Masa Bersiap di Surabaya: Bambu Runcing Berdarah di Simpang Club
Ilustrasi (Ilham/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Surabaya menjadi salah satu titik pusat gelombang Masa Bersiap. Rakyat yang dulu terinjak seolah menuntaskan dendamnya kepada kolonial baik Belanda, Jepang dan siapapun yang pro kepada mereka termasuk pribumi. Tragedi berdarah terjadi di daerah Simpang Club. Bambu runcing yang sakral itu menjadi salah satu senjata untuk membantai orang-orang kolonial.

Peristiwa itu terjadi antara September dan November 1945. Mulanya laki-laki dan perempuan Eropa, Indo, Ambon dan Minahasa ditangkap dan dikumpulkan. 

Penangkapan tersebut seolah-olah dilakukan untuk melindungi mereka dari kekerasan dan kemudian dipenjarakan di Simpang Club. Namun sebenarnya mereka dikumpulkan untuk diinspeksi satu per satu. 

Apabila mereka kedapatan memiliki barang yang berhubungan dengan Belanda seperti bendera, sampai benda paling kecil seperti peniti, seringkali orang tersebut akan dieksekusi di tempat. Jika tidak, mereka diinterogasi lebih lanjut dan dikirim ke Lapas Kaliosok dan Bubutan. 

Melansir Inside Indonesia, saksi mata dari Simpang Club melaporkan adanya interogasi yang sistematis, penyiksaan dan pembunuhan ratusan orang. Khususnya dari 15 hingga 17 Oktober. 

Kemungkinan korban masa bersiap yang ditangani oleh Palang Merah Internasional (Sumber: De Nederlandse Krijgsmacht) 

Menurut sebuah arsip Belanda, salah satu saksi memberikan keterangan bahwa banyak orang Belanda yang dieksekusi dengan keji. Sebagian besar kejadian itu dilakukan dengan menggunakan bambu runcing.

Bambu runcing sebelumnya digunakan saat perang karena keterbatasan senjata yang dimiliki. Selain itu, bambu runcing juga diketahui sebagai suatu simbol untuk membangkitkan semangat masyarakat Indonesia untuk melawan para penjajah.

Bahkan di Surabaya bambu runcing dijadikan sebagai monumen. Sayangnya, untuk peristiwa nahas ini, bambu runcing ternodai karena menjadi salah satu alat untuk mengeksekusi sasaran balas dendam para pemuda. 

Bambu runcing (Sumber: Wikimedia Commons)

Tak terkendali

Usai Presiden Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, semangat nasionalisme masyarakat seperti mencapai ubun-ubun. Gerakan revolusi bergejolak. Sehingga tak ada satu orang pun yang mampu mengendalikan. Pemberontakan pun terjadi di mana-mana demi menjungkirbalikkan tatanan sosial. Imbasnya apa pun yang dianggap bagian dari kolonial bakal kena sikat. 

Masa itu dikenal juga dengan Masa Bersiap. Bergulir antara Oktober 1945 sampai 1946. Masa-masa ketika banyak orang Belanda dibunuh karena sebagian bangsa Indonesia menganggap mereka musuh utama dan layak untuk mati. 

Bukan cuma orang-orang Belanda atau Jepang, warga pribumi yang dianggap sebagai kolaborator Belanda seperti orang Ambon dan Sulawesi, serta peranakan Tionghoa juga menjadi korban penyerangan dan pembunuhan. Tidak peduli pria atau wanita, orang dewasa atau anak-anak, mereka akan dibunuh. 

Tragedi seperti ini bukan hanya terjadi di Surabaya, melainkan di banyak kota di Pulau Jawa. Sebut saja peristiwa Gedoran Depok, Pemberontakan Ce Mamat di Banten, peristiwa kekerasan di Malang, dan peristiwa lainnya.