Pejuang Palestina Yasser Arafat Dapat Nobel Perdamaian dalam Sejarah Hari Ini, 10 Desember 1994
Pejuang Palestina, Yasser Arafat. (Wikimedia Commons).

Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 10 Desember 1994, pejuang Palestina, Yasser Arafat menerima penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia. Penghargaan kelas dunia itu diberikan kepada Yasser atas dedikasinya memperjuangkan perdamaian Palestina-Israel.

Sebelumnya, Arafat dikenal luas sebagai pejuang kemerdekaan Palestina. Ia tak bisa diam saja melihat tanahnya dicaplok Israel. Ia bersuara lantang terkait kekejaman Israel di luar negeri. Dunia pun bersimpati kepada Arafat dan rakyat Palestina.

Nyali Arafat melawan hagemoni Israel yang didukung dunia barat tak pernah surut. Ia bak mewakafkan seluruh hidupnya untuk melawan Israel. Cita-citanya pun besar. Arafat ingin Palestina tumbuh sebagai negara berdaulat. Kendaraan politik pun ia dirikan. Fatah, namanya.

Parpol itu jadi alat perjuangannya mencari dukungan perjuangan di berbagai belahan dunia. Arafat ingin dunia melirik kekejaman Israel kepada rakyat Palestina. Siasat itu dimainkannya supaya seisi dunia mengutuk Israel. Karenanya, Palestina bisa merdeka.

Aroma perjuangan Arafat kian menguat kala dirinya menduduki posisi ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1964. Suatu organisasi yang mewadahi seluruh aliran politik yang bersatu untuk kemerdekaan Palestina.

Pemimpin Palestina, Yasser Arafat bersama Menlu Israel, Shimon Peres (tengah) dan PM Israel, Yitzhak Rabin saat menerima Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia pada 1994. (Times of Israel/Government Press Office) 

Perjuangan Arafat dan PLO tak mudah. Alih-alih langsung diterima, PLO justru pernah dihujat dunia bak organisasi teroris. Arafat pun ambil sikap. Ia terus berjuang mengangkat fakta bahwa Israel adalah biang kekejian di Palestina, bukan PLO.

Hasilnya gemilang. PLO mendapatkan dukungan dari banyak negara. Pun PLO dapat keanggotaan dari Liga Arap pada 1976. PLO kala itu mulai dianggap sebagai wakil Palestina. Perlawanan terus dilanggengkan.

Kekejian Israel terus tersorot dunia. Arafat pun mulai melanggeng siasat. Arafat menilai perang takkan menyelesaikan masalah kedua negara. Opsi berdamai pun mulai dipilih oleh kedua negara dan Palestina merdeka pada 1988.

“Mungkin itu sebabnya pendekatan Norwegia pada PLO disambut baik bahkan November 1988 Khalid Hassan, yang berunding dengan wakil Norwegia di Stockholm, menyetujui usulan dalam perundingan itu agar PLO mengakui adanya negara Israel sesuai dengan Resolusi PBB 242 dan 338. Khaled Hassan menyetujui ini tentu saja bukannya tanpa tujuan.”

“Waktu itu sudah matang direncanakan untuk menyatakan berdirinya negara Palestina meski tanah airnya masih berada dalam kondisi diduduki pihak Israel. Deklarasi negara Palestina itu direncanakan diumumkan pada bulan November itu juga. Akhirnya deklarasi negara Palestina diumumkan di Aljier, sekitar pertengahan November 1988. Pada kesempatan itu Arafat pun menyatakan mengakui adanya negara Israel,” tertulis Dja’far Bushiri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Imbauan Perdamaian dari Kafiyeh Arafat (1993).

Pemimpin Palestina, Yasser Arafat bersalaman dengan PM Israe,l Yitzhak Rabin usai penandatanganan Oslo Accord disaksikan Presiden AS, Bill Clinton di Gedung Putih, Washington DC pada 13 September 1993. (The Jerusalem Post/Reuters/Garry Hershon)

Perjuangan Arafat atas Palestina pun terkenal di seantero dunia. Ia tak saja jadi simbol perjuangan rakyat Palestina, tapi juga dunia melawan penjajahan era modern. Narasi itu membuat Arafat dapat bicara di forum-forum kelas dunia.

Langkah perjuangan Arafat membawa Palestina-Israel berdamai sampai apresiasi dengan penghargaan kelas dunia. Arafat menerima Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia pada 10 Desember 1994. Penghargaan itu jadi bukti penting bahwa dunia mencintai pergerakan Arafat dan Palestina.

“Arafat muncul sebagai salah satu pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1994. Semua karena atas persetujuannya dalam mengupayakan hidup berdampingan secara damai dengan Israel. Padahal, Arafat memulai karir politiknya yang panjang dengan tindakan perlawanan anti-Israel yang terkenal,” ujar Judith Miller dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Yasir Arafat, Palestinian Leader and Mideast Provocateur, Is Dead at 75 (2004).