JAKARTA - Praktik pelacuran kerap mengganggu pemandangan Jakarta. Kehadiran wanita tunasusila yang sulit dikontrol ada di baliknya. Ali Sadikin pun merasakannya. Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 merasa kehadiran pelacuran ilegal membuat citra Jakarta jadi kotor.
Ia pun bersiasat membangun lokalisasi. Kramat Tunggak, namanya. Opsi itu dikritik banyak pihak. Utamanya ulama. Protes itu baru didengar pada era 1990-an. Sebagai perubahan, dibekas tanah lokalisasi dibangun masjid besar: Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC).
Bisnis berahi acap kali menghiasi sejarah panjang Jakarta. Bahkan, sejak zaman Belanda. Praktik pelacuran terbukti mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi. Namun, di zaman Belanda bisnis pelacuran diawasi langsung pemerintah. Sedang di zaman Indonesia merdeka praktek pelacuran bernuansa ilegal.
Praktek itu semakin menjamur di tengah kesulitan ekonomi. Pun hampir tiap kawasan di Jakarta jadi tempat wanita tunasusila mencari nafkah. Kawasan Senen, salah satunya. Saban hari kawasan Senen kerap ramai didatangi wanita tunasusila yang menjual jasanya dan pria hidung belang yang bertindak sebagai penikmat jasa.
Pemandangan itu lumrah terjadi. Namun, sering kali memancing masalah. Citra Jakarta, utamanya kawasan Senen jadi kotor. Ali Sadikin merasakannya. Pemimpin Jakarta itu ingin wanita tunasusila atau dalam bahasanya disebut wanita P segera ditertibkan. Namun, kuasa pemerintah DKI Jakarta terbatas. Empunya kuasa tak dapat menampung dan memberikan wanita tunasusila itu pekerjaan. Lagi pula jumlahnya mencapai ratusan ribu.
Opsi paling masuk akal bagi Ali Sadikin adalah menyediakan lokalisasi pada 1970 di Jakarta Utara. Kramat Tunggak, namanya. Ali mencontoh Bangkok, Thailand yang berhasil dengan lokalisasi. Tujuannya supaya aktivitas praktik pelacuran terpusat dan dapat dikontrol.
“Suatu waktu saya pergi ke Bangkok yang terkenal dengan industri seksnya. Di sana saya bertanya kepada orang kedutaan kita, di mana itu tempat-tempat industri seks itu? Kok saya tidak melihatnya. Memang tempat-tempat pelacuran itu tidak tampak. Di sini ada tempatnya, pak, jawabnya. Di sini dilokalisasi. Saya dibawa ke tempatnya. Penasaran. Mau tahu bagaimana tempat-tempat melokalisasi wanita-wanita itu.”
“Hal ini menimbulkan pikiran pada saya, untuk menerapkan apa yang saya lihat itu di Jakarta. Supaya di ibu kota ini tidak kelihatan kotor, tidak jorok. Itulah yang kemudian menjadi policy saya memindahkan wanita ‘P’ itu dari Senen, dari daerah Kramat Raya yang penuh seliweran dengan kupu-kupu malam itu, ke Kramat Tunggak. Permulaannya Kramat Tunggak itu masih rawa. Kemudian jadi tempat yang banyak disebut orang. Itu tempat lokalisasi wanita P,” ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Bekas Tanah Lokalisasi
Keputusan Ali Sadikin ‘melegalkan’ pelacuran memancing protes. Terutama dari kaum alim ulama. Ali Sadikin pun kecipratan sialnya dengan dijuluki Gubernur Maksiat. Namun, Ali Sadikin tak mau mengubah keputusannya. Ia tetap keras kepala. Ali Sadikin menganggap kehadiran lokalisasi membawa manfaat. Sedang kaum alim ulama melihat Kramat Tunggak melulu banyak mudaratnya.
Kritikan itu baru ditanggapi serius ketika Sutiyoso menjadi orang nomor satu Jakarta pada era 1990-an. Gubernur Jakarta itu mencoba menimbang penutupan lokalisasi. Sebab, ia tak ingin gegabah. Ribuan wanita tunasusila menggantungkan hidupnya di Kramat Tunggak.
Sutiyoso pun membentuk tim khusus membahas penutupan Kramat Tunggak. Tim itu berfungsi untuk mencari jalan keluar bagi wanita tunasusila yang mencari nafkah dapat melanjutkan hidup di jalan lain. Mereka pun ditawarkan uang ganti rugi. Selebihnya pemerintah bergerak memberikan pendampingan kepada wanita tunasusila selama lima tahun.
Untuk itu, lokalisasi Kramat Tunggak resmi ditutup pada 31 Desember 1999. Citra lokalisasi Kramat Tunggak pun tetap melekat. Bahkan, membawa citra buruk di bekas lokasi praktek pelacuran itu. Sutiyoso pun tak tinggal diam.
Ia merencakan pendirian Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC) di bekas lahan lokalisasi Kramat Tunggak. Ide itu pun coba didiskusikan dengan pemuka agama di sentaro Jakarta. Ide pembangunan Masjid JIC didukung penuh.
Sutiyoso tak main-main dalam membangun Masjid JIC. Arsiteknya dipilih yang paling berkualitas dengan label arsitek spesialis masjid. Ahman Numan, namanya. Masjid itu direncanakan menempati lahan 109.435 meter persegi.
Masjid JIC digadang-gadang dapat menampung puluhan ribu jemaah sekaligus. Pucuk dicinta ulam tiba. Masjid JIC diresmikan Sutiyoso pada 4 Maret 2003. Kehadiran Masjid JIC membuat gaung Kramat Tunggak perlahan-lahan menghilang.
“Sebenarnya, setelah pembebasan lahan tersebut ada beberapa-gagasan untuk menggantikan fungsi lahan eks Kramat Tunggal; ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan seperti mal, ada juga yang menginginkan pembangunan perkantoran, dan lainnya. Atas ide Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, pembangunan Jakarta Islamic Centre pun dimulai-setelah ide itu didukung berbagai elemen masyarakat melalui Forum Curah Gagasan pada 2001.”
“Gagasan itu juga disampaikan Sutiyoso kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra di New York di sela-sela kunjungannya ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 11-18 April 2001 dan mendapatkan respon yang sangat positif. Masjid JIC pun akhirnya berdiri di atas tanah seluas 109.135 m dan diresmikan penggunaannya oleh Gubernur KDKI Jakarta H. Sutiyoso pada 4 Maret 2003. Pada tahun yang sama, organisasi IC ditetapkan berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 99/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre),” tertulis dalam buku Suara Salafisme: Radio Dakwah di Indonesia (2017).