Bagikan:

JAKARTA - Sentimen negatif ke etnis China bukan barang baru di Indonesia. Soeharto dan Orde Baru (Orba) pernah melakukannya. Etnis China dianggap pembawa paham Komunis. Suatu paham yang terlarang di Indonesia. imbasnya Orba melarang etnis China menggelar perayaan Imlek di muka umum.

Kebijakan itu berlangsung lama. Tiada yang berani mendobraknya. Protes pun tak punya nyali. Namun, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengubah segalanya. Presiden Indonesia ke-4 itu izinkan kembali perayaan Imlek.

Gerakan 30 September (G30S) 1965 punya pengaruh besar bagi sejarah Indonesia. Peristiwa keji penculikan dan pembunuhan jenderal TNI AD itu bak membuka mata segenap rakyat Indonesia bahwa komunisme berbahaya.

Komunisme dianggap telah mengancam eksistensi pemerintahan. Komunisme juga dipandang sebagai paham berbahaya yang akan menggunakan segala macam cara untuk bisa duduk di pangkuan kekuasaan. Kondisi itu membuat Soeharto yang memegang kendali pemerintahan segera ambil sikap.

Ia mencoba membersihkan pengaruh komunisme di Indonesia. Pembersihan simpatisan dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan. Suatu langkah yang memicu kontroversi. PKI pun dibubarkan. Komunisme jadi paham terlarang di Indonesia.

Imbasnya pemerintah Soeharto dan Orba jadi serba alergi hal-hal yang berbau komunisme. Kebencian terhadap komunisme jadi melebar ke mana-mana. Etnis China yang lahir dan tumbuh di Indonesia ikut kena getahnya. Mereka dianggap identik dengan komunisme.

Tarian barongsai yang identik dengan perayaan tahun baru China (Imlek). (ANTARA)

Alasannya karena negeri China jadi tempat di mana komunisme tumbuh sumbur. Alhasil, Orba menganggap etnis China dan seluruh keturunannya punya potensi bahaya. Soeharto yang kala itu masih jadi Pejabat Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Inpres itu memiliki poin penting melarang segala macam perayaan etnis China secara besar-besaran di muka umum, termasuk perayaan tahun baru China (Imlek). Tiada lagi tarian barongsai. Tiada lagi penggunaan aksara China. Tiada pula lagu-lagu Mandarin di stasiun radio.

“Pertama, tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah China yang memiliki aspek kultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perorangan. Kedua, Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”

“Ketiga, Penentuan katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat China diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar Pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM). Keempat, Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri bersama-sama Jaksa Agung. Kelima, Instruksi ini mulai berlaku pada hari ditetapkan,” tertulis dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang disahkan pada 6 Desember 1967.

Gus Dur dan Imlek

Larangan terhadap perayaan Imlek jelas menciderai hati etnis China. Namun, titah Soeharto dan Orba sulit diubah. Titah mereka harus dipatuhi. Barang siapa yang melanggar, niscaya akan mendapatkan hukuman berat.

Perubahan baru bisa dirasakan kala Gus Dur mulai mengambil tongkat estafet pemimpin Indonesia. Presiden Gus Dur memandang etnis China sudah mendapatkan diskriminasi sedari dulu. Kondisi itu membuatnya berpikir untuk segera melaksanakan falsafah: Bhinneka Tunggal Ika.

Gus Dur segera mencabut aturan yang menegaskan Imlek dan perayaan lainnya yang terlarang kini boleh dilakukan di muka umum pada 17 Januari 2000. Aturan itu dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000.

Aturan itu menggugurkan Inpres era Orba. Artinya, seluruh etnis China di Indonesia bebas melaksanakan perayaan Imlek di muka umum. Gus Dur pun menjadikan perayaan Imlek sebagai hari spesial, hari libur nasional. Keputusan itu membuat Gus Dur dianggap berjasa besar bagi orang China.

Keistimewaan itu menegaskan mereka yang terlahir sebagai keturunan China dianggap sebagai orang Indonesia. Bukan orang lain. Gus Dur menganggap istilah bumiputra dan nonbumiputra tak lagi relevan. Semua orang Indonesia. Punya hak sama. Punya kapasitas yang sama. Itulah esensi dari keberagaman yang jadi kekuatan Indonesia.

“Di masa kepresidenan Gus Dur, Konghucu diakui sebagai agama dan Imiek menjadi hari libur nasional. Dialah presiden dan ulama pertama yang meminta maaf atas kekerasan antikomunis pada 1965. Dia pula yang mengembalikan nama Papua, yang selama Orde Baru disebut sebagai Irian Jaya, dan tak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora milik rakyat Papua,” tutup Wahyu Muryadi dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Sang Pendobrak Dari Tebuireng (2010).