Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 224 tahun yang lalu, 31 Desember 1799, pemerintah Belanda membubarkan kongsi dagang, VOC. Kerugian terus-menurus dan pegawai korup jadi muara Kompeni sulit bersaing. Masalah itu membuat Kompeni hanya menambah beban utang saja.

Sebelumnya, Kompeni adalah perusahaan dagang yang pernah meraih sukses luar biasa sepanjang sejarah. Ajiannya memonopoli perdagangan rempah dianggap berhasil. Semuanya itu karena VOC memiliki hak istimewa, didukung negara dan punya angkatan perang.

Persaingan perdagangan rempah cukup besar di Negeri Belanda. Banyak pengusaha berlomba-lomba untuk menjadi yang paling untung. Kondisi itu membuat kondisi perlayaran mencari rempah jauh lebih berbahaya karena jalan sendiri-sendiri.

Inisiasi menyatukan seluruh pengusaha Belanda dalam suatu kongsi dagang dilanggengkan pada 1602. Kongsi dagang VOC, namanya. Kongsi dagang itu digerakan oleh Heeren Zeventien (Dewan 17) yang bermarkas di Amsterdam.

Uang logam yang dikeluarkan VOC dan digunakan di Nusantara pada masa penjajahan pada abad ke-18. (Museum Rotterdam)

Kehadiran VOC lalu jadi perpanjang tangan pengusaha Belanda untuk mengamankan memonopoli perdagangan rempah, utamanya di Nusantara. Kompeni diberikan seperangkat hak istimewa, didukung pemerintah Belanda dan memiliki angkatan perang.

Kuasa itu yang kemudian jadi muara Kompeni bergerak leluasa menjajah banyak tempat. Apalagi, kala Kompeni mengangkat seorang Jan Pieterszoon Coen sebagai Gubernur Jenderal. Coen mampu meletakkan dasar kolonialisme Kompeni di Nusantara.

Ia punya program politik yang membuat Dewan 17 kepincut. Program politik itu antara lain memastikan kepemilikan total atas beberapa wilayah, dari Maluku hingga Jayakarta yang diubahnya jadi Batavia (kini: Jakarta).

Rencana Coen dilanjutkan dengan baik oleh penerusnya. Eksistensi itu kian masif kala Kompeni mulai mengubah taktik perang ke Devide et Impera (politik pecah belah). Hasilnya gemilang. Kompeni mampu memonopoli banyak perdagangan rempah dan menjelma jadi perusahaan dagang sukses yang pernah ada.

Lukisan yang menggambarkan kapal-kapal dagang VOC memasuki pelabuhan Batavia. (Wikimedia Commons)

“Pada seratus tahun pertama riwayat VOC, perusahan dagang ini meraih sukses luar biasa. Ia berhasil mencetak laba yang cukup menggiurkan. Keberhasilan ini disebabkan De Heren XVII menangani secara langsung manajemen VOC. Operasi-operasinya di Asia, terutama di Indonesia, berada di bawah kendali tangan-tangan terampil,” terang M. Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-Rempah (2016).

Keberhasilan Kompeni berlangsung cukup lama. Namun, tiada yang abadi. Korupsi yang dilakukan dari tingkat pegawai rendahan hingga gubernur jenderal membuat VOC terus merugi. Alih-alih untung, utang Kompeni kian menumpuk.

Kompeni pun bak tak memiliki daya saing lagi dengan perusahaan dagang lainnya. Pun armada perang Kompeni mulai masuk dalam kategori kuno. Kondisi itu membuat pemerintah Belanda ambil sikap.

Mereka memilih untuk membubarkan Kompeni pada 31 Desember 1799. Segala macam kekuasaan Kompeni, termasuk utang lalu diambil alih pemerintah. Kuasa Kompeni di Nusantara secara penuh diganti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

“Memasuki abad ke-19 di kepulauan Indonesia terjadi perubahan politik. Perusahaan Dagang Hindia Timur atau lebih dikenal dengan VOC bubar pada tanggal 31 Desember 1799, setelah izinnya dibatalkan pada tahun 1795 Berbagai sebab menjadi latar belakang keruntuhan itu. Antara lain seperti mutu pegawai yang merosot, manajemen yang jelek, pengeluaran yang sangat besar terutama pembiayaan intervensi politiknya, sistem monopoli yang sudah tidak sesuai lagi, dan yang terpenting adalah korupsi yang merajalela.”

“Ikut menjadi penyebabnya adalah persaingan dari perusahaan dagang Inggris yang meluas hingga ke ranah politik dengan perebutan-perebutan hegemoni dan wilayah. Pada masa itu sebagai akibat dari pergolakan politik di Eropa berupa perluasan Revolusi Prancis oleh Napoleon Bonaparte, persaingan keduanya menjadi lebih sengit. Negeri Belanda jatuh ke dalam kekuasaan Prancis, yang adalah musuh utama Inggris,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008).