Park Chung-Hee, Presiden Korsel yang Gemar Bungkam Kritik Mahasiswa
Presiden Park Chung-Hee kala kunjungan ke Amerika Serikat pada 1965. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Nama Park Chung-Hee adalah dilema besar dalam sejarah panjang Korea Selatan (Korsel). Satu sisi Presiden Korsel itu mampu membawa angin perubahan. Pertumbuhan ekonomi melejit dan derajat rakyat Korsel terangkat.

Sisi lainnya, Park menjalankan pemerintahannya secara otoriter. Alih-alih hanya memukul mundur lawan politiknya, kaum mahasiswa Korsel yang bersuara keras ikutan dilibas. Masing-masing kampus –rumah kebebasan berpendapat-- ditempati oleh junta militer. Barang siapa yang menentang akan ditindaknya.

Kuasa negara yang baru merdeka seumur jagung serba terbatas. Korsel pernah merasakannya kala baru lepas dari cengkraman Jepang pada 1945. Presiden pertama Korsel, Syngman Rhee kerap putar otak untuk menaikkan derajat negaranya.

Pola pemerintahan otoriter pun dipilih. Ajian itu dipilih karena ekonomi sedang morat-marit. Nyatanya, jauh panggang dari api. Kepemimpinan otoriter tak banyak membawa hasil yang signifikan. Kestabilan politik dan ekonomi tak kunjung diraih.

Kondisi Korsel tak lantas membawa perubahan. Apalagi, kala takhta orang nomor satu Korsel diserahkan kepada Yun Posun. Perubahan adalah harga mahal yang sulit ditebus. Namun, bukan berarti tanpa harapan.

Presiden Park Chung-Hee saat berkunjung ke Jerman pada 1964. (Wikimedia Commons)

Semuanya berubah ketika Mayor Jenderal Park Chung-Hee mengambil alih pemerintahan dengan menjadi Presiden Korsel ke-3 sedari 1962. Kepemimpinannya mampu membawa angin segar bagi Korsel dan seisinya.

Park membuktikan bahwa dirinya mampu membawa Korsel ke era kemajuan, ketimbang kehancuran. Nada-nada sumbang yang menganggap Korsel takkan maju segera dibungkamnya dengan gebrakan. Ia mampu membuat pertumbuhan ekonomi Korsel melejit.

Siasat Park beragam. Siasat yang paling dikenal adalah keberanian Park melanggengkan normalisasi hubungan antara Korsel dengan mantan penjajah, Jepang. Opsi yang mulanya disebut kontroversial justru mampu jadi fondasi penting ekonomi Korsel.

Jepang memberikan dana sekaligus pinjaman besar bagi Korsel. Dana itu kemudian dijadikan Korsel sebagai pinjaman kepada pengusaha setempat. Park pun mulai mengganti narasi Korsel negeri agraris jadi mesin industri yang kuat. Siasat itu berhasil.

Korsel mampu untung bejibun. Keuntungan itu yang membuat hajat hidup rakyat Korsel naik, dari desa hingga kota. Pembangunan di mana-mana. Demikian pula pertumbuhan ekonomi. Park pun kemudian dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Korsel.

“Normalisasi hubungan kedua negara (Korsel-Jepang) tersebut ditandatangani pada tahun 1965. Pada langkah berikutnya dalam usaha mengurangi ketegangan dan konfrontasi, Presiden Park mempelopori diadakannya pembicaraan-pembicaraan dengan Korea Utara dan diusahakannya untuk diadakan perjanjian non agresi antar kedua negara tersebut, namun tidak membawa hasil.”

“Hampir di segala bidang kehidupan pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Park dapat mampu meningkatkan keadaan makin baik dari sebelumnya. Namun dalam bidang politik masih belum dicapai kemajuan. Stabilitas politik belum tuntas. Hubungan dengan pihak utara tetap tegang,” terang Herman Sastra dalam tulisannya di Majalah Yudhagama berjudul Perang Dunia III Mulai dari Semenanjung Korea (1983).

Bungkam Mahasiswa

Satu sisi kepemimpinan Park dipuji. Sisi lainnya kepemimpinan Park dihujat. Dilema itu karena Park memimpin Korsel dengan ‘senjata’ otoriter. Ia tak suka ada yang mengganggu kuasanya. Barang siapa yang melanggengkan kritik akan ditumpasnya.

Park mampu menggembosi peran Majelis Nasional (semacam DPR) yang notabene pembuatan UU dan pengawas eksekutif pada 1972. Majelis Nasional itu dipangkas fungsinya bak tukang stempel kekuasaan militer. Kebijakan itu dikenang sebagai Yushin Constitution.

Kebebasan pers pun jadi mimpi di siang bolong. Pers mulai dikontrol oleh penguasa. Pemerintah bak alergi dengan pemberitaan buruk. Kondisi itu diperparah oleh sikap represifnya kepada mahasiswa di seantero Korsel.

Pemerintah mulai ikut campur dalam Iklim kampus yang notabene kritis. Diskusi politik hingga demonstrasi mahasiswa coba diredam. Bahkan, pemerintah mengutus junta militer untuk menjaga supaya mahasiswa tetap tertib di dalam kampus.

Barang siapa yang memaksa melawan pemerintah, niscaya akan ditangkap, diculik, dan disiksa. Kondisi itu membawa ketakutan di kalangan kaum mahasiswa kian menjadi-jadi. Park dianggap seorang diktator yang menyengsarakan rakyat. Apalagi, Park tak segan-segan memburu dan menculik mereka yang berseberangan dengan pemerintah.

Demonstrasi mahasiswa di Universitas Chung-Ang, Seoul pada Juni 1964 menentang salah satu kebijakan Presiden Park Chung-Hee, yaitu normalisasi hubungan Korea Selatan dengan Jepang yang pernah menjajah mereka pada 1910-1945. (Wikimedia Commons) 

Upaya itu membuat musuh Park bejibun. Pun narasi yang menuntutnya mundur terus dikumandangkan mahasiswa. Kuasa Park kemudian runtuh karena dibunuh Kepala Mata-Mata Korsel, Kim Jae-Gyu dalam sebuah acara makan malam di pinggiran Seoul pada 26 Oktober 1979. Kematian tragis tersebut mengakhiri kediktatoran Park Chung-Hee selama 17 tahun di Korsel.  

“Meskipun partai politik ada, mereka tidak ada artinya karena aktivitas politik dibatasi. Pers berada di bawah sensor ketat. Perusahaan media itu diberi tahu apa yang harus dicetak dan apa yang tidak boleh dicetak. Universitas-universitas, yang pernah menjadi penggagas kebebasan berpendapat, berada di bawah kendali Pemerintah.”

“Selain itu, pengadilan dan hakim berada di bawah kekuasaan Presiden. Badan Intelijen Pusat, selain mengumpulkan informasi di luar negeri dan menjaga keamanan dalam negeri, adalah pasukan polisi rahasia yang telah menimbulkan suasana ketakutan dengan penangkapan sewenang-wenang. Perwira militer, pengusaha, politisi—bahkan pejabat CIA sendiri—telah disingkirkan,” ungkap Richard Halloran dalam tulisannya di Surat Kabar The New York Times berjudul President Park's South Korea: There Is Only One Path, and It Is His (1973).