak bisa disebut korban. Kecuali ditipu dengan dalih investasi yang ternyata itu judi online, baru bisa disebut korban. Tapi kalau memainkan judi slot, ya enggak,” ucap Huda.