JAKARTA - Kehidupan sebagai antek-antek penjajah Belanda macam bupati (regent) penuh keuntungan. Citra pejabat bumiputra buat mereka bebas melanggengkan kemewahan, sekalipun berkhianat kepada bangsanya. Urusan istri pun kerap lebih dari satu. Namun, punya istri banyak tak mudah.
Urusan membiayai hidup banyak istri bukan perkara mudah. Andalkan gaji saja takkan cukup. Para bupati kerap putar otak. Mereka melanggengkan segala cara untuk menghidupi istri-istri, beserta keluarganya. Siasat populer pun dimainkan. Korupsi, namanya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak dapat bekerja sendiri melanggengkan kuasanya di Nusantara. Tangan-tangan kaum bumiputra –priayi—digunakan. Mereka dijadikan pejabat bumiputra. Belanda pun bersiasat dalam merekrut pejabat bumiputra macam bupati.
Kriteria khusus disiapkan. Barang siapa kaum bumiputra yang ingin jadi bupati sudah tentu harus jelas asal-usul keluarganya. Mereka juga diharuskan menempuh pendidikan dan dapat berbahasa Belanda. Semua latar belakang yang ada harus dibalut pula dengan loyalitas yang tinggi.
Kondisi itu membuat Belanda mengistimewakan jabatan bupati. Gaji bupati cukup tinggi dibanding pejabat bumiputra lainnya seperti wedana atau kepala desa. Mereka tak lagi merasakan kesusahan hidup bak kaum bumiputra lainnya yang diperas bak sapi perah.
Segala macam kebutuhan kekuasaan bupati mampu dipenuhi Belanda. Keuntungan itu kian nyata kala anak-anak mereka bisa mendapatkan segala macam akses pendidikan. Alih-alih pendidikan dalam negeri, akses pendidikan di luar negeri pun terbuka lebar.
Bantuan itu jelas bukan hal yang gratis. Bupati harus siap sedia membela seluruh kepentingan Belanda sebagai imbalan. Mereka diharuskan bekerja bak pengkhianat bagi rekan sebangsanya. Narasi itu membuat nurani bupati kepada penderitaan kaumnya minim – jika tak boleh dikatakan sama sekali sudah hilang.
BACA JUGA:
“Subsidi keuangan kepada para bupati diberikan antara 500 gulden dan 1.500 gulden bagi yang paling berpengaruh dan besar, seperti misalnya Bupati Madiun. Ketika daerah bupati-bupati kecil diintegrasikan menjadi daerah besar (proses ini berakhir kira-kira pada 1876), setiap bupati digaji 1.500 gulden sebulan. Persen Tanam Paksa tetap mereka nikmati, seperti juga hak-hak tenaga bakti (200 orang) setahun, dan upeti, serta hak-hak adat lain.”
“Sebaliknya, kebutuhan bupati jauh lebih besar daripada keperluan residen (Belanda) dengan keluarga inti (anak dan istri). Seorang bupati memiliki keluarga besar inti (anak dan istri). Seorang bupati memiliki keluarga besar: Faily dan anak-pinak, apalagi bila punya lebih dari satu istri. Bagaimana mereka dihidupi? Perdagangan bagi mereka, secara tidak tertulis, dilarang oleh Belanda sebab dapat menimbulkan korupsi,” terang Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Istri Banyak Jadi Biang Korupsi
Para bupati pun menikmati kehidupan serba nyaman jadi antek-antek Belanda. Mereka hidup serba mewah. Pun mereka tak segan-segan menanggung hajat hidup keluarganya yang tak memiliki pekerjaan. Kondisi itu kadang kala dimanfaatkan pula untuk memperistri lebih dari satu orang.
Urusan berahi dengan menambah istri justru mudah dilanggengkan oleh bupati. Popularitas dan uang yang mereka miliki membuat para orang tua gadis merelakan anaknya dipersunting bupati. Sekalipun anaknya jadi istri kedua atau ketiga.
Para bupati pun senang-senang saja. Namun, bukan berarti hidup bermandikan kemewahan dengan banyak istri jalannya mulus-mulus saja. Kondisi itu justru membuat seorang bupati memiliki kebutuhan lebih besar dibanding keperluan seorang residen (Belanda) dengan keluarga inti (anak dan Istri). Suatu jabatan yang notabene atasan bupati.
Kebutuhan hidup tinggi itu karena bupati ikut membiayai keluarga besarnya berupa famili dan anak-pinak dari tiap istri. Pun kalau bupati yang dimaksud memiliki banyak selir pula. Pengeluaran yang dilakukan bisa berkali-kali lipat, padahal gaji yang diterima kalah jauh dengan pejabat Belanda.
Nyatanya, mereka tak melulu membiayai kebutuhan kemewahan dan istri banyak dengan gaji belaka. Para bupati banyak membiayai kemewahannya dengan melanggengkan korupsi. Mereka memiliki kuasa itu.
Bupati dapat memeras rakyat sebangsanya. Belum lagi, urusan jual-beli jabatan di daerah kekuasaannya. Kemawahan itu membuat banyak kaum bumiputra ingin mencicipi jabatan sebagai bupati. Jikalau mimpi itu ketinggian, mereka akan memilih mimpi jadi keluarga dari bupati saja.
“Pejabat-pejabat tinggi pun makin lama makin membatasi diri sampai pada batas maksimum yang sah. Dan jika mereka, selain itu, masih berani melakukan kebebasan tertentu dalam banyak hal, mereka berbuat begitu dengan keyakinan bahwa mereka melakukan kemesuman.”
“Jika mereka, tanpa kontrak yang sah, memberi nafkah kepada seorang wanita yang rendah asal usulnya di desa atau di kampung, maka wanita ini juga disebut selir, tetapi juga diberi nama-nama lain, misalnya bedang. Dan hal ini tidak hanya terjadi di pihak mereka yang sudah mempunyai empat istri yang sah, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang beristri satu yang sah dan memang memperkenankan hubungan mesum dari pihak suaminya, asalkan tidak dimadu,” terang Snouck Hurgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VI (1991).