Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 112 tahun yang lalu, 29 Desember 1911, tokoh gerakan Sun Yat Sen dipilih sebagai Presiden Republik China (kini: Republik Rakyat China) pertama. Jasa-jasa perjuangan Sun gelorakan Revolusi China ada di baliknya.

Sebelumnya, Sun dikenal sebagai tokoh gerakan yang keras menentang monarki. Sun memandang kuasa Dinasti Qing (Manchu) sudah terlalu lama. Pun kepemimpinan Dinasti Qing dirasa banyak mudarat, ketimbang manfaat.

Kepekaan terhadap lingkungan sekitar bisa jadi senjata ampuh perlawanan. Modal itulah yang kemudian dimiliki tokoh gerakan Sun Yat Sen. Ia kerap memandang sistem monarki China sudah tak sesuai dengan zaman. Semuanya karena rakyat China sudah sulit meraih keadilan dan kesejahteraan.

Narasi itu dibalut dengan eksistensi Dinasti Qing yang terkenal korup. Sun pun tak kuasa berdiam diri. ia memanfaatkan benar akses pendidikan yang diperolehnya. Bahkan, keluarganya mampu mengirim Sun hingga ke Hawaii untuk belajar. Pola pikirnya jadi terbuka.

Bendera Republik China pascarevolusi. (Wikimedia Commons)

Sun lalu melanjutkan pendidikannya di Hong Kong Collage of Medicine for Chinese. Pendidikan dokter itu mampu ditamatkannya. Alih-alih hanya fokus bekerja sebagai dokter, Sun justru memilih untuk aktif berkumpul bersama kaum terpelajar.

Ajang kumpul-kumpul itu melahirkan wadah pergerakan pada 1894. Organisasi untuk reformasi China, Xingzhonghui (Revive Cina Society), namanya. Kehadiran organisasi itu jadi ruang buat Sun dan kaum muda berdiskusi melawan monarki. Sekalipun banyak di antara rencananya berujung dengan kegagalan.

Perjuangan itu membuat Sun diberi cap pemberontak oleh Dinasti Qing. Namun, secara tak terduga peristiwa besar justru terjadi kala Sun berada di luar negeri mencari dana revolusi. Revolusi China meletus pada 10 Oktober 1911. Kaum revolusioner yang membawa semangat Sun mulai bergerak melawan monarki menguasai kota-kota di China.

“Cikal bakal republik dirintis oleh Sun Yat Sen atau Sun Wu (1866-1925), dokter yang membelok ke dunia politik. Dari rasa prihatin mendalam melihat korupsi merajalela, negara terpuruk, dan rakyat tertindas. Pada 1894, Sun Wu menulis petisi kepada Raja Muda Qing, Li Hongzhang, dan memaparkan ide-idenya tentang pengembalian kejayaan negara, memberantas korupsi, serta menyejahterakan rakyat, tetapi pemikirannya ditolak.”

Sun Yat Sen, presiden pertama Republik China. (Wikimedia Commons)

“Kecewa karena merasa disepelekan, di tahun yang sama Sun mendirikan Aliansi Revolusi China, yang terus berevolusi menjadi Tong Mei Hui (Masyarakat Aliansi China) di Jepang. Cita-cita utamanya adalah mendirikan pemerintah republik,” terang Jusra Chandra dalam buku China: Warisan Klasik dan Daya Dinamis yang Menggetarkan Dunia (2020).

Kabar keberhasilan Revolusi China pun sampai ke telinga Sun. Ia mulai tak sabaran untuk segera pulang. Namun, Sun tak mau gegabah. Ia terus berjuang untuk mendapatkan dukungan negara-negara Eropa atas pendirian Republik China.

Hasilnya gemilang. Sun dapat dukungan. Sun lalu pulang dan sampai ke pelabuhan Shanghai pada tanggal 25 Desember 1911. Ia pun mulai melangsungkan banyak pertemuan. Utamanya, pertemuan di Nanking yang dihadirikan delegasi berbagai provinsi di China pada 29 Desember 1911. Seisi ruangan lalu jadi saksi terpilihnya seorang Sun sebagai Presiden China pertama.

“Kembalinya Sun Yat-sen, sang tokoh revolusioner yang sebentar lagi akan dilantik sebagai presiden pertama disambut dengan sangat meriah. Wartawan lokal dan asing semuanya sangat antusias menunggu mendaratnya kapal yang membawa Sun Yat-sen dari Eropa di Pelabuhan Shanghai pada tanggal 25 Desember 1911.”

“Empat hari setelah kedatangan Sun di Shanghai, para delegasi dari berbagai provinsi berkumpul di Nanking dan mengadakan pemungutan suara untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden. Semua provinsi mendapatkan masing-masing satu hak suara dalam voting ini. Hasil akhirnya adalah, dari 17 provinsi yang hadir, sebanyak 16 provinsi sepakat untuk memilih Sun Yat-sen menjadi presiden sementara,” terang Michael Wicaksono dalam buku Republik Tiongkok (2015).