JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 4 Oktober 2015, tokoh nasional, Abdurrahman (A.R.) Baswedan diusulkan kembali untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah. Usulan itu diungkap kala memperingati Sumpah Pemuda Keturanan Arab.
Sebelumnya, tindak-tanduk A.R. Baswedan bagi kemerdekaan Indonesia begitu besar. Ia mengajak seluruh golongan keturunan Arab untuk pro kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan andil berdiplomasi ke negara-negara Arab supaya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Golongan keturunan Arab pernah merasa eksklusif di Nusantara. Narasi itu karena golongan Arab menempati kasta spesial di era penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua, sementara kaum bumiputra kelas tiga.
Kondisi itu membuat mereka tak jarang membeda-bedakan diri. Tampilan mereka tak mau sama dengan kaum bumiputra. Namun, tidak dengan A.R. Baswedan. A.R. Baswedan jadi keturunan Arab yang menganggap dirinya adalah bagian dari kaum bumiputra. Ia lahir dan hidup di Nusantara.
Ia pun mulai menggelorakan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia mulai mengajak golongan keturunan Arab lainnya untuk bergabung dan mendukung perjuangan. Keseriusan itu membuatnya mengajak 40 tokoh keturunan Arab untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 4 Oktober 1934 di Kampung Melayu, Semarang.
Peristiwa itu jadi momen penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Keturunan Arab mengaku satu dengan kaum bumiputra. Mereka pun bahu membahu dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. A.R. Baswedan pun berpikiran mereka membutuhkan wadah pergerakan.
Persatoean Arab Indonesia (PAI) kemudian didirikan. Tujuannya tak lain untuk menjadi bagian daripada perjuangan Indonesia. A.R. Baswedan pun kerap berkeliling untuk menguatkan sikap golongan Arab mendukung Indonesia.
Perannya itu membawa AR Beswedan jadi bagian dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Kiprahnya kian menanjak kala Indonesia merdeka. Ia ditunjuk sebagai Menteri Penerangan. Ia pula yang diutus pemerintah Indonesia untuk berdiplomasi ke Mesir untuk mendapatan dukungan dari negara-negara Arab lainnya pada 1947.
“Karena hati saya masih penuh dengan perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh pergaulan saya sehari-hari dalam rumah Tuan Soeljo Adikoesoemo seperti saudara biasa makan bersama dengan cara kebiasaannya seperti seorang Indonesia Jawa, maka dengan berpakaian begitu, saya lantas punya perasaan semakin condong ke pihak ibu daripada bapak. Saya lantas tidak ingat lagi, melainkan seorang Indonesia Jawa tulen,” terang A.R. Baswedan dalam tulisannya sebagaimana dikutip Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan dalam buku A.R. Baswedan: Saya Muslim, Saya Nasionalis (2021).
A.R. Baswedan memang telah tiada pada 16 Maret 1986. Namun, semangat perjuangan masih terasa hingga hari ini. Kakek dari Anies Baswedan itu kemudian diusulkan banyak pihak untuk mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional dari pemerintah pada 2011.
BACA JUGA:
Namun, pemerintah belum merespons. Usulan kembali bergaung kala momentum peringatan Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 4 Oktober 2015. Mereka –segenap pihak keluarga dan organisasi masyarakat-- sepakat mengusulkan kembali A.R. Baswedan mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional.
Usulan itu dilakukan supaya ada keterwakilan golongan Arab dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. A.R. Baswedan pun dianggap layak menerima gelar Pahlawan Nasional. Ia jadi pembawa dukungan penentu sebagai pelengkap keragaman di Indonesia. Belakangan A.R. Baswedan baru diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 2018 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kita sudah coba usulkan sejak tahun 2011 lalu untuk gelar Pahlawan Nasional. A.R. Baswedan banyak belajar tentang nasionalisme dari mereka, khususnya dari Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Besar sekali dampaknya, kita lihat keturunan Arab sekarang sudah bisa bergabung di berbagai elemen, contohnya di pemerintahan sekarang cucunya A.R. Baswedan, Anies Baswedan juga menjabat sebagai Meteri Pendidikan dan Kebudayaan,” ujar sejarawan dari Yayasan Nabil, Didik Kwartananda yang notabene salah satu pengusul sebagaimana dikutip laman tempo.co, 4 Oktober 2015.