JAKARTA - Hari ini, 74 tahun yang lalu, 9 September 1948, Presiden Soekarno meresmikan pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pertama. PON itu dilaksanakan di Stadion Sriwedari, Solo. Pemerintah Indonesia mengungkap PON merupakan ajang olahraga terbesar di Indonesia. Pelaksaannya kemudian diadakan tiap empat tahun sekali. Dari situlah, perayaan Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang diperingati setiap tanggal 9 September berawal.
Penyelenggaraan PON pertama penuh tantangan. Hajatan PON awalnya ingin dilaksanakan di Jakarta. Namun, pindah karena alasan keamanan: sedang perang revolusi dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Proklamasi kemerdekaan amat penting bagi bangsa Indonesia. Pengakuan sebagai bangsa merdeka itu jadi suntikan semangat untuk lepas dari belenggu penjajahan. Namun, Belanda tak mau melepaskan Indonesia merdeka begitu saja.
Negeri Kincir Angin merasa mereka masih berhak menduduki Indonesia. Apalagi pendudukan Belanda atas Indonesia telah berlangsung cukup lama. Sekalipun dominasi itu diakhiri oleh kehadiran Jepang. Momentum kekalahan Jepang segera dimanfaatkan oleh Belanda.
Mereka membonceng sekutu Inggris untuk menguasai Indonesia kali kedua. Teror pun dilakukan di seantero Jakarta. Keselamatan pejabat negara dan rakyat jadi terancam. Saban hari Belanda dengan persenjataan lengkap melanggengkan patroli. Mereka menyerang siapa saja dengan membabi buta.
Kabar terkait perlakuan Belanda sampai ke petinggi negeri. Satu-satunya opsi adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Diam-diam petinggi negeri, utamanya Soekarno meninggalkan Jakarta dengan kereta api. Di dalam kereta rasa was-was menyelimuti. Namun, mereka selamat dan berhasil menginjakkan kaki di Yogyakarta.
“Kami lalui pagar berduri untuk sampai ke kereta api yang sudah tersedia. Setelah rombongan kami semua naik, kereta bergerak perlahan-lahan. kami menuju kota Yogyakarta sebab di sana aman, tidak ada tentara Inggris dan Gurka serta Belanda. kereta itu berhenti sebentar di stasiun Jatinegara, karena ada tembak-menembak.”
“Setelah tembak-menembak berhenti, kereta api melanjutkan perjalanannya. Akhirnya kami tiba di stasiun Yogyakarta. Satu malam kami di kereta api membuat badan menjadi kaku dan capek. Tapi Guntur tidak merengek-rengek, jadi aku tidak begitu lelah. Guntur seolah-olah tahu dan turu membantu perjuangan dengan bersika tidak rewel,” ungkap istri Bung Besar, Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).
Belanda pun berang. Mereka pun segera melancarkan Agresi Militer I. Operasi militer besar-besaran itu mencoba menggempur Nusantara. Demi menjaga keselamatan, pejabat negara memainkan siasat. Mereka coba berpindah tempat sampai gencatan senjata dilakukan.
Di tengah gencatan senjata, nyatanya nyali pemerintah Indonesia untuk menanamkan nasionalisme terus berlanjut. Olahraga pun dipilih sebagai medium. Penyelenggaraan PON pertama di Solo jadi buktinya. Kiranya ada 600 atlet dari tiap wilayah. PON pun mempertandingkan sembilan cabang olahraga. Dari atletik hingga sepak bola.
Presiden Soekarno datang untuk membuka PON I secara langsung pada 9 September 1948. Sekalipun kondisi sedang darurat. Darurat karena masih berseteru dengan Belanda. Darurat karena PKI mengumandangkan pemberontakan.
Meski begitu, penyelenggaraan PON berhasil dan mencatatkan tonggak sejarah baru. Sebagai event olahraga nasional pertama yang dihelat ketika Indonesia baru merdeka. Pun hari peresmian PON, 9 September dirayakan tiap tahun sebagai Hari Olahraga Nasional atau Haornas.
“Dengan itu maka semua pihak, militer dan partai-partai politik, menuju ke jalan konfrontasi. Tapi ketenteraman masih perlu dijaga beberapa hari lagi. Pada tanggal 9 September Soekarno membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) I, yang dihadiri oleh Hatta, Soedirman, dan Sultan serta raja-raja Surakarta, banyak para menteri dan diplomat.”
“Suatu peristiwa besar bagi Republik, dan akan merupakan penghinaan jika peristiwa olahraga sampai mendapat gangguan dan di Solo ancaman itu sangat besar. Siliwangi ditugasi mengurusi keamanan kegiatan yang akan berlangsung sampai tanggal 12 September. Komandan Militer Kota Achmadi mengkonsinyasi semua pasukan di kesatrian masing-masing; ia juga melarang semua pengunjung PON membawa senjata, namun pengawasan tidak dilakukan dengan cukup memadai,” terang Harry A. Poeze dalam buku Madium 1948: PKI Bergerak (2011).