Bagikan:

JAKARTA - Penegakan hukum di Indonesia mutlak membutuhkan sosok macam Baharuddin Lopa. Keberanian Lopa sebagai penegak keadilan jadi muaranya. Integritasnya sebagai penegak hukum tak dapat setir maupun dibeli dengan uang.

Lopa yang berprofesi sebagai jaksa mampu menyapu koruptor era Orde Baru (Orba). Ia tak ingin koruptor yang merugikan negara hidup tenang. Narasi itu dibuktikan kala ia jadi Menteri Kehakiman dan HAM, kemudian Jaksa Agung. Koruptor jadi incaran dan dikirimnya ke Nusakambangan.

Boleh jadi keadilan adalah hal yang sukar ditemukan dalam penegakan hukum Indonesia. Kehadiran persepsi populer, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas jadi buktinya. Narasi itu dianggap oleh khalayak umum bak uang dapat membeli segalanya, dari mengatur hukum hingga pejabat.

Kemunculan Baharuddin Lopa sebagai jaksa penegak hukum mengubah segala. Pria kelahiran Pambusuang, Sulawesi Barat 27 Agustus 1935 bak bukti bahwa uang tak mampu membeli hukum. Ia hanya memahami bagaimana melanggengkan hukum seadil-adilnya.

Ia mencoba menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tak bersalah. Bukan sebaliknya. Sebab, sikap tidak fair justru akan menjatuhkan kembali muruah hukum Indonesia. Prinsip keadilan yang dipahami oleh Lopa sebernarnya banyak muncul dari pengalaman hidup.

Baharuddin Lopa bersama Cendekiawan, Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam suatu acara. (caknun.com)

Ia mampu belajar penegakan keadilan dari ketua adat setempat di daerahnya. Tiada tawar menawar kepada mereka yang bersalah. Sekalipun keluarga sendiri. Prinsip keadilan yang diamini Lopa lalu didalami lagi kala ia belajar hukum di bangku kuliahan.

Keberaniannya menegakkan keadilan sebagai jaksa mulai melanggang-langgeng di era Orba. Ia beberapa kali jadi Kepala Kejaksaan Tinggi di berbagai tempat di Nusantara, dari Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Selatan. Pejabat korup takut padanya. Lopa tak segan-segan mengantar mereka ‘menikmati’ hukuman berat.

Popularitasnya sebagai penegak hukum jempolan kian naik daun pada era 1980-an. Alih-alih disukai Orba, Lopa justru dianggap api dalam sekam. Keberanian Lopa digadang-gadang akan mengganggu kuasa Orba.

Lopa pun seraya diasingkan empunya kuasa di era 1990-an. Ia hanya diberikan tugas sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Suatu jabatan yang membuat Lopa tak memiliki wewenang menenjarakan koruptor.

“Dalam penegakan hukum yang dilakukan Baharuddin Lopa membawa titik terang bagi dunia pengakan hukum di Indonesia, dalam persoalan menegakan keadilan tidak ada kata kompromi yang salah akan tetap sekalipun dari kalangan pejabat tinggi. Dari sini tampak dengan jelas bagaimana sikap Baharuddin Lopa dalam memperjuangkan kebenaran hukum.”

“Prinsipnya yang kokoh, membuatnya berani melawan kesewenang-wenangan, pengaburan fakta hukum, meskipun beresiko tinggi terhadap jabatannya. Berhasilnya perjuangan penegakan hukum sangat ditentukan oleh pemimpin bersama jajarannya. Aparat penegak hukum, pejabat dan masyarakat harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi,” terang Irnawati Mustari Bahri dalam tulisannya di Jurnal Phinisi Integration Review berjudul Perjuangan Baharuddin Lopa dalam Penegakan Hukum Indonesia (2021).

Koruptor ke Nusakambangan

Lengsernya pemerintah Orba jadi Lampu hijau untuk Lopa menghajar koruptor kembali. Kariernya kian moncer. Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempercayakan Lopa memegang jabatan penting bidang hukum. Lopa didaulat Gus Dur sebagai Menteri Kehakiman dan HAM hingga Jaksa Agung.

Kedua posisi yang dijabatnya secara bergantian membuat Lopa leluasa menelusuri hingga menangkap koruptor era pemerintah Soeharto dan Orba. Lopa pun tak segan-segan menelusuri dugaan korupsi Jenderal yang menjabat 32 tahun itu.

Boleh jadi Soeharto sulit diadili karena sudah berumur dan sakit-sakitan. Alias Soeharto sulit dihadirkan dipersidangan. Namun, tidak dengan kroni-kroninya. Ambil contoh Mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Bob Hasan. Pengadilan mampu memvonis Bob Hasan yang korup enam tahun penjara.

Mulainya Bob Hasan ditempatkan di Penjara Cipinang, Jakarta. Lopa pun mencoba melanggengkan gebrakan. Koruptor itu lalu dipindahnya ke Lapas/Penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Suatu penjara yang dianggap dapat memberikan efek jera maksimal karena citra seram.

Baharuddin Lopa yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM era 9 Februari 2001. (Twitter) – 2 Juni 2001

Citra itu kesohor karena Nusakambangan adalah ‘rumah’ pelaku kejahatan berat. Antara lain pencurian, narkotika hingga tindak pidana terorisme. Penjara itu dianggap mampu membuat koruptor jera. Langkah itu dipuji oleh banyak pihak.

Koruptor dianggap keenakan jika dihukum hanya di penjara biasa. Sebab, kemungkinan mereka dapat hidup nyaman dan tak menyesal terlampau besar. Keberanian Baharuddin Lopa menempatkan koruptor di Nusakambangan jadi bukti keseriusannya memerangi korupsi.

“Salah satu kasus terbesar yang ditangani ‘pendekar hukum’ Baharuddin Lopa adalah kasus korupsi Soeharto dan kroninya. Ia berhasil meringkus salah satu kroni Soeharto, Bob Hasan. Koruptor itu atas kuasa Lopa dipindahkan ke Nusakambangan. Ini langkah fenomenal. Saya bilang fenomenal karena lembaga anti rasuah yang kemudian hadir di Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berani mewacanakan koruptor untuk di penjara Nusakambangan.”

“Salah satu Capres yang akan berlaga pada Pilpres 2024, Ganjar Pranowo juga kepincut ingin mewacanakan hal yang sama. Itulah hebatnya Lopa. Saat yang lain masih mewacanakan, justru Lopa sudah mewujudkan hal itu. Keberanian itu macam prestasi yang tentu saja akan sulit dilakukan penegak hukum lainnya. itupun kalau mereka memiliki nyali tinggi,” terang Pakar Hukum Pidana, Masykur Isnan saat dihubungi VOI, 15 Desember 2023.