Polemik Salman Rushdie Hina Nabi Muhammad Lewat Novel The Satanic Verses
Penulis kenamaan dunia kelahiran India, Salman Rushdie yang menulis novel The Satanic Verses atau Ayat-Ayat Setan (1988). (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Hidup menyerempet bahaya pernah dialami penulis kenamaan dunia, Salman Rushdie. Novel rekaan Rushdie, The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) ada di baliknya. Kehadiran novel yang terbit pada 1988 dianggap kontroversial.

Rushdie disebut telah menistakan agama Islam, khususnya Nabi Muhammad SAW. Rushdie menganggap Nabi Muhammad telah keliru menerima bisikan wahyu. Alih-alih bisikan tuhan, yang didengarnya justru bisikan setan. Kaum muslim dunia mengecam Rushdie. Puncaknya, fatwa kematian pun keluar.

Ahmed Salman Rushdie bukan orang baru dalam dunia sastra. Pria kelahiran Mumbai 19 Juni 1947 ini sudah sering diperbincangkan pecinta sastra sejak era 1980-an. Apalagi, dirinya muncul sebagai salah satu lulusan ilmu sejarah dari perguruan tinggi kesohor Inggris, King’s College, Universitas Cambridge.

Narasi itu membuatnya lihai dalam meramu kisah fiksi dengan muatan sejarah. Karya-karyanya mampu diterima khalayak luas. Dari Midnight's Children (1981) hingga Shame (1983). Sederet novel itu membuatnya meraih ragam penghargaan.

The Satanic Verses atau Ayat-Ayat Setan, novel kontroversial yang sangat terkenal karya Salman Rushdie. (Times of Israel/AP/Dave Caulkin)

Rushdie pun tak cepat puas. Ia terus melanggengkan semangatnya untuk terus berkarya. Ia mulai menulis fiksi sejarah kembali. Narasi yang diangkat Rushdie bukan lagi urusan kekacauan politik dari negeri asalnya, India.

Ia justru mulai mengganggu keimanan umat Muslim dengan novel baru. Rushdie coba bercerita terkait dua orang yang selamat dari kecelakaan pesawat. Satunya jadi malaikat. Lainnya jadi setan. Rushdie pun mengemasnya dengan judul provokatif: Ayat-Ayat Setan.

Novel itu langsung jadi buruan seisi dunia sejak pertama diterbitkan pada 1988. Novel itu laris manis. Bahkan, dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang menarik. Rushdie bak menyatukan frasa kenakalan, kecerdasan, provokasi, dan humor dalam novelnya. Suatu keterampilan yang jarang dimiliki penulis lain.

Satu-satunya masalah dari novel itu adalah nyali Rushdie yang menyerempet bahaya. Ia berani menganggu keimanan kaum Muslim dengan menggambarkan Nabi Muhammad buruk. Nabi Muhammad digambarkannya telah keliru menerima wahyu. Ia sebenarnya menerima wahyu dari setan, ketimbang Sang Pencipta.

Demonstrasi menentang Salman Rushdie di Westminster Bridge, London pada 27 Mei 1989. (The Times of India/AFP)

Kaum Muslim di seisi dunia mengecam novel Rushdie. Bahkan, Pemimpin Besar Iran, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini mengutuk Rushdie pada 1989. Khomeini pula tak lupa mengeluarkan fatwa kematian untuk Rushdie.

“Pada tanggal 14 Februari 1989, penyiar radio di Teheran tersebut membacakan fatwa, atau dekrit, yang membuat Rushdie mati kuti dari Ayatollah Ruhollah Khomeini. Khomeini mengungkap: Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya ingin menginformasikan kepada seluruh umat Islam pemberani di dunia bahwa penulis buku berjudul 'Ayat-Ayat Setan', yang disusun, dicetak, dan diterbitkan bertentangan dengan Islam, Nabi Muhammad SAW, dan Al-Qur'an, saya menjatuhinya hukuman sampai mati.”

“Khomeini selanjutnya mendesak kaum muslim seluruh dunia untuk melanggengkan fatwa kematian Rushdie. Fatwa itu untuk segera mengeksekusi penulis asal Mumbai tersebut,” tulis Gerald Marzorati dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Rushdie in Hiding (1990).

Rushdie Masuk Islam

Gelombang penolakan terhadap Ayat-Ayat Setan kian meluas. Kelompok anti-Rushdie bertumbuh. Kantor penerbit bukunya, Viking Penguin di New York ikutan kena teror. Pun Inggris yang menjadi tempat Rushdie hidup ikutan mencekam.

Buku Ayat-Ayat Setan mulai dibakar di mana-mana. Toko-toko yang menjual karyanya ikutan kena serang. Mereka yang diketahui telah menerjemahkan karya Rushdie ke berbagai bahasa ikutan kena getahnya. Nyawa mereka jadi terancam. Beberapa di antara telah ditikam.

Rushdie mencoba tak ingin memperpanjang masalah. Ia bahkan menduga mereka yang menolak karya belum tentu membaca sebagian atau seluruh buku, termasuk Khomeini. Pernyataan itu justru tak dapat menenangkan emosi umat Muslim sedunia.

Salman Rushdie mendapatkan pertolongan setelah ditikam seseorang usai memberikan kuliah di Chautauqua Institution di pinggiran Buffalo, New York, AS pada 12 Agustus 2022. (The Times of Israel/AP/Joshua Goodman)

Banyak negara dengan mayoritas Muslim ikutan mengutuk Rushdie. Indonesia, apalagi. Ayat-Ayat Setan sempat dilarang beredar beberapa waktu di Indonesia. Rushdie pun kian terdesak. Ia pun kemudian mengakui kesalahannya.

Ia juga memutuskan untuk masuk Islam pada 1991. Ia menyebut pemikirannya di Ayat-Ayat Setan tak ubahnya sebuah keteledoran. Sebuah masalah yang bermuara dari ketidakpahaman Rushdie akan Islam. Rushdie pun menyatakan takkan mengedarkan bukunya versi cetakan murah (paperback).

Tobatnya Rushdie tak langsung diterima. Banyak orang masih mencoba memburu Rushdie. Sebagai opsi, Rushdie pun memilih menghilang untuk satu dekade. Semuanya dilakukan demi keamanannya. Namun, kebencian terhadap Rushdie bak abadi. Ia terus dikejar bahkan ditikam pada 2022. Sekalipun selamat.

“Rushdie mengaku ia menulis Ayat-Ayat Setan tidak bermaksud menghina Islam. Keteledoran itu hanya disebabkan ketidakpahamannya terhadap Islam. Pengarang kelahiran Bombay, India, yang dibesarkan dalam keluarga Islam ini juga mengaku bahwa waktu itu ia belum Islam. Sebagai tanda kembalinya iman Islamnya, Rushdie menyatakan tak akan mengedarkan buku Ayat-Ayat Setan cetakan murah yang semestinya beredar dalam waktu dekat ini.”

“la pun minta maaf atas ketidakmampuannya menarik Ayat-Ayat Setan yang sudah jutaan eksemplar beredar, dan diterjemahkan dalam setidaknya 15 bahasa, dan yang dilarang di 20 negara. Hal itu, katanya, di luar wewenangnya. Janji terakhirnya sehubungan dengan Islamnya kembali itu, ia berminat pergi ke Mesir, negeri tempat berkumpulnya ahli-ahli dalam Islam, untuk mempelajari Islam. Berita tobatnya Salman Rushdie ini disambut hangat di Mesir,” ujar Dja’far Bushiri dan Julizar Kashiri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Setelah Rushdie Membaca Dostoyevsky (1991)