JAKARTA - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) kebijakan proteksionisme yang agresif, seperti penerapan tarif impor, terutama dari Tiongkok, akan kembali memberikan dampak yang kompleks bagi perekonomian Indonesia.
"Saya khawatir bahwa kebijakan ini dapat memicu perang dagang yang lebih luas, mengganggu rantai pasok global, dan menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia," ujarnya kepada VOI, kamis, 7 November.
Yusuf menyampaikan Indonesia sebagai negara yang ikut terlibat pada perdagangan internasional akan merasakan dampak langsung dari perlambatan ekonomi global ini, termasuk peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah akibat ketidakpastian pasar.
Sementara dari sisi kebijakan moneter, Yusuf menyampaikan kebijakan Trump yang sebelumnya mendorong suku bunga rendah melalui tekanan pada Federal Reserve dapat menciptakan volatilitas tinggi di pasar valuta asing.
Menurut Yusuf Bank Indonesia mungkin harus melakukan intervensi yang lebih agresif untuk menjaga stabilitas rupiah. Selain itu, potensi capital flight akibat kebijakan proteksionis ini bisa mendorong BI untuk melakukan penyesuaian suku bunga yang lebih tinggi dari seharusnya, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi domestik.
"Risiko inflasi global yang meningkat juga menjadi tantangan dalam menjaga stabilitas harga domestik," jelasnya.
Menurut Yusuf Indonesia perlu menyusun strategi yang tangguh untuk memperkuat ketahanan ekonomi. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu, terutama dengan memperluas diversifikasi pasar ekspor.
Yusuf menyampaikan hal ini akan membantu mengurangi risiko dari perubahan kebijakan AS yang mungkin mengganggu akses pasar atau menimbulkan hambatan dagang baru.
Selain itu, memperkuat industri substitusi impor dan meningkatkan daya saing produk domestik sangat penting untuk menciptakan fondasi ekonomi yang lebih kuat dan mandiri.
Yusuf menjelaskan sebagai langkah jangka panjang, penguatan kerja sama ekonomi regional melalui ASEAN dan berbagai perjanjian perdagangan regional lainnya harus menjadi prioritas.
"Strategi ini dapat menjadi penyeimbang terhadap ketidakpastian kebijakan AS, sehingga Indonesia memiliki alternatif akses pasar yang stabil di kawasan," tuturnya.
BACA JUGA:
Yusuf menyampaikan Pemerintah perlu memperkuat pasar domestik agar Indonesia tidak terlalu rentan terhadap gejolak eksternal. Pengembangan pasar dalam negeri yang kuat juga akan mendukung permintaan yang stabil, terlepas dari fluktuasi global.
Menurut Yusuf koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan otoritas fiskal harus diperkuat untuk membangun buffer yang lebih besar dalam menghadapi volatilitas pasar global.
"Bank Indonesia perlu memastikan cadangan devisa yang mencukupi sebagai antisipasi terhadap gejolak eksternal yang lebih intens. Dalam skenario ini, intervensi pasar mungkin juga lebih aktif untuk menjaga stabilitas rupiah," tuturnya.