Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 10 tahun yang lalu, 30 September 2014, Tifatul Sembiring mengundurkan diri dari jabatan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Pengunduran diri itu dilakukan karena esok harinya, ia segera dilantik sebagai anggota DPR RI.

Sebelumnya, kiprah Tifatul sebagai Menkominfo dikenal aktif dalam urusan pengembangan sistem internet dan informasi di Indonesia. Ia jadi menteri yang aktif pula main media sosial. Namun, langkahnya kerap mendapatkan kritik. Ia dikenal sebagai menteri tukang blokir.

Tifatul Sembiring dianggap sebagai salah satu pejabat pemerintah yang menonjol era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tindak tanduknya sebagai Menkominfo dianggap merakyat. Ia bahkan jadi salah satu menteri yang aktif di media sosial.

Ia kerap mendengar respons dan kritik masyarakat atas kebijakannya lewat media sosial macam Twitter. Ia pun memiliki ragam prestasi selama jadi menteri. Ia dianggap sebagai otak di mana pembangunan jaringan fiber optik Palapa Ring yang telah mencapai 90 persen.

Ia pun turut menghadirkan keterjangkauan internet masuk desa-desa di Nusantara. Namun, prestasi itu tak mampu menutup kontroversi dari Tifatul sendiri. Klaim-klaim prestasi yang dilakukan Tifatul tak membuatnya dikenal sebagai Menkominfo terbaik.

Ia justru dianggap tak memiliki program revolusioner. Tifatul hanya menjalankan program dari pendahulunya saja. Kondisi itu diperparah dengan ajian Tifatul yang justru jadi menteri tukang blokir. Suatu tugas yang notabene identik sebagaimana tugas Menteri Penerangan era Orde Baru (Orba). Padahal, Kominfo harusnya dapat berbuat lebih banyak.

Ia bertindak bak polisi moral. Semua konten yang dianggapnya negatif, utamanya pornografi segara diblokir. Bahkan, ranah lain ikut diblokir yang notabene tak bermuatan negatif.

Twitter dan Wikipedia saja ingin diblokir. Kondisi itu dianggap banyak pengamat membuat waktu Tifatul hanya habis untuk blokade situs sehingga infastruktur telekomunikasi tak berkembangan pesat.

“Jagat maya sesungguhnya tidak butuh polisi. Jurus blokir Internet ala Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menunjukkan bahwa kebijakannya itu jelas bertentangan dengan—atau tak mampu menyerap— semangat zaman. Alih-alih menutup situs ‘panas’, pedang sensor malah nyasar memblokir berbagai situs yang lempeng-lempeng saja.”

“Pantas jika ratusan komplain menghujani Kementerian Komunikasi. Situs yang tak bermasalah ikut-ikutan digaruk, termasuk beberapa bagian dari wikipedia.com, detik.com, dan kompas.com. Niat membatasi Internet yang mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, penghinaan, dan penistaan tentu baik. Tapi untuk mewujudkan misi itu tak usahlah bertindak bak polisi jagat maya, yang bisa berakibat salah sasaran,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Stop Gunting Sensor, Tuan Tifatul (2010).

Tifatul Sembiring yang pernah menjabat sebagai Menkominfo era 2009-2014. (ANTARA)

Ragam kontroversi memang jadi makanan sehari-hari buat Tifatul. Namun, pada saat Pemilu 2014 berjalan Tifatul segera memilih jadi calon wakil rakyat dari partainya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia pun menang dan berhak menduduki kursi DPR RI dan akan dilantik pada 1 Oktober 2014.

Kondisi itu membuat Tifatul segera melepaskan jabatannya sebagai Menkominfo pada 30 September 2014. Pengunduran diri itu berjalan lancar. Namun, keputusannya mendapatkan pro dan kontra. Mereka yang kontra salah satunya menganggap Tifatul justru turun kelas dari menteri ke anggota DPR.

Tifatul dianggap hanya takut tak kebagian kekuasaan. Suatu hal yang membuatnya tak mau menyelesaikan jabatannya sebagainya menkominfo. Tifatul pun menanggapinya santai saja. Ia hanya meminta maaf atas segala kesalahan dan kekurangannya.

“Hari ini 30-9-2014, saya resmi mundur sebagai Menkominfo. Kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan,” tulisnya dalam akun twitter/X @tifsembiring pada 30 September 2014.