Memori Hari Ini, 9 Desember 2014: Kemenag Tak Atur Pembatasan Penggunaan Atribut Keagamaan Jelang Natal
Dekorasi Natal di salah satu mal di Indonesia. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 9 Desember 2014, Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin, menegaskan jajarannya tak akan membuat aturan yang membatasi penggunaan pakaian atribut keagamaan menjelang Natal. Masalah itu harusnya selesai dengan toleransi, bukan hukum.

Sebelumnya, geliat protes kepada perusahaan yang memaksa karyawannya mengenakan atribut agama bejibun. Alih-alih pemaksaan terlihat menjelang peringatan Natal, langkah itu juga hadir menjelang hari raya umat Islam, Idulfitri.

Natal kerap dirayakan dengan penuh sukacita di Indonesia. Segenap rakyat Indonesia larut dalam persiapan hari besar besar keagamaan itu.

Pusat perbelanjaan mulai menghadirkan ornamen-ornamen keagamaan. Demikian pula dengan hotel dan restoran.

Narasi itu dianggap mampu menunjang keseruan menjelang Natal. Namun, bukan berarti larut dalam euforia merayakan Natal tak terlepas dari masalah.

Perayaan itu kerap jadi masalah karena banyak perusahaan hingga pengusaha yang memaksa pegawainya untuk mengenakan atribut keagamaan.

Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin memberikan sambutan dalam Perayaan Natal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Universitas Maranatha, Bandung pada 30 Januari 2019. (Maranatha News)

Padahal, pegawai mereka belum tentu berasal dari agama yang sama. Pemandangan itu kemudian mendapatkan protes dari sana-sini pada 2014.

Narasi itu dianggap akan membawa preseden tak baik bagi eksistensi kerukunan beragama di Indonesia.

Gema penolakan pun muncul di mana-mana. Mereka menuntut pemerintah dan pemuka agama segera ambil sikap terkait masalah pemaksaan atribut. Ragam bisnis–dari restoran, hotel, hingga mal—mulai disurati satu per satu.

Segenap rakyat menghendaki tiadanya pemaksaan. Keinginan itu supaya kerukunan beragama tetap terjaga.

“Anggota DPD-RI asal DKI Jakarta Fahira Idris mengatakan ia menerima ratusan email dan SMS dari berbagai daerah yang melaporkan masih ada perusahaan yang mengharuskan karyawannya mengenakan atribut Natal. Bila melanggar, karyawan akan dikenai sanksi. Fahira mengatakan bahwa kebanyakan surat dan SMS yang diterimanya dari karyawan perempuan muslim dan sebagian besar dari mereka berjilbab.”

Seorang karyawan SPBU mengenakan atribut Natal berupa topi Sinterklas. (Antara)

“Menurutnya ini adalah bentuk intoleransi dan ia sudah mengirim surat imbauan kepada asosiasi ritel, pusat perbelanjaan, hotel, restoran, hingga perusahaan supaya tak ada keharusan bagi karyawan muslim mengenakan atribut Natal. Selama ini, yang terjadi justru pemutarbalikkan isu. Menganggap bahwa atribut yang lazim digunakan para karyawan selama musim Natal sebagai bagian dari atribut keagamaan sesungguhnya adalah pemahaman yang keliru,” terang Frengki Napitupulu dalam buku Sinterklas: Natal dalam Jerat Kapitalisme (2020).

Gaung protes kemudian masuk ke telingga penguasa. Kementerian Agama, misalnya. Menag Lukman Hakim Saifuddin mengimbau perusahaan dan pengusaha untuk tak memaksa karyawannya mengenakan atribut keagamaan.

Kuasa itu hanya sebatas imbauan. Menag enggan merumuskan imbauannya dalam bentuk produk hukum. Ia berpendapat jajarannya tak akan membuat aturan yang membatasi penggunaan atribut keagamaan jelang Natal atau Lebaran pada 9 Desember 2014.

Baginya, masalah itu hanya perlu diselesaikan dengan bentuk toleransi, bukan hukum. Perusahaan atau pengusaha harus peka menjaga kedamaian antara umat beragama. Kepekaan itu yang nantinya menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

“Kemenag tentu tak akan membuat aturan berisi perintah atau larangan tentang penggunaan atribut dan pakaian keagamaan tertentu. Seorang muslim tidak usah dituntut menggunakan kalung salib atau topi sinterklas demi menghormati Hari Natal.”

“Juga umat perempuan nonmuslim tidak perlu dipaksa berjilbab demi hormati Idulfitri. Bertoleransi adalah saling memahami, mengerti, dan menghormati akan perbedaan masing-masing, bukan menuntut pihak lain yang berbeda untuk menjadi sama seperti dirinya,” tandasnya sebagaimana dikutip laman Kemenag, 9 Desember 2014.