JAKARTA – Sejarah hari ini, 409 tahun yang lalu, 21 Desember 1614, maskapai dagang Belanda, VOC dan Penguasa Jayakarta (kini: Jakarta), Pangeran Jayakarta teken perjanjian dagang. Perjanjian itu membuat Kompeni dapat menikmati pasokan barang dagang, dari arak hingga beras.
Sebelumnya, Kompeni telah memiliki niatan untuk memonopoli perdagangan di Banten dan Jayakarta. Siasat merangkul dimainkan. Kerja sama dilanggengkan dengan iming-iming keuntungan. Pengeran Jayakarta pun tak kuasa menolak kehadiran Belanda.
Kompeni pernah kepincut dengan ramainya suasana perdagangan di Banten, kemudian Jayakarta. Keduanya dianggap tempat yang ideal dan strategis untuk pengembangan usaha dagang rempah Kompeni.
Insting monopoli Kompeni menyala. Mereka mencoba mendirikan mendirikan markas di Banten. Namun, belakangan Belanda justru kerasan hidup di vasal Kerajaan Banten, Jayakarta. Siasat merangkul pun dimainkan.
Belanda mulai mengajak kerja sama penguasa setempat, Pangeran Jayakarta. Hasilnya gemilang. Kompeni diizinkan untuk mendirikan loji. Sekalipun Belanda harus merogoh kocek besar sebagai imbalan kepada Pangeran Jayakarta.
Kerjasama itu membuat intensitas kapal Belanda berlabuh di Jayakarta kian sering. Kompeni pun mulai kepincut dengan potensi yang ada di Jayakarta. Letaknya yang stategis jadi musabab. Namun, Pangeran Jayakarta tak serta merta percaya Kompeni berniat baik.
Penguasa lokal itu terus curiga. Namun, Kompeni terus bersiasat. Kompeni terus meyakini niatan mereka murni kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak. Tiada keinginan untuk menduduki wilayah. Ragam kerja sama pun diteken. Sesuatu yang tak dapat ditolak Pangeran Jayakarta karena nilainya besar.
“Pada tahun 1610 orang Belanda diizinkan membangun sebuah gudang dan rumah-rumah dari kayu di tepi timur mulut Ciliwung. Waktu kapal Belanda pertama kali berlabuh di Jayakarta pada 1596, dalam Kota ini terdapat 3 ribu rumah, yang dikelilingi pagar tanaman hijau. Sejak tahun ini kapal Belanda sering singgah di Pelabuhan Jayakarta untuk membeli sayur dan mengambil air minum yang bersih.”
“Untuk memperoleh izin mendirikan gudang, Belanda membayar 1.200 real kepada Pangeran Jayakarta pada 1610. Pangeran berusaha mengawasi para tamu yang sulit di diatur ini dengan ketat. Dekat mulut sungai itu Pangeran Jayakarta membangun kubu-kubu dengan meriam, supaya dapat mengawasi muara sungai maupun kegiatan orang Belanda di seberang,” terang Sejarawan, Adolf Heuken dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).
Waktu pun terus berjalan. Kerja sama kian langgeng. Kompeni pun mencoba meraih kepercayaan penguasa setempat dengan melanggengkan perjanjian dagang pada 21 Desember 1614. Perjanjian dagang itu membuat Kompeni mendapatkan pasokan kebutuhan seperti arak, beras, hingga kacang.
Perjanjian itu menguntungkan Pangeran Jayakarta. Namun, perlahan-lahan Kompeni mulai mengubah lojinya bak benteng pertahanan. Loji yang mulanya berbahan dasar kayu mulai diganti dengan bahan yang kuat. Pasokan persenjataan mulai dihadirkan.
Bekal itu membuat Kompeni berani melawan Pangeran Jayakarta berserta Inggris dan Banten. Karenanya, Kompeni berhasil mengobrak-abrik Jayakarta dan mengubahnya jadi Batavia (kini: Jakarta) pada 1619.
BACA JUGA:
“Kampung China sudah lebih dulu ada di wilayah Jayakarta ketika kapal Belanda pertama kali singgah di pelabuhan ini pada tanggal 13 November 1596. Pemukim China itu mengelola persawahan dan penyulingan arak. Orang Belanda menyebut nama pemimpin mereka sebagai nakhoda Watting. Izin yang diberikan oleh Pangeran Jayakarta untuk mendirikan loji VOC juga lokasinya berdekatan dengan kampung China, yaitu di sisi timur Kali Ciliwung.”
“Watting ternyata punya peranan penting di daerah kekuasaan Pangeran Jayakarta itu. ia menjadi saksi dalam penanda-tanganan kontrak perjanjian dagang tanggal 21 Desember 1614 yang mengatur pasokan arak, beras, dan kacang kepada VOC. Perjanjian dibuat antara VOC dengan Pangeran Jayakarta,” terang sejarawan Moha Lohanda, dalam buku Sejarah Pembesar yang Mengatur Batavia (2007).