9 Januari dalam Sejarah: Terpilihnya Mahmoud Abbas Sebagai Presiden Palestina
Mahmoud Abbas (Foto: Commos Wikimedai)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 15 tahun yang lalu, atau 9 Januari 2005, Mahmoud Abbas terpilih sebagai Presiden kedua Palestina. Jabatan yang diemban Abbas melaweti proses yang panjang. Sebab, menjadi pemimpin dari sebuah negara yang berkonflik dengan Israel tidak mudah. Akan tetapi, Abbas tak menyerah. Kiprahnya memimpin Palestina masih berapi-api, setidaknya hingga hari ini.

Tercatat, Mahmoud Abbas atau yang juga dikenal dengan nama Abu Mazen lahir di Safed, Galille, Palestina pada 1935. Melansir Kompas.com, sejumlah sumber menyebut Abbas lahir pada 26 Maret, namun ada juga yang menyebut Abbas lahir pada 15 November.

Abbas kecil pun sempat merasakan suasana perang. Saat terjadi Perang Palestina pada 1948, Abbas bersama keluarganya menyelamatkan diri ke Suriah. Sembari menikmati kehidupan baru, Abbas melanjutkan pendidikannya yang sempat terputus di Palestina. Abbas belajar hingga lulus di Fakultas Hukum Universitas Damaskus.

Setelahnya, Abbas ingin melanjutkan pendidikan di luar Suriah. Terpilihlah Universitas Patrice Lumumba di Moskow sebagai pelabuhan barunya menuntut ilmu. Berkat ketekunannya, Abbas lulus dengan gelar Candidate of Sciences, atau setara dengan PhD. 

Kala itu, disertasinya terkait hubungan Nazisme dengan Zionisme. Oleh karena tema pembahasannya yang sensitif. Banyak pihak kemudian menganggap disertasi Abbas sebagai teori konspirasi yang menyangkal Tragedi Holocaust. Tapi Abbas tak terlalu mempedulikan hal ini. 

Bersentuhan dengan politik

Momentum perpindahan Abbas ke Qatar pada 1950-an jadi langkah awalnya berkenalan dengan pergerakan bawah tanah politik Palestina. Abbas sempat bekerja di Layanan Sipil Qatar sebagai direktur personel. Di situlah Abbas berjumpa pertama kali dengan Yasser Arafat, yang kemudian dengan lima orang lainnya mendirikan organisasi Fatah di Kuwait. 

Fatah kemudian menjadi gerbang awal Abbas masuk ke dunia perpolitikan. Sebab, Fatah nantinya akan menjadi salah satu faksi penting di pemerintahan Palestina. Karier Abbas pun menanjak sampai dirinya menjadi anggota dari Majelis Nasional Palestina pada 1968. Karena hal tersebut, Fatah menjadi ujung tombak dari pergerakan bersenjata Palestina dan kemudian mendominasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Di PLO Abbas tampil beda. Saat yang lainnya melancarkan pergerakan dengan senjata. Abbas justru berupaya menjalin menjalin kontak dengan kelompok perdamaian Israel. Abbas kemudian menggandeng Fatah untuk memulai dialog dengan pihak Israel. Usahanya membuahkan hasil. Pembicaraan tak resmi antara perwakilan Palestina dengan para tokoh Israel terjalin pada 1977.

Namun, pembicaraan awal tersebut tak begitu membuahkan hasil. Kendati demikian, hal itu adalah permulaan yang baik. Abbas bahkan semakin bersemangat mencari jalan jalur perdamaian kedua negara lewat diplomasi. Salah satu jejaknya, adalah saat Abbas lewat perantara Belanda memulai kembali melakukan perundingan rahasia dengan pejabat Israel pada tahun 1989.

Bersamaan dengan itu, dialog kemudian jadi strategi utama negosiasi Palestina, seperti saat melakukan negosiasi di konferensi perdamaian Madrid, Spanyol tahun 1991 dan pertemuan dengan Israel di Norwegia 1993. Lewat pertemuan di Norwegia, Israel dan Palestina saling memperluas pengakuan satu sama lain. Setelahnya, Israel menyerahkan pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza kepada otoritas Palestina.

Jadi Presiden Palestina

Saat Presiden Palestina, Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. Posisi kosong pada pemerintahan Palestina itu membuka kesempatan Abbas untuk berada di posisi puncak pemerintahan. Dia pun terpilih secara aklamasi sebagai ketua PLO pada 11 November 2004. 

Abbas kemudian dicalonkan oleh Fatah untuk menjadi kandidat dalam pemilihan presiden Palestina yang digelar pada 9 Januari 2005. Dia terpilih setelah meraih 62,3 persen suara. 

“Januari 2005, diadakan pemilihan Presiden Otoritas Palestina. Hamas memboikot pemilu itu, yang kemudian dimenangkan oleh Mahmoud Abbas, pemimpin Fatah pasca Arafat,” tulis Dina Y. Sulaeman dalam buku Ahmadinejad on Palestine (2008).

Setelahnya, Abbas mematahkan ramalan banyak pihak, bahwa kuasa atas Palestina hanya berumur jagung. Tak disangka, Abbas sampai hari ini masih menjabat sebagai Presiden Palestina.