Kota Jakarta yang Memasuki Fase Membingungkan dalam Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah Jakarta di masa kependudukan Jepang hingga terjadinya pemerintahan tripartit

Bagikan:

JAKARTA - Dari satu tangan kemudian berpindah ke tangan pihak lainnya. Bagaimana situasi itu membingungkan bagi sebuah kota yang dulunya juga disebut “Jewel of Asia”. Percampuran tangan pihak-pihak negara penjajah seperti Belanda, Jepang, sampai terlibatnya Inggris yang beralasan sebagai penengah, memang membingungkan bagi perjalanan sejarah Sang Ratu dari Timur menuju sebuah kemerdekaan nantinya. Apa yang dijelaskan Susan Blackburn lewat Sejarah Jakarta 400 Tahun, penuh lika-liku hingga menggugah emosional.

Bahkan pernah terjadi ketika ketiga tangan terlibat dalam menguasai kota dan menjadi pemerintahan tripartit.

Ketika Jepang menduduki nusantara pada tahun 1942, Batavia pun ikut berubah penyebutan dengan nama Jakarta. Jakarta bahkan menjadi ibu kota dari salah satu wilayah, yakni Jawa. Peperangan Pasifik yang belum berujung kepastian bagi Jepang, ikut menentukan terombang-ambingnya nasib kota Jakarta. Pasca kekalahan Jepang dan menyerah, inisiatif barisan kaum nasionalis anak bangsa yang berpusat di Jakarta pun segera mengumumkan bahwa Indonesia adalah republik yang sudah merdeka dengan Jakarta sebagai pusat ibu kota.

Namun tangan dari pihak lain, Inggris pun ikut-ikutan terlibat untuk mengawasi proses penyerahan diri serta pelucutan senjata serdadu Jepang. Semakin rumit, ketika Belanda berada di balik Inggris untuk ikut serta kembali mengambil wilayah koloni mereka. Sang Ratu dari Timur itu pun dihinggapi kegundahan akibat tiada kejelasan. 

Selama satu tahun lebih Inggris bertindak sebagai mediator, penengah antara Republik Indonesia dan Belanda. Dalam situasi ini, kota Jakarta menjadi pemerintahan kota tripartit. Barulah setelah hadirnya kesepakatan yang terbilang rentan antara kedua belah pihak pada November 1946, Inggris melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan untuk kembali pulang dan tak lagi berada di nusantara. 

Dalam pandangan Belanda, nama Batavia kembali menyeruak dan juga sebagai ibu kota Hindia Timur mereka. Sementara itu, kota yang sekarang berstatus sebagai provinsi Daerah Istimewa, Yogyakarta, dikonotasikan sebagai pusat perjuangan kemerdekaan bagi RI. 

Rakyat pun terombang-ambing. Tujuan hidup saat itu hanyalah sekedar bertahan saja sudah terbilang lebih dari cukup. Pihak Jepang memilih fokus memenangkan Perang Pasifik, sedangkan Belanda dan RI berkompetisi demi dominasi secara menyeluruh. 

Situasi 1942 di Tangan Jepang

Apa yang dikisahkan oleh Alfred W. McCoy dalam Southeast Under Japanesse Occupation, New Haven, Yale Univeristy 1980 memang terlihat gamblang bagaimana situasi ketika Jepang menguasai Jakarta tanpa tendeng aling-aling. Bagaimana wali kota Batavia dipaksa dibangunkan dari nyenyak tidurnya pada 7 Maret 1942 hanya demi sebuah pengakuan lewat tanda tangan pernyataan kesetiaan dan ketaatan kepada mereka. Penolakan yang terjadi itu pun berakhir dengan pemenjaraan disertai pencopotan sepihak kepada pejabat kolonial tersebut. 

Semua pengaruh Belanda mulai dari representasi sebuah seni kebudayaan lewat ornamen patung sang pendiri Batavia langsung digusur dari tempat terhormat di Waterlooplein. Berbagai nama-nama jalan berbau Eropa segera diubah menjadi nama Jepang. Seperti, Van Heustz Boulevard diubah menjadi jalan Immamura — lalu Oude Tamrindelaan menjadi Jalan Nusantara. Tak luput juga semua penanda dan iklan dalam bahasa Belanda harus diganti ke dalam bahasa Jepang atau Indonesia. Berbicara dan menulis pun sama, hanya ada bahasa Indonesia atau Jepang. Nasib mereka para orang Eropa pun segera dipenjarakan.

Sesaat memasuki Batavia, pihak Jepang yang membawa truk pun mengibarkan bendera Matahari Terbit dengan berdampingan sang Merah Putih. Kemunculan Matahari Terbit dielu-elukan. Hingga massa yang menyaksikan momen pengharapan itu ikut menyuguhkan makanan dan minuman kepada prajurit Jepang.

Pawai tentara Jepang di Ibukota (sumber: indonesia-zaman-doeloe.blogspot)

Tiba masanya di mana Sekolah Kedokteran pada tahun 1943 kembali dibuka. Namun serupa, sistem pendidikan ala Jepang banyak tak disukai para mahasiswa Indonesia. Asia Raya, sebagai satu-satunya surat kabar harian yang diperbolehkan terbit oleh Jepang pun halaman depan berisikan glorifikasi propaganda para tentara-tentara Jepang berbalut euforia kemenangan. Ikut pula perihal perhitungan kalender dan hitungan jam diubah menurut waktu Jepang. 

Kalau dulu merayakan hari kelahiran Ratu Wilhelmina dan St. Nicolaas, saat itu setiap tanggal 8 tiap bulannya rakyat diharuskan memeringati hari lahir sang Kaisar. Terutama tanggal 8 Desember yang menjadi wajib diperingati karena bertepatan dengan dimulainya Perang pasifik. 

Perlakuan pemerintah Jepang tak berbeda jauh dengan Belanda, bahkan lebih brutal. Seorang dokter yang sedang bertugas kala itu di Rumah Sakit Umum Jakarta, Abu Hanifah mengisahkannya. Ia memang ditugaskan menangani para romusha, para pekerja Indonesia yang direkrut oleh Jepang untuk proyek-proyek pekerjaan umum Jepang.

Apa yang didapatinya selalu para romusha yang sakit karena kelaparan. Atmosfir ketakutan juga menaungi para Kempeitai, polisi militer Jepang. Markas besar mereka di bekas gedung Sekolah Hukum yang bersebelahan dengan Museum Pusat, suara lengkingan jerit-jerit kesakitan adalah hal yang biasa. Suara rintihan itu berasal dari mulut-mulut pemberontak yang sedang mengalami penyiksaan. 

Memberi panggung bagi Soekarno dan Hatta

Gagalnya tujuan Jepang lewat penolakan para pemimpin Islam yang tak mau adanya unsur politik dalam khotbah dan membungkuk hormat ke arah Tokyo nun jauh di sana, membuat mereka mengalihkan keberpihakan kepada para nasionalis Indonesia untuk menggalang dukungan publik. Nama Soekarno dan Hatta pun diberi panggung untuk kemudian dilibatkan dalam organisasi bernama PUTERA, yang didirikan tahun 1943. Kepentingan yang menjadi sebuah kebutuhan akibat situasi perang memburuk bagi pihak Jepang.

Suara Soekarno menggema di mana-mana, rakyat Jakarta sulit menghindari propaganda demi propaganda sebagai menu keseharian mereka. Narasi Soekarno lewat kebencian terhadap kolonialis Barat, membuat posisi Jepang tak begitu ditelanjangi sebagai penjajah karena Soekarno membaurkan dukungan dengan istilah “pembebas” Indonesia.

Ada kalanya semua yang ditanam akan dituai cepat atau lambat nantinya. Hal itu dialami Jepang ketika gelombang perang berbalik menghantam mereka. Dengan janji konsesi politik yang nyata kepada barisan kaum nasionalis Indonesia; asalkan orang-orang Indonesia akan bekerjasama melawan invasi Sekutu. Hingga pada tahun 1943 Jepang membentuk pasukan sukarela Indonesia bernama Pembela Tanah Air (PETA). Inilah fondasi penting bagi awalan terciptanya tentara Indonesia merdeka. 

Setahun setelahnya, Perdana Menteri Jepang mengizinkan pengibaran bendera Indonesia dan berjanji memberikan kemerdekaan yang tanggalnya belum bisa dipastikan.